Harap yang tak pernah hirap.
Suara musik yang lumayan keras, asap-asap mengepul di udara membuat pandangan Aksara sedikit terhalangi. Satu yang pertama kali menjadi objek saat kakinya melangkah masuk ke dalam ruang persegi itu adalah punggung Saranita. Gadis itu sibuk dengan satu batang nikotin di jemarinya, menatap lurus-lurus ke luar jendela. Kakinya kembali melangkah setelah bergerak untuk menutup pintu. Aksara mengambil ruang di sebelah kiri Saranita tiba-tiba, membuat gadis itu terkejut dan mematikan benda nikotin itu dengan segera.
Netra Saranita beralih ke jam dinding, kemudian menatap Aksara kebingungan pada detik berikutnya. “Udah jam segini, kamu ngapain?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Saranita, Aksara justru mengangkat kedua tangannya untuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadisnya. Ia mengambil ikat rambut dari pergelangan Saranita, kemudian mengikat surai itu perlahan.
“Aksara.” Sama halnya seperti menyukai musik, Saranita juga tidak memiliki alasan yang tepat kenapa ia begitu menyukai netra kecokelatan milik pria di hadapannya. “Pertanyaan itu ada untuk dijawab, katamu.”
Pria berkaus hitam itu terkekeh tanpa suara, namun netranya tidak pernah lepas dari milik Saranita. “Aku mau mastiin kamu nggak lebih dari satu batang.”
Lima menit dihabuskan Saranita untuk tenggelam dalam netra elok milik Aksara. Rasanya seperti semua beban hilang begitu saja, seluruh rasa sakit seperti menemukan obatnya, dan rasa khawatir perlahan hilang digantikan oleh ketenangan. Terkadang Saranita tidak ingin banyak bicara, hanya ingin mengembuskan nafasnya yang memburu secara perlahan, kemudian tenggelam dalam pandangan netra Aksara seolah bercerita. Saranita mungkin bukan manusia yang paling sempurna di Bumi—walau beberapa orang bilang bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Namun Saranita selalu mampu mengenali perasaan yang sebelumnya tidak pernah ia tau kepada Aksara. Caranya tidak sempurna, tapi masuk ke dalam usaha sebaik-baiknya dalam hidup gadis itu.
“Aku capek.” ucap Saranita. Gadis itu berdiri, meninggalkan Aksara untuk mematikan musik yang sengaja ia nyalakan untuk menemaninya. Terkhusus untuk malam ini, entah kenapa Saranita membenci kesepian. “Aku baru sadar kalau ternyata selama ini aku cuma pengin di akuin kalau aku ada. Sampe aku lupa kalau sikapku ke Ibu atau Ayah, kadang berlebihan.”
Aksara bangkit dari posisinya, berjalan mendekat ke arah Saranita untuk duduk di atas ranjang. Kos persegi ini tidak memiliki begitu banyak ruang. Hanya ada satu lemari kecil, meja, dan satu ranjang. Tangan pria itu terangkat untuk mengelus lembut puncak kepala Saranita. “Aku sama sekali nggak membenarkan sikap kamu ke Ayah atau Ibu, tapi kamu punya alasan, Sara. Itu cara kamu protes, cara kamu buat ungkapin perasaan kamu ke mereka.”
Tidak pernah satu hari pun Saranita lewatkan tanpa bertanya kepada Tuhan, tentang apa yang sedang dilakukan ketika menciptakan manusia yang hampir sempurna seperti Aksara. Sebab Saranita penasaran, terlebih alasan kenapa bisa pria itu meletakkan hati untuknya. Untuk ia yang tidak sempurna, untuk ia yang sering sekali mengeluh, dan untuk ia yang sering sekali lupa mengucap syukur.
“Sar, Tuhan ciptain manusia dengan perasaan yang beda-beda. Begitu juga sama cara ungkapnya.” Aksara menghentikan pergerakan tubuhnya, kemudian mengambil kertas dan pena yang berada di atas meja nakas. Kini tangan kanan itu bergerak membawa kepala Saranita untuk bersandar di atas bahunya. Kemudian tangannya kembali bergerak menuliskan kalimatnya di atas kertas tadi.
“Inget yang pernah aku bilang, kan?”
Gadis bersurai legam itu mengangguk, “Saranita, menangis itu bukan hal yang nggak boleh dilakukan. Bahkan saat pertama kali lahir di dunia, hal yang pertama yang bisa kamu lakukan menangis, kan?” Saranita ingat betul, Aksara pernah dengan jelas menulis kalimat itu di atas buku kesayangan ketika menemuinya di halte, sebelum memeluknya dengan erat.
Aksara mengangkat kurva di bibirnya. Walau tidak melihat wajah gadisnya, setidaknya ia merasakan sedikit pergerakan di bahunya, ia tau bahwa Saranita juga mengulas senyum.
“Nangis aja. Aku temenin.”
Perlahan Saranita melingkarkan kedua tangannya di perut Aksara, menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher pria itu. Mulai mengeluarkan rasa sakitnya lewat isakan yang lama-kelamaan menjadi suara yang pecah. Aksara tidak mengeluarkan suaranya, hanya menggerakkan jemarinya untuk mengusap punggung Saranita. Hal yang tidak pernah pria itu lakukan ketika gadisnya menangis adalah tidak pernah memintanya untuk berhenti. Sebab Aksara tau, Saranita bukan gadis yang dengan mudah mengungkapkan perasaannya lewat air mata. Pun jika saja ia mampu mengeluarkan kata, pria itu akan tetap memilih diam.
“Sejak aku duduk di kursi kelas empat, aku sadar kalau aku nggak pernah tau apa yang aku mau.” Saranita menarik nafas, kemudian diembuskan secara perlahan. “Waktu itu Fina jatuh dari tangga, aku nggak tau. Tetep, aku yang salah. Kata Ayah, aku nggak jagain Fina dengan benar.”
Aksara tidak pernah tau dengan persis bagaimana rasanya berada di posisi Saranita, itu sebabnya ia hanya memilih untuk diam. Kembali mendengarkan suara-suara yang mungkin sudah lama dipendam oleh gadisnya.
“Aksa, aku nggak pernah minta jadi anak perempuan pertama yang selalu diandalkan.” Suaranya kecil di akhir kata, hatinya seperti tertusuk ribuan jarum panjang. “Aku nggak pernah janji sama Ayah atau Ibu untuk jaga Fina dengan benar, tapi aku berusaha untuk itu.” Isaknya semakin jelas memenuhi ruangan persegi itu. Aksara memindahkan kepala Saranita untuk mendarat di dadanya, mengajak gadis itu masuk ke dalam peluknya. “Aku nggak tau apa yang aku mau, Aksa. Aku nggak tau siapa aku di lima tahun yang akan datang. Kenapa semua tanggungan diserahin ke aku termasuk perasaan semua orang?”
Aksara tau dengan jelas, ada seseorang yang tidak pernah meminta dilahirkan. Ada seseorang yang benci sekali karena sekedar tumbuh menjadi dewasa. Bahkan ada seseorang yang membenci diri dan juga hidupnya.
“Aku nggak mau lagi berusaha untuk bikin Ayah sama Ibu bangga, Sa. Sekeras apapun aku berusaha, semuanya sia-sia.” Saranita menengadah, menatap Aksara dari bawah. Mulai dari mata, hidung, dan bibirnya. Semua terlukis dengan sempurna. “Aku nggak pernah minta penghargaan dari Ayah sama Ibu, Sa. Aku cuma mau dihargai. Perasaanku, diri aku, usahaku. Semuanya nyata.”
Pada akhirnya, semua orang diminta untuk mensyukuri apapun yang terjadi. Walau terkadang apapun yang diminta tidak akan pernah datang dengan segera.
Aksara melepaskan pelukan Saranita perlahan. Jemarinya mendarat untuk menghapus air mata gadisnya. Kemudian mengecup kedua matanya yang mulai membengkak. Tangan pria itu bergerak, “Enggak apa-apa, Sara. Enggak apa-apa. Tuhan tebus semua yang kamu mau lewat aku. Kamu cuma perlu kasih tau aku apapun yang kamu mau mulai sekarang, ya?”