Cerita singkat bersama Ayah.
Aksara tidak ingat pasti, kapan terakhir kali Ayah menggenggam jemarinya sebelum kepergian Bunda. Tapi Aksara ingat dengan jelas, bagaimana jemari kekar itu menyalurkan sebuah kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan dari siapa-siapa. Genggaman jemari Ayah, memang selalu Aksara harapkan di setiap harinya. Namun entah kenapa ketika hari itu tiba, jantungnya seolah berhenti berdetak. Ada rasa bergejolak di dalam dada yang tidak mampu Aksara jelaskan, namun terasa begitu nyata bahwa rasa itu membawa sebuah kerinduan.
Masih sama. Genggaman milik Ayah masih terasa sama seperti hari terakhir di mana jemarinya bertaut pada milik anak bungsunya. Langkah kaki Aksara tiba-tiba berhenti ketika Ayah membawanya untuk mendekat ke rumah peristirahatan terakhir Bunda.
Alis Ayah bertaut kebingungan. Pria itu melepaskan genggaman tangan dari milik Aksara. Anggota tubuhnya bergerak, “Kenapa, Aksara?”
Aksara menggeleng, sebab memang tidak ada alasan yang jelas kenapa tiba-tiba saja ia berhenti melangkah. Kedua sudut bibirnya terangkat, ia mempersilahkan Ayah untuk berjalan lebih dulu di depan.
“Hanin, saya datang sama Aksara. Anak kesayangan kamu.” kata Ayah pertama kali setelah berlutut di depan nisan yang bertuliskan nama Bunda. Senyum pria itu tipis, air matanya hampir saja jatuh kalau saja Aksara tidak menyentuh pundaknya. “Aksara nggak pernah ninggalin saya di keadaan apapun, Hanin.” Ayah terisak. Dalam benaknya teringat kejadian-kejadian di mana ia bersikap kasar dalam satu tahun terakhir ke anak terakhirnya.
Aksara diam di tempat, setia mendengarkan tiap kalimat yang diucapkan oleh Ayah tanpa ada niat untuk memotongnya. Aksara tidak pernah terluka karena Ayah, sebab Aksara mengerti bagaimana terpukulnya Ayah ketika ditinggakkan oleh satu-satunya manusia yang selalu ada di sampingnya.
Ayah pernah bilang, bahwa Bunda adalah satu-satunya perempuan yang menemani di saat semua orang—bahkan dunia sekalipun menjauhinya. Hanya Bunda yang selalu setia menyediakan bahu untuk Ayah beristirahat. Bunda pula yang menjadi alasan Ayah untuk tetap bertahan di dunia ini ketika Ayah harus menerima fakta paling menyakitkan dalam hidupnya. Ketika Dokter bilang bahwa salah satu dari kedua anaknya meninggal di dalam rahim.
“Saya ... saya yang selalu ninggalin Aksara, Nin. Maaf ...” Ayah terisak pada sekon berikutnya. Tatapannya tidak teralih dari nama Bunda yang terukir di atas batu nisan. “Maaf kalau saya ingkar janji, Nin. Maaf kalau pada akhirnya saya yang melukai Aksara. Maaf—”
Kalimat Ayah terhenti ketika Aksara tanpa aba memeluknya dari sebelah kanan. Pelukan yang Ayah kira rasanya masih sama seperti dulu, kini rasanya sudah berubah. Pelukan itu lebih hangat, seiring dengan napasnya yang tidak beraturan. Ayah tau dengan jelas kalau bukan hanya ia yang menangis, tapi Aksara juga.
Setelah beberapa menit, Aksara melepaskan pelukannya dari daksa milik Ayah. Pria berkaus abu-abu itu menghapus air matanya menggunakan punggung tangan, kemudian mengangkat sudut bibirnya sedikit. “Ayah, terima kasih, ya?”
Ayah kebingungan. “Terima kasih untuk apa, Aksa?”
“Karena Ayah sudah minta maaf ke Bunda. Karena dalam permintaan maaf Ayah, Ayah mengakui satu persatu kesalahan Ayah.”
Tangan Ayah terangkat untuk mengacak rambut Aksara. Pria berkacamata itu menipiskan bibir, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke arah nisan Bunda. “Hanin, kamu lihat, 'kan? Anak ini tumbuh dengan baik.”
“Anak yang selalu kamu banggakan pada semua orang, pada dunia. Anak ini yang punya hati seluas jumantara, persis seperti kamu.” Ayah terkekeh di akhir kalimatnya. Tatapannya kini berlabuh lagi pada anak bungsunya. “Aksara tau? Bunda pernah cemburu ke Ayah.”
Kini Aksara kebingungan. Ia menatap nisan Bunda seolah bertanya maksud dari kalimat Ayah. “Cemburu bagaimana, Yah?”
“Kata Bunda, Aksara mirip sekali dengan Ayah. Wajah Aksara, cara jalan Aksara, senyum Aksara, dan segalanya yang ada di tubuh Aksara mirip sekali dengan Ayah.” Ayah menatap Aksara dengan tatapan menggebu seolah banyak sekali hal yang selalu ingin ia ceritakan pada putranya itu. “Tapi setelah Ayah sadari, ternyata hati Aksara lebih mirip dengan Bunda.”
Aksara hanya diam, lebih memilih untuk tenggelam di tatapan milik Ayah. Tatapan yang selalu Aksara rindukan kehangatannya.
“Hati Aksara seluas langit.” kata Ayah.
Aksara tertawa tanpa suara. “Ayah, setelah ini, ayo kita makan di rumah makan yang sering kita kunjungi waktu bersama Bunda!”
Kaki Ayah melemas ketika melihat binar ceria dari netra milik Aksara. Ada banyak hal yang disesali oleh Ayah setelah melihat binar elok di sana. Bagaimana bisa ia membenci darah dagingnya sendiri? Bagaimana bisa ia bersikap kasar dan menyalahkannya atas segala kesialan dalam hidupnya sementara anak itu tidak tau apa-apa? Bagaimana bisa?
“Aksara,” panggil Ayah.
Aksara berhenti tersenyum ketika suara bergetar milik Ayah masuk ke dalam rungu. “Ayah ... jangan nangis.”
Ayah menyodorkan satu benda persegi panjang dengan ukuran kecil yang ia keluarkan dari saku celana-nya. “Semua tulisan Aksara yang Ayah hapus di laptop, sudah Ayah pindahkan ke dalam sini sebelumnya.”
“Ayah baca?”
Ayah mengangguk. “Ayah baca seluruh isinya. Termasuk dokumen khusus untuk Ayah.”
Tangan Aksara bergetar hebat saat tau segala isi hatinya perihal Ayah, ternyata sudah sampai pada pria itu. “Dokumen dengan nama Ejaan untuk Ayah?”
Ayah mengangguk, bergerak untuk membawa Aksara masuk ke dalam pelukannya. “Aksara, tidak ada anak yang tidak diharapkan oleh orangtuanya. Sebab anak tidak pernah minta dilahirkan ke dunia. Orangtua-lah yang meminta pada Tuhan untuk selalu dititipkan ciptaan-nya.”
Aksara tersenyum manis. Manis sekali dengan pacaran elok di kedua netranya. Membuat Ayah terkejut, “Sebentar! Tetap senyum seperti itu, Aksara!” Ia mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, kemudian mengambil foto Aksara tanpa aba.