Membohongi Bumi dan seisinya.

Sebelum bertemu Ibu, kamu butuh pelukan?” Setelah itu Aksara langsung merentangkan tangannya, bersiap menerima daksa Saranita.

Namun tanpa diduga, gadis itu menggeleng. “Aku cuma mau ketemu Ibu, Aksa. Biasanya juga nggak akan kenapa-napa. Kalau pun misalnya nanti ada apa-apa, di sini ada kamu. Aku nggak akan sendiri, kan?”

Tanpa sadar Aksara menurunkan tangannya, namun senyum seluas alam semesta itu tidak pernah hilang dari wajahnya. Aksara hampir lupa kalau Saranita bukan sosok yang dengan mudah mengeluarkan air mata di hadapan dunia, walaupun ia sadar bahwa perasaan itu jelas terasa dan meluap di dalam dada.

Sudah lima belas menit mereka habiskan untuk sekedar berdiri di hadapan pintu bercorak kediaman Ibu Saranita. Sedari tadi yang Saranita dan Aksara lakukan hanya menatap pintu itu tanpa mengetuknya. Namun detik ini, kuasa Saranita mulai terangkat. Gadis itu meneguk saliva, jantungnya seperti berhenti berdetak ketika pintu itu dibuka dan membawa seorang wanita yang diam-diam ia rindukan padahal pintunya belum terketuk.

Keduanya sama-sama terkejut, termasuk Aksara yang kini melangkahkan mundur. Pria itu memberi ruang untuk Saranita dan Ibunya untuk berdialog barang satu atau dua kata.

“Ibu ....” Kata-kata yang sebelumnya sudah Saranita siapkan hilang begitu saja, ia gugup. Netranya tidak pernah lepas dari wajah Ibu. Semuanya masih sama, Ibu tidak berubah. “Apa kabar?”

Di hadapan putri pertamanya, Ibu tidak bergerak sama sekali. Netranya juga tidak pernah lepas dari wajah Saranita. Wanita paruh baya itu masih begitu terkejut akan kedatangan putri yang diam-diam selalu ia rindukan hadirnya. Kakinya seperti mati rasa, tidak kuat hanya untuk sekedar menopang dirinya sendiri.

Setelah sepersekon akhirnya sadar, Ibu membuang tatapannya ke segala arah. “Kamu lihatnya saya bagaimana, Saranita?”

“Ibu,” Saranita menahan tangan Ibu ketika wanita itu hampir saja kembali menutup pintu rumahnya. “Kenapa Ibu benci banget sama Saranita, sih, Bu?”

“Saranita ada salah?”

Kalimat tanya terakhir yang keluar dari bibir Saranita ternyata mampu membuat Ibu menghentikan pergerakannya. Wanita itu mengangkat pandangan, memberanikan diri untuk menatap putri pertamanya.

Saranita nggak pernah ada salah, Nak. jerit Ibu dalam hati. Payah sekali.

“Apa karena Saranita mirip sama Ayah?” Kali ini nafas Saranita tersenggal, ia menusuk Ibu lewat tatapan matanya. Jemarinya mengepal erat untuk menyalurkan sebuah rasa yang tidak bisa ia keluarkan entah kenapa. “Apa karena makanan kesukaan Saranita sama kayak Ayah? Cara Saranita ngomong mirip sama Ayah? Cara Saranita ngeluh mirip kayak Ayah? Apa karena itu, Bu?”

Ibu membuang tatapannya satu kali lagi. “Bukan. Bukan karena kamu mirip sama Ayahmu, Saranita.”

“Terus kenapa? Kasih Saranita jawaban biar Saranita nggak punya pertanyaan lagi tentang kenapa Ibu sebegitu benci sama Saranita!” pekik gadis itu yang mebuat Om Ferdi, Fina juga Mahesa akhirnya ikut keluar dari dalam rumah itu. Rumah yang sebelumnya diisi oleh Ayah, Ibu, dan ketiga anaknya yang hidup dengan bahagia.

Satu menit tidak mendapat jawaban membuat Saranita melempar tatapannya ke sembarang arah. Jemarinya yang masih mengepal erat kini mendarat hebat di tembok sebelah kanannya. Gadis itu menyalurkan rasa di dalam dada yang tidak pernah bisa ia mengerti.

Ibu terkejut, sedikit panik ketika melihat darah yang mulai mengucur sedikit deras dari jemari putrinya. “Jawabannya,” Suara wanita itu sedikit bergetar, netranya terpejam tanpa kata. “Jawabannya karena kamu mirip sama saya, Sara! Dari semua hal yang saya sukai di dunia ini, tapi Semesta nggak pernah kasih saya kesempatan buat suka sama diri sendiri.”

Saranita diam, cukup tidak mengerti dengan tiap kata yang dilontarkan oleh Ibu.

“Saranita tahu gimana rasanya memiliki isi kepala yang bising, kan? Sama. Saya juga punya hal yang sama.” Ibu memekik, rasa sakit itu membabi-buta dan membuatnya hilang kendali. “Saya benci sama kamu karena kamu sok kuat! Dari kecil kamu selalu bilang nggak apa-apa padahal saya jelas tahu kalau kamu kenapa-napa. Kamu nggak pernah minta bantuan, padahal sebenarnya kamu butuh.”

“Hati kamu nggak kuat, tapi kamu memaksa untuk jadi sosok itu.” Ibu menahan air matanya di hadapan Saranita, tapi tatapan itu tidak pernah lepas dari putri pertamanya. “Saranita ingat lima tahun lalu? Waktu itu Mahesa jatuh dari pohon. Siapa yang disalahkan sama Ayah? Saranita, kan? Gimana perasaan Saranita waktu itu? Dimarahi padahal Saranita jelas nggak ada di sana, tapi kenapa? Kenapa ketika Ibu tanya, Saranita selalu jawab kalau Saranita nggak kenapa apa?”

“Ibu ....” Saranita mengingat seluruh kejadian yang ada di dalam hidupnya, ketika ia selalu melontarkan kalimat enggak apa-apa padahal situasinya jauh dari itu. Sangat jauh.

“Saya orang yang suka menyembunyikan perasaan sendiri, sampai akhirnya saya nggak pernah bisa merasakan perasaan apapun lagi.” Ibu kalut, wanita itu bahkan melepaskan dengan kasar tangan Om Ferdi yang berusaha memeluk dan menenangkannya. “Sekarang kamu mau tahu kenapa saya sebenci itu sama kamu, kan? Karena kamu penipu, Saranita! Saya benci dibohongi, dan kamu justru membohongi saya.”

Dua menit dihabiskan untuk menatap satu sama lain. Sebelum akhirnya Ibu bergerak untuk melangkahkan kakinya maju, hendak menatap Saranita lebih jelas. “Kamu sendiri yang bilang kalau perasaan marah itu sampah, kan? Tapi kenapa kamu selalu kantungi sampah itu sendirian, Saranita?”

Kaki Saranita melemas, ia mundur tiga langkah yang beruntungnya langsung ditopang oleh Aksara. Gadis itu begitu terkejut dengan penuturan Ibu yang sama sekali tidak pernah terpikirkan sedikit pun dalam otaknya.

“Saya benci sama kamu, karena kita sama.” Ibu menarik nafasnya, kali ini ia yang membunuh Saranita lewat tatapan mata. “Kita sama-sama menipu isi dunia, termasuk diri sendiri, Saranita.”


Sudah lima menit Saranita duduk di kursi depan rumah Aksara, sedangkan pemilik rumah itu masuk ke dalam untuk mengambil kotak P3K. Tatapan gadis itu kosong, sedari tadi juga tidak mengeluarkan suara sama sekali. Aksara tentu mengerti.

Enggak apa-apa marah, tapi jangan ngelukain diri sendiri.” Aksara menggerakkan tubuhnya untuk berbicara, setelah meletakkan segelas teh hangat juga kotak berisi obat-obatan itu di atas meja. “Aku nggak suka lihat kamu hilang kendali kayak tadi.

Kini Saranita menoleh untuk menatap Aksara, gadis itu menghela nafasnya. “Enggak ada yang tahu kalau aku bakalan lepas kendali kayak tadi. Jangan kan kamu, aku aja nggak tau, Sa.”

Bukan begitu maksudku, Sara.

Saranita kembali menghela, “Terus gimana?”

Pria itu hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Saranita untuk yang pertama kalinya. Namun tangan Aksara bergerak untuk meneteskan obat merah di atas kapas, kemudian meraih tangan kanan Saranita untuk diobati. Dengan gerakan yang hati-hati ia menempelkan kapas itu yang diselipkan harapan agar gadisnya tidak merasa lebih sakit lagi. Tidak lupa, Aksara juga meniupnya, berharap rasa sakit itu segera lenyap.

“Aksa,”

Aksara menoleh, ia menatap Saranita tepat pada netranya untuk menerawang seberapa lelah berdiam diri menjadi sosok penipu.

“Makasih dan maaf buat hari ini, ya?” Saranita terkekeh, “Pagi tadi aku bahagia banget. Naik kereta, makan sup, ke Museum Wayang, makan ice cream tanpa ada perasaan kalau akhirnya aku bakalan kacau pas ketemu sama Ibu.”

Aksara meletakkan plester yang sebelumnya ia gunakan untuk menempel kassa di atas meja. Lagi-lagi pria itu mengangkat kedua sudut bibirnya. “Jangan minta maaf. Soal bahagiain kamu itu udah jadi tugas aku.

“Maaf kalau tadi aku kacau. Aku nggak bisa ngendaliin diri aku. Maaf kalau hari ini aku jadi Saranita yang payah.”

Pria berkaus hitam itu menggeleng, “Kamu nggak pernah payah, Saranita. Tetap kayak gini aja, ya? Jangan terus-terusan jadi Saranita yang suka menipu isi dunia.

Jangan terus bilang kalau kamu nggak apa-apa kalau kamu lagi ngerasa nggak baik-baik aja. Kamu tahu, kan? Aku di sini.

Saranita jelas tahu, pria itu tidak akan hilang atas keinginannya sendiri. Dia mengulum senyum, kemudian bergerak untuk menabrakkan daksanya pada milik Aksara. Bersembunyi di hangatnya pelukan pria itu sambil menyunggingkan senyum yang rasanya berbeda entah kenapa.

“Aksa, aku nggak mau jadi penipu lagi.”

IMG-20211109-160745