Beberapa pembicara memilih untuk bisu.

Kurva di bibir Saranita tidak pernah lenyap ketika Ayah dari Aksara ternyata menyambutnya dengan hangat. Pria itu justru menjadi jiwa yang paling antusias dalam acara masak-masak kali ini. Berkali-kali pria paruh baya itu tidak peduli jika bajunya terkena tepung untuk membuat bakso. Pria itu justru tertawa, terlebih ketika Saranita meminta bantuannya untuk memotong cabai.

“Kalau mau diblender, nggak perlu dipotong, Sara.” kata Ayahnya Aksara, kemudian mengambil alih beberapa cabai dari tempatnya. “Sini,” Tangan pria itu terangkat, meminta Saranita untuk segera mendekat ke arahnya. “Cabainya nggak usah banyak-banyak, nanti sakit perut.”

Saranita mengangguk setuju, kemudian melakukan sesuai instruksi dari Ayahnya Aksara. Namun ternyata ada beberapa hal yang mengganggu pikiran Saranita sedari tadi. “Om,”

Pria bersurai legam yang walau sudah memasuki usia senja tapi tetap gagah itu menghentikan pergerakannya dalam membentuk bakso dari adonan. “Kenapa, Sara? Ada yang susah?”

Saranita menggeleng, “Enggak. Saranita boleh tanya satu hal sama Om Regan?”

Regantara mengangguk sambil kembali melakukan kegiatannya.

“Sebenernya Sara udah tanyain ini ke Aksara beberapa waktu lalu. Cuma, Sara nggak pernah dapet jawaban tentang ini.” Saranita berjalan mendekat ke arah Regantara, mengambil mangkuk sebagai wadah untuk sambal. “Aksara punya adik atau kakak kembar, ya, Om?”

Adonan yang ada di tangan Regantara jatuh semua ke lantai. Tatapan pria itu kosong setelah rungunya mendengar kalimat tanya dari Saranita. Kakinya melangkah mundur dua kali. Dia berusaha untuk menetralkan nafasnya yang tersenggal-senggal.

“Astaga!” Saranita beralih untuk merapikan adonan di atas lantai, kemudian mendekat ke arah Regantara. “Om, Om Regan nggak apa-apa?”

Memori di ingatan Regantara kembali ke tujuh belas tahun lalu. Tahun di mana kakinya tidak lagi bisa berdiri dengan tegak, bahkan tidak mampu untuk menopang tubuhnya sendiri. Suara tangisan bayi tiba-tiba berdengung keras di kedua telinga Regantara, membuat pria itu menjauh dari Saranita karena ketakutan. Regantara pikir, ia akan baik-baik saja ketika suatu saat nanti ada seseorang yang berhasil menyinggung kejadian yang amat ia sesali tujuh belas tahun lalu. Ternyata ia salah besar, Regantara salah besar.

“Om,” panggil Saranita. Gadis itu jelas tidak mengerti dengan reaksi yang diberikan oleh Regantara ketika pertanyaan yang sedari ditahan, berhasil lolos dari bibirnya. Kakinya melangkah ke arah meja makan, menuang air mineral dari dalam teko ke gelas bening. “Om, minum dulu.”

Dengan pergerakan yang pelan-pelan, Regantara mengambil alih dan menghabiskan air mineral yang disodorkan oleh Saranita. Pria itu mengeluarkan diri dari memora ingatan masa lalu, kemudian tersenyum kecil untuk Saranita. “Maaf, ya? Om Regan bikin Saranita kaget, ya?”

“Enggak, Om.” Saranita beralibi sambil menggelengkan kepalanya. Gadis itu berbohong karena berpikir bahwa Regantara pasti punya trauma sendiri dengan pertanyaan tadi. “Saranita yang harusnya minta maaf sama Om Regan.”

Kali ini Regantara menggeleng, “Bukan salah Saranita. Memang Om Regan aja yang pengecut ketika mengingat hal itu. Nanti kalau Aksara sudah pulang dari beli telur, Om ceritakan semuanya.”

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin Saranita tanyakan pada Regantara, tapi mati-matian gadis itu menahan seluruh pertanyaannya di kepala. Dia tidak mau kalau Regantara berpikir yang tidak-tidak tentangnya.

Regantara tertawa kecil ketika ia mendapati wajah kebingungan Saranita. Kemudian bersandar di depan kulkas untuk membantu menopan tubuhnya sendiri. “Kamu tipikal orang yang selalu ingin tahu isi dunia, ya, Sara?”

Pertanyaan Regantara membuat Saranita merasa tertarik dari lamunannya. Gadis bersurai legam itu menggerakkan bolamatanya ke sana-kemari. “Kadang, gitu, Om ...”

“Pertanyaan tadi itu, karena kamu ingin menyelam lebih dalam ke dunianya Aksara, kan?” tanya Regantara telak. Pria itu menarik nafas, meneliti setiap pergerakan Saranita. “Perasaan kamu ke anak Om Regan begitu besar, ya, Sara?”

Saranita tertawa kecil, “Besar banget, Om. Sampai Saranita nggak bisa menggenggamnya. Saranita kadang nggak tau apa yang Aksara mau, Saranita nggak tau apa yang Aksara rasain. Padahal dari pertama kali Saranita milih buat letakkin perasaan ke Aksara, Saranita selalu berusaha untuk kasih dunia Saranita ke Aksara.”

“Maksud kamu?” Regantara kebingungan sendiri.

Kali ini Saranita memberanikan diri untuk menatap Regantara tepat pada matanya. “Om ... Ada banyak hal yang nggak Saranita tau tentang Aksara. Kadang, Aksara itu abu-abu kecuali pada perasaanya.”


“Om ... Ada banyak hal yang nggak Saranita tau tentang Aksara. Kadang, Aksara itu abu-abu kecuali pada perasaanya.”

Langkah kaki Aksara berhenti begitu saja ketika rungunya mendapati suara yang sangat ia kenali. Aksara tau, pendengarannya tidak seperti pada manusia biasanya, tapi Aksara yakin, kalimat yang keluar dari bibir gadisnya adalah sebuah kalimat kekecewaan. Pria itu berdiri di balik tembok yang memisahkan antara ruang keluarga dan dapur untuk mendengarkan percakapan antara Ayah dan gadis kesayangannya.

“Saranita sayang sama Aksara, Om. Sayang banget.” Senyum manis Saranita terukir dengan kelas di wajahnya. Surai legam yang membingkai wajah itu kini ia kuncir asal, membuat beberapa anak rambut ikut jatuh di samping telinganya. “Aksara selalu tau apa yang Saranita butuhin, tapi Aksara nggak pernah kasih tau apa yang dia butuhin ke Saranita.”

Netra Aksara menangkap kalau Ayahnya memilih untuk diam pada posisinya, sedangkan Saranita mundur tiga langkah entah kenapa.

“Om ... Kadang Saranita mau udahan sama Aksara.”

Kalimat itu membuat jantung Aksara berhenti berdetak untuk beberapa menit.

“Aksara nyakitin Saranita?” tanya Regantara.

Saranita menggeleng, “Aksara tumbuh jadi sosok penolong dalam hidup Saranita, Om. Cuma dalam beberapa keadaan Saranita selalu mikir kalau Saranita ini nggak berhak atas Aksara.” Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu menatap Regantara tulus. “Om, Aksara itu terlalu sempurna. Aksara satu-satunya orang yang nggak pernah anggap Saranita sebagai sampah. Aksara selalu bangga karena punya Saranita, padahal Ibu atau Ayah nggak pernah bilang itu secara gamblang.”

Hening untuk beberapa detik menguasai, sebelum suara Saranita kembali menguar di udara. “Hal-hal sederhana yang Saranita lakuin, Aksara selalu bangga. Aksara selalu jadi orang pertama yang tepuk tangan ketika Saranita berhasil mengerjakan tugas dengan hasil sendiri. Aksara selalu jadi orang pertama yang peluk Saranita ketika berhasil menyelesaikan satu lagu di depan banyak orang. Aksara selalu jadi orang pertama yang lakuin hal-hal sederhana yang nggak pernah Saranita dapetin sebelumnya.”

Kali ini, kedua sudut bibir Aksara terangkat penuh walau ada sebagian kalimat dari Saranita yang ingin sekali ia tanyakan. Tapi tidak apa-apa, Aksara akan menahan perasaan ingin tau itu sampai nanti. Sampai setidaknya Saranita merasa bahwa ia baik-baik saja.

“Aksara itu udah kaya waktu buat Saranita, Om. Setiap detik yang ada di pikiran Saranita itu cuma Aksara. Sampai kadang Saranita mikir, Tuhan serius ciptain Aksara untuk Saranita?

Regantara melangkah untuk mendekati gadis kecil yang memiliki perasaan tulus untuk putranya. “Tuhan udah pertemukan Aksara dengan Saranita, itu artinya kalian memang ditakdirkan untuk bertemu dan jadi satu, Sara.”

“Untuk saat ini mungkin iya, tapi nanti?”

Regantara mengerinyitkan alisnya, “Nanti? Kenapa?”

“Om Regan tau kalau Aksara sakit, kan?”

Regantara membisu sampai akhirnya netra pekat itu mendapati Aksara yang berjalan dengan sekantung berisi telur di tangannya. “Nih, Aksara sudah datang. Ayo kita lanjut!”

Setelah kalimat itu terlontar, Saranita akhirnya sadar bahwa beberapa orang memilih untuk menyembunyikan lukanya.

0c5d3c4d-e224-4749-aa55-0ae6dd8dbec7