Percobaan yang gagal.

Kurang dari satu jam lagi menuju tengah malam, dan Saranita tahu kalau kekasihnya sudah berdiri di depan pintu kamar kosnya sejak tujuh menit yang lalu. Pada ketukan pintu yang ke lima kali gadis berambut legam itu baru beranjak dari posisinya. Memberanikan untuk menekan knop pintu kamar kos yang langsung disambut dengan seorang pria yang sangat dirindukan bersama dengn tas karton di tangan kanannya. Saranita menggigit bibir bagian dalam, netranya bergerak untuk menatap Aksara yang tampak pucat. Berkali-kali dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, begitu terus sampai tiga kali.

Perhatian Saranita berhenti ketika dia mendapati senyum Aksara yang begitu tipis, netra pria itu tidak bersinar terang seperti biasanya. Kuasa gadis itu terangkat untuk mengelus kepala Aksara perlahan, “Kamu pasti cape banget, ya?”

Di tempatnya, Aksara hanya tersenyum kecil, menunggu reaksi lain dari gadisnya. Namun tanpa aba, mata gadisnya malah berkaca-kaca. Dia langsung meletakkan tas karton-nya di lantai, kemudian bergerak, “Hari ini nggak baik-baik aja, ya?” Bisa Aksara rasakan bara di dadanya menggebu dengan jelas, ada sesuatu di netra gadisnya yang tidak dapat ia baca. Seberapa keras pria itu mencoba memahami makna dari tatapan mata Saranita, sekeras itu juga Aksara tidak pernah mengerti.

“Enggak,” Saranita menggeleng sembari menelan salivanya untuk menutupi sebuah rasa gugup ketika pria bersurai legam itu membunuhnya lewat tatapan mata. Dia menarik nafasnya, “Semuanya berjalan baik-baik aja, Aksa. Kamu, gimana?”

Gadisnya bohong, dan Aksara tahu itu.

Ingin sekali Aksara menjawab pertanyaan dari kekasihnya tanpa ada bohong, tapi rasanya begitu cepat. Aksara tidak mau membuat tatapan gadis itu berubah menjadi lebih muram. Sepersekian sekon Aksara baru mulai menggerakkan tubuhnya. “Semuanya baik-baik aja.”

“Aksa, kamu nggak lupa tentang kabar baiknya, kan?”

Walau samar-samar Aksara mendengar kalimat tanya dari gadisnya, ia tetap menganggukan kepala.

“Mau cerita di dalam?” Saranita langsung mengambil tas karton yang diletakkan oleh Aksara di atas lantai, kemudian menarik satu tangan pria itu untuk duduk di sofa ujung ruangan.

Keheningan malam ini kembali menyelimuti, Saranita sengaja membuka jendela kamar yang kebetulan mengarah langsung ke jalan raya. Tatapan kedua pasang mata dari dua insan ciptaan Tuhan itu tertuju ke luar jendela, tidak ada yang berani membuka obrolan. Sampai pada akhirnya Saranita berdiri dari posisinya. Gadis itu hendak jalan untuk mengambilkan setidaknya satu gelas berisi air mineral untuk Aksara, tapi ketika kakinya melangkah, Aksara mencekal pergelangan tangannya.

“Aku mau ambilin kamu minum dulu, Aksa. Pasti capek, ya?”

Aksara menggeleng. Setelah apa yang terjadi hari ini, perihal kalimat-kalimat Dokter yang tidak sengaja didengarkan ketika berbicara bersama Ayah, rasanya Aksara hanya ingin beristirahat penuh. Begitu lelah walaupun raganya tidak melakukan aktifitas apa-apa.

Aksara menepuk ruang di sampingnya, persis tempat di mana Saranita duduk. “Aku nggak haus. Sini, duduk lagi.

Dari pada menghabiskan waktu untuk berpikir, Saranita bergegas untuk kembali duduk di posisi sebelumnya. Setelah itu, ia rasakan dengan jelas jika kepala Aksara mendarat di atas pangkuannya. Pria itu membaringkan tubuh, kemudian memejamkan mata tanpa memberi Saranita penjelasan lebih dulu. Bodohnya, entah pergerakan dari mana, kuasa Saranita terangkat untuk mengelus rambut Aksara dengan lembut.

“Aku ... aku hari ini ke sekolah Fina bareng Arsen. Aku kira, kalau Fina tahu aku di sana, seenggaknya aku bisa lihat Fina senyum di depan aku.” Tubuhnya ia sandarkan pada sofa, kuasanya tidak berhenti bergerak untuk mengelus rambut Aksara. Napasnya hampir saja berhenti ketika ia mengingat-ingat apa yang dilakukan Fina kepadanya. “Ternyata aku salah, Aksa. Fina bahkan lari pas lihat aku. Fina nggak mau ketemu aku.”

Ketika Aksara membuka matanya, ia melihat dengan jelas tatapan tertusuk pilu hadir pada netra milik gadisnya. Ketentraman yang selama ini ditujukan pada dunia runtuh begitu saja, tidak ada lagi yang tersisa. Aksara yakin, perasaan gadisnya melebur bersama dengan emosi yang kini tidak dapat tersalurkan secara sempurna.

Kamu bohong, Sara.

Melihat pergerakan Aksara yang bangun dari posisinya, Saranita langsung mengubah posisi duduk untuk menatap pria itu penuh. Netra milik Aksara entah kenapa dapat membawa kehangatan yang menjalar bersamaan dengan darahnya setiap sekon.

Kamu bilang hari ini baik, padahal hari ini jauh dari kata itu.

Saranita mengangguk, tanpa mengeluarkan air mata, ia justru tertawa kecil. “Iya. Seenggaknya aku mencoba.”

Percobaanmu gagal, Sara.

Lagi-lagi Saranita tertawa atas jawaban dari Aksara yang tidak akan pernah ada habisnya. “Aku nggak pernah berhasil bohong ke kamu, ya, Aksara?”

Kini, senyum Aksara terangkat semegah Samudera. Dia memahami dengan jelas kalimat dari gadisnya yang secara tidak gamblang menyatakan bahwa dirinya adalah manusia paling penting. “Kepalamu berisik lagi, ya?

Saranita tidak memberi jawaban, ia hanya menghela nafasnya sembari kembali menyandarkan tubuh di sofa. Matanya terpejam, tangannya terangkat untuk menutup telinganya sendiri, berharap agar suara-suara yang entah dari mana asalnya itu hilang dengan segera. Sedangkan Aksara berjalan ke arah nakas, mengambil tape recorder yang pernah ia berikan pada gadis itu beberapa waktu lalu. Kemudian pria itu kembali duduk, memasangkan headset putih itu di kedua telinga Saranita, kemudian menyalakan benda itu.

Suara Bunda Aksara mengalun dengan lembut di kedua telinga Saranita, membuat gadis itu terpaku untuk beberapa saat karena merasa aneh. Tangannya terangkat untuk menghentikan suara dari tape recorder itu. Dia tertawa sambil menatap Aksara, “Aneh. Aku kaya lagi dengerin suaraku sendiri.”

Jelas saja Aksara langsung tersenyum lagi. “Aku sudah bilang, 'kan? Segalanya tentang kamu, mirip sekali sama Bunda.

“Aksara,”

Aksara mengubah posisi duduknya, ia menatap Saranita tepat pada matanya.

“Aku kangen sama Ibu.”

Aksara bergeser, merapatkan tubuhnya pada milik Saranita. Tangannya merangkul gadis itu, “besok kita ke rumah Ibu, ya? Sekarang kamu tidur dulu.”

“Ibu ... kangen sama aku nggak, ya?”

Aksara bukan tipikal manusia yang akan memberi Saranita jawaban dan berisi sebuah angan. Dia tidak ingin membuat gadisnya berharap lebih untuk jawabannya kali ini.

Kita lihat besok, ya? Apapun jawabannya, jangan pernah ngerasa kecewa. Kamu nggak pernah sendirian, Sara. Aku di sini.”

Sudah hampir sepuluh menit, Aksara tidak mendapat jawaban setelahnya. Namun ia dapat merasakan dengan jelas bahwa gadisnya bernafas dengan teratur di dalam pelukannya.

Close-to-You