Aksara masih betah di Bumi.
Bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam indera penciuman milik Regantara. Bau yang sudah lama yang tidak pernah ia temukan lagi sejak tujuh belas tahun yang lalu. Kepalanya terasa begitu nyeri, membuat langkah kaki lama-kelamaan kian melambat. Jantung pria itu berdebar tidak karuan, sampai rasanya sesak di bagian dada.
Regantara ingat, tujuh belas tahun yang lalu. Di gedung yang sama, rungunya dipenuhi dengan suara tangis bayi di salah satu ruangan. Ruang persegi yang pernah membuatnya kehilangan separuh jiwa. Ruang persalinan. Kini ruang itu berjarak sepuluh meter dari hadapannya. Diam-diam ia membuka kotak hitam di ingatannya, tentang masa lalu yang sebenarnya tidak lagi ingin ia bahas.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Regantara dengan sigap mengambil benda persegi itu dari saku celana. Kemudian menggeser tombol hijau yang menandakan bahwa ia menerima sebuah panggilan masuk.
“Om, ini Saranita.”
Regantara berdeham, berusaha untuk menetralkan suara sebisanya. “Iya. Ada apa, Sar?”
“Hari ini Aksara nggak masuk sekolah, ponselnya juga nggak aktif. Saranita khawatir, jadi Saranita mampir sebentar ke rumah Om Regan.” Di seberang sana Saranita berusaha untuk mengintip ke dalam rumah bercat putih itu melalui jendela yang tertutup dengan tirai abu-abu. “Di rumah kaya nggak ada orang, ya, Om? Emang pada di mana?”
Regantara sempat kehilangan kalimatnya untuk beberapa saat. Kaki pria itu perlahan terangkat untuk melangkah pelan-pelan. “Di rumah Kakak-nya Om Regan sedang ada acara, Sara. Tadi Om udah sempat hubungi wali kelas Aksara untuk izin, kok. Om sama Aksara lagi ada di Bandung.”
“Di Bandung, Om? Kok Aksara nggak kabarin Saranita, ya?” tanya Saranita.
Sejujurnya Regantara tidak pernah tega untuk mengucapkan kalimat-kalimat penuh kebohongan untuk Saranita, karena rasanya sudah banyak sekali kebohongan yang gadis itu terima di hidupnya. Namun kali ini Regantara tidak bisa apa-apa, karena semuanya atas dasar permintaan Aksara.
“Om? Kok nggak ada suaranya? Sinyalnya jelek, ya?”
Regantara menggeleng walaupun ia tahu kalau Saranita tidak akan melihatnya. “Iya, Sara. Aksara nggak dapat jaringan di sini. Saranita jangan khawatir, ya? Aksara baik-baik aja.”
Dapat terdengar dengan jelas di telinga Regantara bahwa gadis itu menghela nafas yang terdengar sangat lega. “Yaudah kalau gitu, Om. Maaf ganggu, dan makasih banyak, Om. Saranita tutup telepon-nya, ya.”
“Sar, sebentar,” cegah Regantara. Pria itu menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. “Saranita bisa janji satu hal untuk Om Regan?”
“Janji?” tanya Saranita kebingungan. “Janji gimana, Om?”
Regantara menengadah agar air matanya tidak mengalir untuk membasahi pipi. Kakinya baru saja sampai tepat di depan pintu, di mana Aksara sedang menutup matanya di atas brangkar rumah sakit. “Untuk apapun yang terjadi ke depannya, janji sama Om Regantara untuk selalu menerima, ya?”
Perasaan Saranita mulai tidak enak. Ia bingung. “Maksudnya gimana, Om?”
“Sar, kita nggak pernah tahu apa rencana Tuhan untuk kita ke depannya, kan?” Regantara menatap Aksara melalui kaca yang berada di pintu ruangan Aksara. Netra kecokelatan itu berlabuh pada daksa putranya. “Untuk apapun yang direncanakan sama Tuhan, tolong Saranita terima, ya? Tentang keluarga, tentang nasib, rejeki, maut, dan tentang Aksara.”
“Om ... Semuanya baik-baik aja, kan? Aksara nggak kenapa-napa, kan?” Kaki Saranita mulai melemah. Daksanya bersandar pada tembok rumah Aksara. Nafasnya tersenggal-senggal seperti baru saja lari ribuan kilo meter. “Om Regan, tolong jujur!”
“Semuanya baik-baik aja, Sara, tapi Om nggak janji untuk ke depannya.” jawab Regantara dengan satu kali tarikan nafas. “Om Regan tutup telepon-nya, ya? Jangan lupa istirahat, Saranita.”
Tangan kanan Regantara bergetar ketika mendarat di gagang pintu, kakinya terasa begitu berat untuk melangkah. Berkali-kali pria dengan usia hampir senja itu menarik nafas, berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, Regantara harus jadi sosok yang paling kuat untuk menghadapi takdir dan kenyataannya.
“Aksa, Ayah di sini.” desis Regantara hampir tidak terdengar ketika ia berhasil masuk ke dalam ruangan Aksara. Netranya tidak pernah lepas dari daksa milik anak terakhirnya. Regantara duduk, meraih jemari Aksara untuk digenggam. “Aksara kenapa nggak pernah cerita, nak? Setidaknya ke Mas Bagas. Aksara kenapa selalu merasa hidup sendiri?”
Dalam hidup Regantara, hanya tiga kali dirinya bisa menangis selantang hari ini. Hatinya terasa begitu sakit seperti ditusuk ribuan jarum di satu waktu yang sama. Ia ingat, hari pertamanya menangis dengan lantang ketika Dokter menyatakan bahwa satu dari dua anak kembarnya lahir dengan jantung yang tidak berdetak. Hari kedua ia menangis dengan lantang adalah, ketika istrinya meninggalkan mereka semua tanpa aba-aba. Kemudian hari ini adalah hari ketiga.
Regantara benci kehilangan. Benci sekali.
Pelan-pelan mata Aksara terbuka, membuat Regantara dengan cepat menghapus air matanya. Bertindak seolah tidak terjadi apa-apa padahal beberapa detik yang lalu ia terlihat sebagai manusia yang paling menyedihkan di muka bumi.
“Aksara sudah bangun, nak?” Regantara tersenyum tipis, masih dengan mengelus punggung tangan Aksara dengan lembut—persis seperti apa yang dilakukan istrinya dulu ketika ia sedang sakit.
Dengan kekuatan separuh, Aksara membuat kurva di bibirnya. “Ayah ... Aksa lupa di mana taruh ponsel. Boleh nggak, kalau Aksara minta tolong Ayah untuk kabarin Saranita? Tolong jangan bilang kalau kita di rumah sakit dan Aksara drop, ya? Nanti Saranita kepikiran.”
“Sudah, Aksa. Ayah sudah kabari Saranita.” Regantara mengangguk. Seiring berjalannya waktu ia mengerti kenapa akhir-akhir ini Aksara menjadi manusia pelupa, itu semua karena penyakit yang diindapnya.
“Ayah ...” Tangan Aksara terangkat untuk menghapus sisa jejak air mata di pipi Regantara. “Jangan nangis! Pria yang sedang terbaring itu masih mengangkat kedua sudut bibir walau matanya mengatakan dengan jelas bahwa ia tidak bisa berbohong perihal rasa sakit yang selalu ditahan. “Dulu Ayah pernah bilang kalau Aksara bakalan jadi superhero, kan? Sekarang ... sekarang Aksara lagi berjuang untuk wujudin kata-kata Ayah.”
Tangis Regantara kembali pecah, ia menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan agar setidaknya Aksara tidak melihatnya dengan jelas. Mau seberapa kali pria itu meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi berkali-kali pula rasa takut itu menyerang tanpa henti.
“Aksara bisa janji sama Ayah, nak?” tanya Regantara dengan suara yang masih bergetar, membuat Aksara menatapnya takut-takut. “Aksara, ayo berjuang satu kali lagi. Ayo berjuang bareng-bareng sama Ayah untuk tetap hidup di dunia. Aksara tahu? Bumi ini membutuhkan manusia seperti Aksara.”
Pria yang akan selalu kecil di mata Regantara itu mengangguk. “Aksara akan selalu di sini untuk Ayah, Mas Bagas, dan Saranita. Aksara masih betah di Bumi, Ayah.”
“Ayah takut, Aksa ...”
Aksara menggeleng, “Enggak apa-apa, Ayah. Aksara nggak bakalan kenapa-napa. Semuanya bakalan baik-baik aja.”
Regantara dapat melihat dengan jelas di setiap pergerakan putranya itu terungkap penuh harap. Sorot matanya melambangkan bahwa setiap kata yang ia ungkapkan akan terwujud dengan segera. Setiap pergerakannya begitu kentara bahwa Aksara juga memiliki sebuah ketakutan yang sama besarnya.
“Ayah, Aksara sudah kehilangan Bunda. Apa sekarang Aksara harus kehilangan semua kenangan tentang Bunda yang tersisa di kepala Aksara juga?”