Gerbong ke-dua.

Stasiun-Jakarta-Kota

Aksara langsung menggenggam jemari Saranita ketika mereka memasuki Stasiun Klender sejak lima menit yang lalu. Alasannya agar mereka tidak terpisah, karena hari ini Stasiun cukup ramai. Pria itu langsung memasukkan tangan Saranita ke dalam saku sweater hitamnya, kemudian menatap lurus dengan pandangan kosong ke depan.

“Aku nggak akan hilang, Aksa.” Saranita terkekeh. Keduanya diri bersebelahan untuk menunggu kereta yang belum tiba. “Aku bukan anak kecil.”

Genggaman Aksara terlepas, tapi tidak membiarkan Saranita mengeluarkan tangannya dari saku pria itu. “Di mataku, kamu selalu kecil, Sara.” Dia tidak sedang berbohong. Bagi pria itu, Saranita adalah partikel kecil yang memiliki ruang cukup besar di hatinya. Namun, kecil-kecil begitu, Saranita memiliki pengaruh yang begitu besar untuk hidup Aksara. “Si kecil yang selalu punya pengaruh besar. Sampai aku nggak berani ngebayangin gimana aku di kehidupan selanjutnya kalau nggak ada kamu.

Gadis itu mengangguk saja, mengalihkan pandang ke segala arah untuk menyembunyikan rona merah di bagian pipi. Saranita tidak tahu harus menjelaskan dari bagian mana, yang jelas, kehadiran Aksara adalah hal terhebat di hidupnya.

Aksara datang ketika gadis itu tidak sedang mencari apapun. Menjadi seseorang yang menjadi alasannya tersenyum di segala keadaan. Dia juga datang untuk jadi tempat Saranita berkeluh-kesah tanpa takut dipojokkan dalam segala hal.

Tiba-tiba Aksara menarik Saranita lembut, membuat gadis itu sedikit terkejut. Ternyata, kereta jurusan Jakarta Kota sudah tiba di hadapan keduanya. Melangkah masuk ke dalam kendaraan yang akan mengantarkan mereka ke tujuan, jantungnya berdetak cepat. Hari ini tampak penuh, dan Saranita tidak begitu menyukai keramaian. Kakinya terus melangkah, mengikuti tiap-tiap pergerakan Aksara untuk sampai di gerbong paling depan.

Katanya, “Biar kalau sudah sampai nanti, kita nggak akan jalan jauh-jauh ke pintu keluar.” Nyatanya, itu hanya dua puluh persen alasan dari Aksara, sisanya ia sedang mencari ruang kosong karena tahu bahwa gadisnya begitu tidak nyaman. Senyumnya terbentang luas ketika menemukan satu ruang kosong di sebelah wanita berumur senja, ia meminta izin melalui pergerakan tubuh yang untung saja dimengerti dengan cepat. “Kamu duduk, aku berdiri di sini.

Tampaknya Saranita ragu, ia hanya menatap kursi kosong itu dua detik. Dengan gerakan yang cepat, Aksara membantu gadisnya untuk duduk di sana. Kemudian ia berdiri di hadapan Saranita, menatap ke arah luar lewat jendela dan tersenyum kecil.

Memora ingatannya membawa pria itu ke masa-masa di mana Bunda membawanya naik kereta untuk pertama kali. Waktu itu Aksara begitu takut akan suara bising yang dikeluarkan dari kendaraan itu. Sekarang semuanya sudah berubah seiring berjalannya waktu, rasa takut itu terbunuh sendirinya. Ingatannya terhempas begitu saja ketika ada seseorang yang menari sweater-nya pelan. Benar saja, itu gadisnya yang manis.

Aksara menunduk, menyetarakan tingginya dengan Saranita yang sedang duduk.

“Aku bisa lihat dunia di sini.” kata Saranita berbisik.

Kedua alis Aksara bertaut, dia kebingungan atas kalimat gadisnya. “Maksud kamu?

“Perspektif yang beda-beda.” Saranita menunjuk dua orang pria yang sedang bercakap di dekat pintu. “Cara tiap orang ngelihat dunia itu beda-beda, dan bener kata kamu. Tiap orang nggak punya isi kepala yang sama.”

Aksara berdiri lagi, tangan kanannya embali berpegangan pada hand strap berwarna putih di atas kepalanya. Sedangkan tangan kiri pria itu, kembali beralih untuk menggeggam jemari Saranita. Kurva di bibirnya terus terbentang, membuat Saranita diam-diam ikut tersenyum karenanya. Aksara tampan, sekali pun tanpa senyum di sana. Astaga, rasanya tidak perlu berjuta-juta kata untuk menggambarkan bahwa pria itu benar-benar tampan hanya dengan melihat netra teduhnya saja.

Ketika kereta berhenti di Stasiun selanjutnya, Aksara melepaskan kedua tangan dari dari masing-masing genggamannya. Ia menatap Saranita dari atas, “Nanti aku ajak kamu keliling Surakarta.

Tanpa disangka, Saranita justru menggeleng. “Ajak aku keliling dunia kamu, Sa.”

Aksara diam, tidak memberi jawaban apapun.

“Kasih tau aku, segala hal yang kamu butuhin. Beberapa mungkin aku nggak mampu bantu, tapi untuk ada di samping dan dengerin kamu tiap ngerasa sepi, aku sanggup.” kata Saranita, menatap netra Aksara dari posisinya. Gadis itu tidak peduli ada berapa telinga yang mendengar kalimatnya, tidak peduli juga jika ada beberapa isi kepala yang berpikir aneh tentangnya. Sebab bagi Saranita, isi kepala Aksara adalah jawaban yang segera ia butuhkan.

Wanita paruh baya di samping Saranita menoleh untuk tersenyum tipis. Tangannya tiba-tiba saja terangkat untuk mengelus pundak Saranita. Katanya, “Menjalani sebuah hubungan itu nggak mudah, ya, Nak? Apalagi di jaman sekarang, laki-laki banyak bohongnya.”

Kalimat itu ditepis dengan kurva yang melengkung manis di kedua sudut bibir Saranita. Rambut legam yang membingkai wajahnya ia selipkan di belakang daun telinga. “Bu, menjalin hubungan itu soal kepercayaan. Saya pernah marah ketika mengira pacar saya bohong, saya menuduh untuk hal-hal yang nggak pernah dia lakuin.”

Wanita itu tergelak, “Menuduh?”

Genggaman tangan Saranita semakin erat pada milik Aksara. Sebelum menjawab pertanyaan singkat itu, Saranita lebih dulu menatap netra milik prianya. “Iya, menuduh. Dulu saya nggak punya rasa percaya, Bu. Saya hanya tahu tentang pacar saya lewat orang lain, tapi sekarang, saya pilih untuk percaya sama dia apapun jawabannya.”

Ketika wanita itu hendak melontarkan kalimatnya, Saranita lebih dulu berdiri, karena kereta sudah tiba di Stasiun Jakarta Kota. “Bu, kita duluan, ya.”

Kaki Saranita melangkah, kali ini ia yang memimpin perjalanan. Jemarinya masih digenggam oleh Aksara, tidak pernah lepas barang satu detik pun. Ketika baru saja turun dari kereta, berdesakan dengan beberapa penumpang lainnya, Saranita hampir terjatuh karena tali sepatunya terlepas entah kenapa.

Aksara mengambil alih, membawa gadis itu untuk berdiri menjauh dari peron. Saat kakinya menginjak lantai Stasiun, Aksara menunduk untuk menyimpul tali sepatu berwarna abu-abu kekasihnya. Kemudian ia berdiri setelah selesai, menatap Saranita yang tidak lebih tinggi darinya. “*Ikat tali sepatunya yang benar. Kalau kamu pergi sendirian, terus tali sepatunya lepas, gimana?”

“Jatuh, ke bawah.” balas Saranita sambil terkekeh pelan. Ia menatap kedua tali sepatu yang disimpul dengan rapi oleh Aksara. “Makasih, ya!”

Kata terima kasih tidak pernah lepas dari tiap kalimat Saranita ketika gadis itu telah menerima sebuah bantuan. Hal itu membuat Aksara punya pandangan tersendiri untuk gadisnya. Walau begajulan begini, Saranita tetap memiliki tata krama.

Pria itu meraih tangan Saranita lagi, menipiskan bibir kemudian menggerakkan anggota tubuhnya. “Sar, kamu tau kenapa Jakarta lebih istimewa dari pada Jogjakarta buat aku?

“Jogjakarta kota paling istimewa, Aksa. Semua orang tahu itu, kok! Kota lahirku, paling istimewa.”

Kini keduanya sudah mulai melangkah, menempuh perjalanan ke Kota Tua dan menemukan sebuah kedai Sup Kambing kesukaan Bunda.

Dia nggak punya kamu, Sara. Dia nggak bisa bawa aku untuk ketemu sama kamu di sana. Dia kurang Istimewa.

Saranita berhenti melangkah, tepat di pelataran Stasiun Jakarta Kota.

“Semua keistimewaan di Bumi ini udah diambil sama kamu, Aksa.”

ad49b627-695c-4249-b74f-0fb588d8fea4