Dunia megah yang diisi dengan luka.
“Saranita benar-benar nggak mau pulang ke rumah?”
Suara Ferdi masuk ke dalam rungu Saranita ketika gadis itu sedang bersiap untuk keluar dari mobilnya. Pergerakannya pelan-pelan terhenti, netranya menatap Ferdi seraya menggelengkan kepala. Rasanya Saranita hanya butuh waktu untuk sendiri saja, menenangkan dirinya setelah mengetahui fakta yang baru saja diterimanya tiga puluh menit lalu.
Tatapan Ferdi teralih ke luar jendela, “Kamu tinggal di rumah ini?”
“Ini? Ah... nggak, Om.” Setelah itu, tangannya bergerak untuk melepas seat belt dan benar-benar bersiap untuk keluar dari kendaraan persegi milik Ferdi. “Ini rumah temennya Saranita yang kemarin, Aksara namanya.”
Saranita memang sudah berniat untuk mengunjungi Aksara setelah pulang sekolah tadi, karena Regantara tidak memberinya kabar apapun. Namun sebelum mengunjungi Aksara, gadis itu harus lebih dulu menepati janjinya dengan Ferdi, karena sejujurnya Saranita butuh informasi lebih terkait alasan Ibu membencinya sebagaimana yang dilakukan Ibu pada diri sendiri.
“Yaudah kalau gitu Saranita pamit, ya, Om.” Saranita mengambil tangan Ferdi, untuk pertama kalinya mencium punggung tangan pria yang dengan tulus menjaga Ibu. Ferdi bahkan rela dibenci oleh Saranita sebegitu parah hanya karena ia mempertahankan perasaannya pada Ibu. “Salam sama Ibu, ya, Om. Nanti kapan-kapan Saranita mampir ke rumah.”
“Saranita,” panggil Ferdi, membuat Saranita kembali menghentikan pergerakan untuk membuka pintu mobil. Satu kali lagi pertanyaan itu keluar dari bibir Ferdi, “Kamu nggak mau pulang, Sar?”
Saranita menggeleng yakin. “Enggak sekarang, Om. Saranita belum bisa berdamai sama ini,” Gadis itu menunjuk dirinya sendiri dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Setelah Ibu, orang yang paling peduli dengan Saranita adalah Ferdinan. Diam-diam pria itu selalu menjaga Saranita atas permintaan Ibu. Senyumnya tidak pernah lepas ketika Ibu bercerita tentang Saranita, Fina, juga Mahesa yang selalu mengisi hari-harinya.
“Om Ferdi pamit, ya, Sar. Salam untuk Aksara dan orangtuanya.” kata Ferdi. Kemudian pria itu menutup jendela mobilnya, meninggalkan Saranita yang sedang menatapnya dengan senyum tipis.
Netra gadis bersurai legam itu tertutup beberapa saat, ia menarik napasnya dalam-dalam seolah sedang mengganti udara yang berada dalam paru-parunya. Senyumnya kembali terlukis kala kalimat Ferdi satu jam yang lalu kembali terdengar di kedua rungunya.
“Om Ferdi pernah tanya ke Ibu tentang sebesar apa rasa Ibu untuk Om. Saranita tahu jawaban Ibu?”
Saranita menggeleng, tidak berniat untuk menjawab dari pertanyaan itu. Karena tidak ada satu kata pun yang terlintas dalam benaknya. Ia hanya ingin mendengar.
“Ibu bilang, rasa Ibu untuk Om Ferdi nggak pernah lebih besar dari pada rasa Ibu ke anak-anak, terutama Saranita Senja.”
Tanpa disadari, kedua sudut Saranita terangkat sempurna, namun kakinya tidak berhenti melangkah. Saranita tidak sabar untuk melihat ekspresi yang dilukiskan oleh Aksara pada matanya jika ia bercerita nanti. Bercerita tentang Ibu, Om Ferdi, dan suasana hatinya yang tidak lagi membisu.
Kuasa Saranita terangkat untuk mengetuk pintu kayu di hadapannya. Bolamata yang selalu merefleksikan sebuah luka kini bersinar terang, senyumnya juga tidak hilang. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ketika pintu kayu itu terbuka, membawa pria berkaus hitam dengan rambut berantakan.
Dia Aksara.
Saranita semakin mengangkat kedua sudut bibirnya, tidak memedulikan tatapan Aksara yang justru terlihat abu-abu. Kuasa Saranita terangkat, hendak menabrakkan dirinya pada daksa yang satu hari ini menghilang dari pandangannya. Namun, ketika pergerakannya terhenti ketika Aksara justru melangkah mundur. Pria itu menghindar.
“Aksa?”
Aksara mengernyitkan alisnya, “Kamu cari siapa? Cari Pak Regantara?”
Dunia Saranita runtuh seketika, kakinya terasa melayang ketika ia membaca seluruh pergerakan tubuh Aksara. Kakinya melangkah mundur dua kali, otaknya masih mencerna yang sedang terjadi. Senyum di bibirnya yang satu detik lalu ia tunjukkan, kini lenyap entah ke mana.
“Aksara ....”
Pria di hadapan Saranita menggeleng, “Saya nggak bisa dengar. Mau saya panggilkan Pak Regantara?”
Tidak ada yang bisa Saranita lakukan selain mengangguk. Seluruh sendi di tubuhnya seperti mati rasa, termasuk pikirannya yang kehilangan arah. Gadis itu berpegangan pada pintu ketika Aksara memintanya untuk duduk di ruang tamu.
“Sebentar, ya? Kamu duduk di sini aja dulu.”
Saranita lagi-lagi hanya mengangguk karena begitu terkejut. Padahal seharusnya Saranita sudah bersiap jika hal ini terjadi, jadi hatinya tidak begitu terluka.
“Saranita,”
Saranita menoleh, “Om ...” Air mata gadis itu tidak lagi dapat ditampung. Dadanya begitu sesak ketika mendapati netra Aksara yang begitu kosong. Tidak ada lagi namanya di sana, tidak ada lagi posisinya di sana.
Regantara berjalan untuk memeluk gadis itu, “Aksara sudah menulis seluruhnya tentang Saranita. Jadi dia nggak akan benar-benar lupa sama kamu.”
“Saranita nggak menemukan apa-apa di mata Aksara, Om ...”
Saranita pernah takut jika satu hari nanti Aksara lupa akan jalan pulang, tapi hari ini, Semesta tidak cuma membiarkan Aksara lupa jalan pulang, karena ternyata Aksara lupa akan rumahnya.
“Aksara, kalau suatu saat kamu lupa sama kenangan kita, tolong jangan lupain aku juga, ya?”
Pria itu tertawa kecil, “Enggak akan, Sara. Kamu itu rumahku, masa aku lupakan?”
Aksara penipu.