Ibu memang tidak pernah bisa dimengerti.
Ahad malam di bawah gemintang yang bersinar dengan terang, jantung Saranita berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Tidak pernah gadis itu bayangkan sebelumnya bahwa Ibu tidak berdiri bersamanya juga Fina ketika ia mengadu tentang apa yang terjadi. Tanpa sadar air mata sialan itu jatuh dari netra yang selalu terang benderang milik Saranita.
“Ibu ....” Gadis itu marah, tapi seluruh kalimat untuk Ibu tidak dapat dikeluarkan dengan fasih. Lidahnya begitu kelu, bahkan hanya sekedar untuk memanggil Ibu saja suaranya bergetar hebat.
Di depan sana, Ibu menarik nafasnya dalam. Netra legam itu tenggelam dalam milik Saranita yang entah kenapa seperti terluka begitu parah. “Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, Sara. Mungkin Om Ginanjar mencari apa yang enggak pernah lagi ia dapat dari istrinya atau—”
“Harusnya enggak ke Fina, Ibu! Fina anak, loh?” potong Sarania dengan cepat. Sejak lahir ke dunia sampai gadis itu beranjak dewasa, ia tidak pernah sekalipun mengerti dengan jalan yang ada di pikiran milik Ibu.
Ibu itu kelabu, terkadang terang, kadang juga redup.
“Sara, Ibu belum selesai bicara.” Tidak peduli dengan air mata yang keluar dari netra milik anak gadis pertamanya, Ibu tetap melanjutkan kalimat bodohnya. “Ibu enggak bisa langsung adu-kan ke Tante Anggun. Kamu tahu, kan, Sara? Kita enggak punya bukti. Lagi pula, kalau Om Ginanjar benar-benar melalukan hal itu ke Fina, kenapa Fina enggak teriak biar Tante Anggun langsung tahu?”
Kan, Saranita berkali-kali tidak pernah diberi kesempatan untuk mengerti tentang Ibu. Wanita yang terkadang ingin selalu menang atas kalimatnya, tapi terkadang juga ia mendahulukan anak-anaknya. Ibu itu benar-benar abu.
“Bu,” Saranita menunduk, punggung tangannya ia gunakan untuk menghapus cairan bening yang berhasil membasahi pipinya. “Refleks setiap orang itu beda-beda. Kadang, ada yang ketika mereka dilecehkan, mereka langsung teriak. Kadang, ada juga yang diam dulu untuk mencerna apa yang terjadi karena dia juga enggak ngerti dengan apa yang terjadi. Bu, Fina ada di opsi kedua.”
“Sara, Om kamu enggak sebrengsek itu.” balas Ibu. Tatapannya menusuk Saranita, seperti tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.
Satu menit hanya keheningan yang mengelilingi antara Ibu dan Saranita. Sampai pada akhirnya gadis berkaus hitam pekat itu berdiri, hendak meninggalkan Ibu dengan sejuta rasa kesal di dalam dada.
“Ibu pasti akan datangi Om Ginanjar suatu saat nanti, Sara. Tenang aja, ya? Ibu juga memikirkan Fina.” Ibu mengehala nafas, ia berdiri untuk menghentikan kaki Saranita yang hendak melangkah ke arah kamar. “Fina juga anak Ibu. Sama seperti Sara dan Esa.”
Harusnya Saranita senang ketika Ibu mengungkapkan kalau wanita itu akan berusaha untuk bicara dengan Om Ginanjar, tapi sekon itu Saranita tersenyum kecil ke arah Ibu. Menatap mata wanita hampir senja itu remeh, “Ibu baru aja ngeraguin anak Ibu, kan?”
“Maksud Ibu bukan gitu, Sara.” balas Ibu, menghela nafas lelah.
Saranita tertawa seolah-olah ia tidak peduli dengan helaan nafas Ibu. “Bu, yang Sara punya tinggal Ibu. Ayah udah jadi Ayahnya orang lain, udah jadi milik orang lain. Kalau bukan ke Ibu, Sara harus ngadu ke siapa, Bu?”
Ibu hanya dia, berjalan ke arah Saranita dengan segelas penuh air yang sedari tadi ada di atas meja. Kemudian, wanita itu menyiram putrinya dengan air di tangannya.
“Ibu ....” Saranita menatap Ibu tidak percaya ketika segelas air itu membawahi wajahnya tanpa celah. Sebagian air dalam gelas yang dilempar dengan Ibu masuk ke dalam hidung yang membuat dadanya kian sesak. “Sara sendirian, Bu. Sara enggak pernah punya tempat buat ngadu, Sara juga sama capeknya kayak Ibu. Tapi kenapa Tuhan enggak pernah beri Sara kesempatan buat marah sama Ibu, sih?!”
“Kamu sendirian, kan, Sara?”
Gadis itu mengangguk tanpa aba. Kepalanya bergerak sendiri tanpa kendali.
“Kalau gitu, anggap saja Ibu sudah enggak ada.”Ahad malam di bawah gemintang yang bersinar dengan terang, jantung Saranita berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Tidak pernah gadis itu bayangkan sebelumnya bahwa Ibu tidak berdiri bersamanya juga Fina ketika ia mengadu tentang apa yang terjadi. Tanpa sadar air mata sialan itu jatuh dari netra yang selalu terang benderang milik Saranita.
“Ibu ....” Gadis itu marah, tapi seluruh kalimat untuk Ibu tidak dapat dikeluarkan dengan fasih. Lidahnya begitu kelu, bahkan hanya sekedar untuk memanggil Ibu saja suaranya bergetar hebat.
Di depan sana, Ibu menarik nafasnya dalam. Netra legam itu tenggelam dalam milik Saranita yang entah kenapa seperti terluka begitu parah. “Ada beberapa kemungkinan yang terjadi, Sara. Mungkin Om Ginanjar mencari apa yang enggak pernah lagi ia dapat dari istrinya atau—”
“Harusnya enggak ke Fina, Ibu! Fina anak, loh?” potong Sarania dengan cepat. Sejak lahir ke dunia sampai gadis itu beranjak dewasa, ia tidak pernah sekalipun mengerti dengan jalan yang ada di pikiran milik Ibu.
Ibu itu kelabu, terkadang terang, kadang juga redup.
“Sara, Ibu belum selesai bicara.” Tidak peduli dengan air mata yang keluar dari netra milik anak gadis pertamanya, Ibu tetap melanjutkan kalimat bodohnya. “Ibu enggak bisa langsung adu-kan ke Tante Anggun. Kamu tahu, kan, Sara? Kita enggak punya bukti. Lagi pula, kalau Om Ginanjar benar-benar melalukan hal itu ke Fina, kenapa Fina enggak teriak biar Tante Anggun langsung tahu?”
Kan, Saranita berkali-kali tidak pernah diberi kesempatan untuk mengerti tentang Ibu. Wanita yang terkadang ingin selalu menang atas kalimatnya, tapi terkadang juga ia mendahulukan anak-anaknya. Ibu itu benar-benar abu.
“Bu,” Saranita menunduk, punggung tangannya ia gunakan untuk menghapus cairan bening yang berhasil membasahi pipinya. “Refleks setiap orang itu beda-beda. Kadang, ada yang ketika mereka dilecehkan, mereka langsung teriak. Kadang, ada juga yang diam dulu untuk mencerna apa yang terjadi karena dia juga enggak ngerti dengan apa yang terjadi. Bu, Fina ada di opsi kedua.”
“Sara, Om kamu enggak sebrengsek itu.” balas Ibu. Tatapannya menusuk Saranita, seperti tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.
Satu menit hanya keheningan yang mengelilingi antara Ibu dan Saranita. Sampai pada akhirnya gadis berkaus hitam pekat itu berdiri, hendak meninggalkan Ibu dengan sejuta rasa kesal di dalam dada.
“Ibu pasti akan datangi Om Ginanjar suatu saat nanti, Sara. Tenang aja, ya? Ibu juga memikirkan Fina.” Ibu mengehala nafas, ia berdiri untuk menghentikan kaki Saranita yang hendak melangkah ke arah kamar. “Fina juga anak Ibu. Sama seperti Sara dan Esa.”
Harusnya Saranita senang ketika Ibu mengungkapkan kalau wanita itu akan berusaha untuk bicara dengan Om Ginanjar, tapi sekon itu Saranita tersenyum kecil ke arah Ibu. Menatap mata wanita hampir senja itu remeh, “Ibu baru aja ngeraguin anak Ibu, kan?”
“Maksud Ibu bukan gitu, Sara.” balas Ibu, menghela nafas lelah.
Saranita tertawa seolah-olah ia tidak peduli dengan helaan nafas Ibu. “Bu, yang Sara punya tinggal Ibu. Ayah udah jadi Ayahnya orang lain, udah jadi milik orang lain. Kalau bukan ke Ibu, Sara harus ngadu ke siapa, Bu?”
Ibu hanya dia, berjalan ke arah Saranita dengan segelas penuh air yang sedari tadi ada di atas meja. Kemudian, wanita itu menyiram putrinya dengan air di tangannya.
“Ibu ....” Saranita menatap Ibu tidak percaya ketika segelas air itu membawahi wajahnya tanpa celah. Sebagian air dalam gelas yang dilempar dengan Ibu masuk ke dalam hidung yang membuat dadanya kian sesak. “Sara sendirian, Bu. Sara enggak pernah punya tempat buat ngadu, Sara juga sama capeknya kayak Ibu. Tapi kenapa Tuhan enggak pernah beri Sara kesempatan buat marah sama Ibu, sih?!”
“Kamu sendirian, kan, Sara?”
Gadis itu mengangguk tanpa aba. Kepalanya bergerak sendiri tanpa kendali.
“Kalau gitu, anggap saja Ibu sudah enggak ada.”