Saranita tidak pernah baik-baik saja
Semilir angin lembut langsung menyapu seluruh kulit ketika Saranita membuka pintu rumahnya. Gadis itu langsung disapa oleh Aksara yang hanya menatapnya datar, tidak ada senyum sekecil apapun di sana. Lekungan di bibir pria itu menghilang begitu saja, seolah-olah ditenggelamkan oleh sang malam. Perlahan kaki tuas Saranita bergerak, melangkah untuk mendekati Aksara yang dibalut dengan jaket hitam kesayangannya.
Ada banyak hal yang selalu Saranita sadari tentang Aksara. Salah satunya tentang benda-benda yang digunakan oleh pria itu. Dia bukan pria yang dengan mudah melupakan barang lama begitu saja walau barang itu sudah serusak apapun. Selagi masih bisa dipakai, maka akan ia gunakan. Ia bukan tidak mampu membeli yang baru, hanya saja, Aksara begitu setia juga menghargai setiap pemberian orang lain untuknya.
Ketika Saranita sampai tepat di hadapan Aksara, menatap netra legam itu tanpa kata, ia hanya tertawa kecil. Kemudian, meminta pria yang sudah menjadi miliknya itu untuk melihat pesan yang baru saja dikirimkan olehnya.
Setelah membaca pesan masuk yang berupa kalimat tanya dari gadis di hadapannya, Aksara langsung melangkahkan kakinya—membuat Saranita mundur begitu saja. Tangan pria itu bergerak di udara pelan-pelan, seolah tahu bahwa Saranita masih dalam tahap mempelajari bahasa yang ia gunakan dalam sehari-hari.
“Kita bicara sekarang. Aku enggak mau terlalu lama bikin kamu marah.”
Kurva di bibir Saranita terangkat sedikit, kemudian disusul dengan kekehan tanpa suara. Netranya berlabuh pada telinga prianya, terselip alat bantu dengar yang baru saja ia berikan sebagai ganti yang lama minggu lalu. “Aku enggak marah, Aksa.”
“Tapi kamu sedih, kan?” tanya pria itu, kembali menggerakkan tubuhnya perlahan. “Tujuanku untuk hadir di kehidupan kamu bukan untuk bikin kamu sedih, Sara.”
Kini tangan Saranita terangkat, menyematkan jemarinya pada milik Aksara. Lalu membawa pria bersurai legam itu untuk duduk di teras rumah. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika Saranita merasakan genggaman yang begitu hangat, netranya lalu teralih untuk menatap jumantara yang sedang menjadi saksi bisu hari ini.
“Sebelum Ayah dan Ibu pisah, waktu itu Ayah pernah tanya. Aku disuruh pilih mau ikut sama siapa, padahal bagiku mereka bukan pilihan.” Di bagian akhir kalimatnya, Saranita tertawa miris. Netra gadis itu tidak lepas dari langit yang hanya diisi oleh beberapa bintang. “Malem itu aku sedih, tapi aku enggak nangis. Karena aku enggak pernah bisa nangis sebelum kenal sama kamu. Belum pernah ada rumah dalam bentuk manusia yang aku temuin selain kamu.”
Malam itu Aksara hanya diam, sama sekali tidak berminat untuk memotong kalimat yang keluar dari bibir kekasihnya. Namun hati pria itu diam-diam terasa begitu terluka ketika tiba-tiba terdengar suara isak tangis yang tertahan dari Saranita. Pelan-pelan Aksara merenggangkan jemarinya, melepaskan milik Saranita kemudian dihempas begitu saja. Tanpa kata juga gerakan yang tidak pernah ragu, Aksara membawa gadisnya untuk masuk ke dalam pelukan yang hangat. Sebab Aksara tahu, pasti tidak mudah untuk Saranit menceritakan apa-apa yang ia lewati.
“Waktu itu mau kelulusan Sekolah Menengah Pertama. Ketika aku pilih untuk terus bareng Ibu, yang ada di pikiranku cuma satu.” Kalimat Saranita terjeda, ia melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk pinggang Aksara dan menenggelamkan dirinya di daksa pria itu. “Waktu itu aku cuma mikir, yang aku punya cuma tersisa Ibu. Jadi, kalau aku enggak bisa membantu, se-enggaknya jangan memberatkan.”
Aksara menepuk punggung Saranita, seolah-olah berkata dengan bangga melalui sebuah dekapan. Saranita melakukan yang terbaik di antara hal baik, Aksara tahu itu. Tepukan itu lama-kelamaan berubah menjadi elusan hangat di punggung gadis itu, seperti Aksara sedang menyalurkan kekuatannya untuk Saranita.
“Aku lebih sayang sama Ibu ketimbang sama Ayah. Tapi ketika aku kehilangan Ayah, aku takut sampai tiba-tiba aku nangis.” Matanya terpejam, membayangkan kejadian sore itu ketika Ayah pergi dari rumah dengan tas besar berwarna abu-abu di tangannya. Ekspresi di wajah Ayah masih tergambar dengan jelas di lubuk ingatan Saranita sampai detik ini, bahkan rasa takut tiba-tiba saja kembali hadir menghantuinya. “Dari sana aku sadar, semua yang aku miliki, akan pergi suatu saat nanti. Entah karena diminta orang lain, atau bahkan diminta pulang sama Yang Kuasa.”
Kali ini kuasa Aksara bergerak, hendak menjauhkan daksa Saranita dari miliknya. Setelahnya, keduanya berlabuh di atas bahu Saranita. Netra Aksara menatap lekat milik gadisnya, kemudian tersenyum kecil. Tangannya bergerak, “Waktu itu kamu yang bilang kalau enggak akan ada yang pergi di antara kita, kan? Aku juga enggak akan pergi, Sar. Tapi tolong kasih aku sedikit ruang, sebab enggak semua hal harus kamu tau.”
Saranita terkekeh, “Kamu ngerasa kalau ruang gerakmu dibatasi, ya? Aku terlalu ribet dan enggak pengertian, ya, Aksa? Aku .... aku egois, ya, kalau aku maunya kamu cuma buat aku? Aku—” Kalimatnya terhenti begitu saja ketika Aksara tiba-tiba saja berdiri dengan tatapan yang tidak pernah Saranita mengerti.
“Sar, hubungan kita berdua. Tolong jangan selalu mikirin perasaan kamu aja. Aku juga harus ikut andil di dalamnya.” kata Aksara lewat sebuah gerakan tubuhnya dengan tergesa.
Bayangan Ayah pergi meninggalkan Saranita tiga tahun lalu tiba-tiba saja terputar dengan cepat bagai potongan film dalam otak gadis itu. Tentang ketakutan-ketakutan itu, Saranita dapat merasa bahwa mereka dapat membunuhnya malam itu juga.
Saranita banyak takutnya.
Benar.
Ada beberapa hal yang Saranita takuti, terlebih akan sebuah kehilangan yang sampai kapan ia hidup di Bumi ini, maka ia harus siap dengan kehilangan-kehilangan dalam bentuk apapun.
“Aksa .... aku takut.” Kakinya mundur dua langkah, semakin menjauhkan dirinya dari Aksara yang justru kebingungan. Tangan Saranita terangkat untuk menutup telinganya sendiri sebab tiba-tiba saja ada bising yang memenuhi isi kepala.
Aksara tidak mengerti dan tidak pernah tahu bahwa Saranita bisa menjadi gadis paling hancur yang pernah ia lihat di depan mata kepalanya sendiri. Kepingan-kepingan itu, terlihat jelas di depan Aksara ketika Saranita mulai melindungi wajahnya dengan telapak tangan dengan isakan yang tertahan. Sebab Aksara tahu, gadis itu sedang mengusahakan bahwa dirinya baik-baik saja padahal ada banyak sekali ketakutan yang tidak pernah terduga oleh siapapun.
Langkah kaki Aksara bergerak maju, membawa dirinya untuk meraih daksa Saranita yang langsung menepis kasar pergelangan tangannya.
“Aksa .... kenapa dateng kalau cuma mau pamit?”