Semua yang dilakukan, beserta dengan alasan.
Tw // family issues .
Btw sorry trigger warningnya aku taruh di sini, enggak bisa ditaruh di tweet idk whyyyy. :(
Sudah satu minggu terlewati, tapi keadaan sama sekali tidak berubah. Terlebih untuk pria berkaus putih yang sedang menggenggam erat penanya. Perasaan pria itu campur aduk kala netranya mendapati seorang perempuan yang satu tahun lebih muda darinya, sedang fokus menatap beberapa buku tebal yang dua hari lalu diberikan oleh Mamanya.
“Kak Ajin,” panggil perempuan itu, mengalihkan pandangan dari buku fisikanya.
Pena di genggaman Ajinaka jatuh begitu saja. Matanya membulat, ia terkejut ketika Utami memanggil namanya tanpa aba. “Y-ya? Kenapa, Tami? Ada yang enggak ngerti?”
Helaan nafas berembus begitu saja dari bibir perempuan berpita biru di rambutnya itu. Kuasanya beralih untuk menutup buku, kemudian menatap lekat ke arah Kakak kandungnya. “Kakak ngomong apa ke Kak Aksara?”
Jemari Ajinaka mengepal kuat ketika nama seseorang yang sangat ia benci diucapkan dengan lantang oleh Utami. Ia sungguh tidak pernah mengerti kenapa perempuan yang memiliki status sebagai adiknya itu begitu terobsesi untuk menempati singgasana paling dalam di lubuk hati pria bernama Aksara. Padahal Utami tahu bahwa Ajinaka begitu membencinya dan Ayahnya.
“Gue enggak ada ngomong apa-apa sama Aksara.” balas Ajinaka senetral mungkin. Jemarinya kembali mengenggam pena, berusaha mengalihkan perhatian Utami dengan terus fokus pada buku di hadapannya.
“Bohong.”
Ajinaka mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Utami yang mengintimidasinya. “Gue enggak bohong.” Benar, Ajinaka tidak berbohong. Memang dekat-dekat ini ia sudah tidak lagi bertemu dengan Aksara, mengikuti seluruh permintaan Utami untuk tidak mendekati pria itu.
“Jangan bohong, Kak!” teriak Utami yang membuat rahang Ajinaka mengeras.
Baru saja Ajinaka ingin menjelaskan tentang apa yang terjadi—termasuk hari dimana teman-temannya yang berusaha menghabisi Saranita, tapi sebuah suara berhasil mengalihkan perhatiannya. Ajinaka menunduk dalam—begitu pula dengan Utami—kala seorang wanita dengan gaun hitam dan sepatu merahnya berjalan menghampiri mereka.
“Utami sudah selesai belajarnya?” tanya wanita itu, melepaskan kacamata hitam yang bertengger di batang hidung. “Kalau sudah, boleh tinggalkan Mama dan Kak Ajinaka berdua di sini? Ada yang harus Mama bicarakan.”
Utami mengangguk, langsung beralih mengemas barang-barangnya dan meninggalkan ruang belajar, menyisakan Yuna dan Ajinaka dalam diam untuk beberapa menit. Sepeninggalan Utami, ruang persegi ini hanya berisi suara denting jarum jam yang terus berjalan detik demi detik. Jantung Ajinaka berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya ketika melihat Mama membuka sabuk yang melingkar di pinggangnya.
“Ma, Ajinaka enggak berbuat apa-apa.” Hanya kalimat itu yang bisa Ajinaka lontarkan saat tatapan Mama berubah mematikan. Ajinaka benar-benar tidak pernah mengerti pada keadaan yang selama ini menguasai dirinya juga orang-orang yang ia sayang. Mama sungguh tidak berubah setelah kepergian Papa, hal itu tentu membuat Ajinaka merasa muak dengan segala perbuatan wanita itu semakin hari.
Kuasa Yuna terangkat untuk mengelus wajah anak pertamanya yang sudah duduk bersimpuh di hadapannya dengan mata yang memerah, memohon ampun sebelum akhirnya sabuk itu mengenai sebagian tubuh kekarnya. “Kamu tahu kenapa saya pulang hari ini? Padahal masih banyak yang harus saya lakukan di Italia.”
Pria berkaus putih itu meneguk salivanya, berusaha mengingat kesalahannya satu pekan ini. Namun tidak ada, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Yuna inginkan. Memang, Ajinaka hidup hanya untuk menuruti semua keinginan Mamanya.
“Saya pulang karena dapat email dari pihak sekolah kalau kamu dan temanmu berusaha menghabisi seorang perempuan dari sekolah lain.” Satu pukulan dari sabuk itu Yuna layangkan, mengenai Ajinaka tepat pada punggungnya. Wanita bergaun hitam itu berdiri, menyisir rambut Ajinaka dengan lembut. “Apa ini yang kamu dapatkan setelah dua belas tahun tinggal sama Papamu, Ajinaka?!”
“Ma, Ajinaka bisa jelasin.” jawabnya dengan nada merintih, berusaha sebisa mungkin menahan rasa sakit pada bagian punggungnya. Ajinaka tidak menangis, sebab ia tahu bahwa Yuna tidak akan menyukainya. “Yang ngelakuin itu bukan Ajinaka, Ma. Ajinaka cuma berusaha ngomong ke Saranita untuk segera jauhi Aksara karena—”
“Saya enggak mau mendengar alasan kamu, Ajinaka.” potong Yuna dengan nada rendahnya.
Ajinaka menggeleng, ia perlu melanjutkan kalimatnya supaya Mamanya itu mengerti. “Karena Utami sayang banget sama Aksara. Utami bilang ke Ajinaka kalau enggak bisa tidur setiap malam karena ada perempuan lain di sekitar Aksara.”
Yuna mengerinyit kebingungan. “Utami sayang sama Aksara? Sebagai apa?”
“Sebagai pria.” jawab Ajinaka dengan lantang. Pria itu berdiri, menatap Yuna dengan tatapan penuh harapan. “Putusin hubungan Mama sama Ayahnya Aksara, ya, Ma? Mama enggak mau lihat Utami terluka kayak waktu ditinggal sama Papa, kan? Mama sayang banget sama Utami, kan?”
Yuna menggeleng keras, netranya menatap Ajinaka tegas. “Mama sudah merencanakan pertunangan dengan Ayahnya Aksara.” Yuna beralih, mengambil tas yang sebelumnya ia letakkan di atas meja, hendak pergi meninggalkan ruang belajar yang ia buat khusus untuk kedua anaknya.
“Gimana perasaan Utami kalau tahu Aksara bakalan jadi Kakak tirinya, Ma?”
Kalimat tanya Ajinaka ternyata mampu membuat Yuna menghentikan langkahnya, matanya memejam sesaat untuk menetralisir isi pikirannya. Bagaimana pun juga rencananya untuk bertunangan dengan Sonny tidak boleh dibatalkan, bisa-bisa reputasinya sebagai fashion designer terbaik senegara ini akan hancur begitu saja. “Mama yang akan urus Utami. Kamu urus dirimu sendiri, jangan terus-terusan buat Mama mengeluarkan uang untuk tutup mulut guru-gurumu.”
Setelah kepergian Yuna, pria bersurai kecokelatan itu mengepalkan jemarinya kuat-kuat. Tatapan Ajinaka beralih pada bingkai foto yang paling besar di ruang belajar, fotonya bersama Papa juga Utami yang saat itu masih berumur tujuh tahun, sedangkan dirinya berumur delapan. Setelah perpisahan Papa dan Mama, Ajinaka sudah berjanji pada Utami untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam keluarganya untuk menggantikan posisi Papa di hati Mama. Itu sebabnya Ajinaka begitu membenci Sonny, karena seluruh harapan Utami ada pada dirinya.
Ajinaka selalu mendahulukan perasaan Utami ketimbang perasaanya sendiri. Pria yang duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas itu sangat menyayangi adik satu-satunya. Ajinaka bahkan selalu mengusahakan untuk memenuhi seluruh permintaan Utami, termasuk mempertemukan perempuan kecil itu lagi pada Aksara—walau tidak bisa dipungkiri bahwa Ajinaka begitu membenci pria itu.
“Kak,” Utami datang, membawa satu gelas air mineral dan dua potong sandwich kesukaan Ajinaka. Kedua sudut bibirnya tersangka penuh, sedangkan netranya menangkap Ajinaka yang sibuk membenahi diri. “Habis belajar, makan dulu, yuk?”
Perasaan marah Ajinaka kepada Yuna lenyap begitu saja ketika netranya mendapati senyum manis yang terlukis di wajah adik satu-satunya itu. Ia berdiri, mengambil satu sandwich yang dibawakan Utami dan memasukkan ke dalam mulutnya. “Enak! Buatan siapa?”
Utami tertawa kecil, tatapannya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Ajinaka. Kuasanya terangkat perlahan untuk mendarat di punggung Ajinaka, mengelusnya dengan lembut, berharap rasa sakit itu segera pergi dari seluruh daksa Kakaknya. Utami tahu, segala yang dilakukan Mamanya pada Ajinaka, termasuk percakapan keduanya, karena sebenarnya ia tidak benar-benar pergi tadi.
“Kak,”
Ajinaka mengalihkan pandang dari makanannya ke arah Utami dengan senyum manis. Mulutnya penuh tapi ia tetap mengeluarkan kalimatnya, “Tami enggak makan? Ini enak, lho!”
Utami menggeleng, tapi air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. “Maafin, Tami, Kak.”
Kalimat permintaan maaf dari Utami seketika membuat darah Ajinaka berdesir. Ia menutup matanya untuk beberapa menit karena tidak mampu untuk sekedar melihat air mata yang keluar dari manik indah Utami. Tangan besarnya terangkat, mengelus surai legam adiknya dengan lembut. “Gue enggak kenapa-napa.”
“Tami tahu apa yang Mama lakuin ke Kak Ajin.” balas Utami, masih dengan nada yang tersendat.
Ajinaka terkekeh, “Abang lo ini kuat, lihat! Otot gue gede begini, masa lo mau kasihan sama gue.”
Perempuan itu tidak tertawa, ia hanya menatap Ajinaka dalam, seolah tenggelam dalam manik pria itu untuk mencari sesuatu yang jelas-jelas disembunyikan.
“Tami,”
Utami menggeleng ketika lagi-lagi tangan Ajinaka mendarat di bahunya. “Utami enggak mau Mama nikah sama Om Sonny, Kak.”
Lagi-lagi helaan nafas yang hanya pria itu berikan untuk Utami, sebab Ajinaka tahu dengan jelas bahwa adiknya itu teramat menyayangi Papa. Tidak mungkin Utami menerima begitu saja siapapun yang masuk ke dalam hati Yuna.
“Lo enggak usah takut, Tami. Gue bisa pastiin kalau Mama enggak jadi nikah sama Ayahnya Aksara, apapun alasan-nya.”
Utami menatap Ajinaka penuh harap, “Kak, Tami sayang sama Kak Aksara...”
Ajinaka pening, ia tidak tahu apa lagi yang mampu ia lakukan untuk adiknya selain mau atau tidak mau mendekatkannya dengan Aksara. Kepalanya bertambah pening ketika bayang wajah Saranita memenuhi pandangannya, terlebih ketika perempuan manis itu tersenyum tulus.