Satu landasan sebagai alasan sederhana.
Aksara benar, perihal minggu pagi memang tidak akan pernah mengecewakan. Beberapa penghuni Ibu Kota biasanya akan pergi berlibur, menghabiskan waktu bersama keluarga. Lalu sebagian lainnya lebih memilih untuk sekedar meluruskan tubuh di kasur, menjauhkan diri dari setumpuk kertas yang menjadi pekerjaan mereka setiap hari. Aksara sendiri akan memilih opsi kedua setelah kepergian Bunda. Sebab tidak ada lagi yang akan mengajaknya pergi ke warung tenda pinggir jalan untuk sekedar sarapan lontong sayur selain Bunda.
“Loh, Aksara? Sudah lama enggak datang ke sini, kemana aja?” Ibu si pemilik warung tersenyum ramah, kuasanya terangkat untuk mengelus tangan kanan Aksara dengan hangat. “Sudah satu tahun, lho. Bunda apa kabar?”
Kedua sudut bibir Aksara yang mulanya tersenyum penuh perlahan memudar, senyum manis itu seolah hanya singgah untuk sementara waktu tanpa ada niat menetap. Netranya bergerak ke sana-kemari, mencari sepenggal kata agar Ibu pemilik warung dapat mengalihkan arah pembicaraan.
“Bu, lontong sayurnya dua, ya. Punya saya sayurnya jangan terlalu banyak, punya Aksara seperti biasa. Nanti tolong diantar ke meja, ya, Bu.” Pelan-pelan Saranita menautkan jemarinya pada milik Aksara, menyalurkan sebuah ketenangan yang ia miliki. Karena Saranita tahu betul, Aksara terlihat tidak nyaman jika ditanya soal Bundanya yang telah tiada.
Setelah satu tahun tidak duduk di kursi kayunya, rasanya masih sama seperti saat pertama kali Aksara menginjakkan kakinta di warung tenda ini. Seperti Aksara ditarik kembali pada masa dimana Bunda masih bersamanya—di sisinya. Rasa rindu semakin menjadi-jadi ketika ia menyinggahi ke tempat-tempat kesukaan Bunda, membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Ada sesak di dalam dada ketika menyadari bahwa Bunda memang sudah benar-benar pergi, tidak ada lagi di Dunia ini walau ia mencarinya sampai pada bagian ujung.
“Aksa,” Tangan Saranita terangkat untuk menyentuh bahu Aksara yang hanya menatap lurus ke depan, tatapan yang kosong dan tidak memiliki arti. “Aksara, lo baik-baik aja?”
Menyadari ada tangan yang mendarat di bahunya, Aksara tersenyum kecil diiringi dengan anggukan kepala. Kendati ia menyatakan bahwa tidak ada apa-apa, Saranita tetap mengambil jemari Aksara untuk digenggam, memberi pria itu satu kekuatan yang ia sendiri tidak pernah tidak bisa mengartikannya. Pada posisi yang sama, jempol Aksara bergerak untuk mengelus lembut punggung tangan Saranita, sebab ia tahu bahwa perempuan itu sedang mengkhawatirkannya.
“Sa, maaf, ya?”
Aksara menipiskan bibir, ia mengambil buku catatan dan pulpen yang selalu ada di dalam saku celana. Tangannya bergerak perlahan, menuliskan kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang cukup membuat Saranita merasa sedikit lega.
Perempuan berkaus abu itu tersenyum, anggukan kepala juga diberikannya untuk Aksara. Entah kenapa, tapi ada rasa hangat bersamaan dengan darah yang menjalar di seluruh bagian tubuh Saranita. Terlebih saat Aksara mengangkat senyumnya selebar Dunia, Saranita rasanya ingin menyimpan senyum itu di bagian nadinya.
“Aksara, lo ada mau minta sesuatu dari gue, enggak?” Saranita mengangkat kuasanya ketika ada angin lembut yang menerpa, membuat surai pria itu jatuh ke bagian dahinya.
Aksara mengangguk tentu saja. Bukan apa-apa, ia sebenarnya tidak ada permintaan lebih selain meminta Saranita untuk tetap berada bersamanya. Tapi karena Bunda, Aksara menyadari satu hal bahwa setiap orang akan pergi—entah apapun alasannya. Kuasa Aksara terangkat, kembali menuliskan kalimatnya.
Saranita menelan salivanya, kemudian tersenyum manis sambil mengangguk setuju. Perlahan perempuan bersurai pekat itu memejamkan netra, disambut dengan gelap yang ada di dalam. Napasnya tercekat dua detik ketika kuasa Aksara perlahan berlabuh pada matanya, diusapnya pelan dengan jemari yang indah selama satu menit. Entah apa yang terjadi, tapi tiba-tiba Saranita menangis, matanya mengeluarkan cairan bening yang membuat jemari Aksara bergetar.
Aksara tidak suka jika mata itu bersedih, cahayanya hilang begitu saja seperti lenyap ditelan keadaan.
“Aksa,” Suara Saranita bergetar, kuasanya terangkat untuk mengambil alih jemari Aksara yang masih berlabuh di wajahnya. “Maaf.”
Aksara tersenyum manis, mengangguk sambil meyakinkan Saranita bahwa ini semua bukanlah salahnya. Sebab Bunda sendiri yang meminta kornea itu didonasikan bagi mereka yang membutuhkan.
Ibu pemilik warung tenda tersenyum kecil, merasa bangga pada Saranita karena sudah bersedia membagi waktunya untuk Aksara. Hatinya menghangat ketika tatapannya jatuh pada setiap pergerakan kedua remaja itu. Bahkan orang lain pun bisa merasakan bagaimana kehangatan yang terpancar dari keduanya, kan?
Saranita menghapus air matanya, kemudian mengambil mangkuk lontong sayur yang baru saja diletakkan oleh Ibu pemilik warung. Perempuan itu tersenyum sumringah, “Selamat sarapan, Aksara!”
Aksara mengangguk, kemudian menyeruput air mineral yang sebelumnya sudah ia tuang dari teko berwarna putih. Netranya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Saranita, dari cara perempuan itu memasukkan makanan ke dalam mulutnya sampai bagaimana ia mengunyahnya dalam diam. Seluruhnya. Aksara jatuh hati pada seluruh yang Saranita lakukan. Tidak ada yang tersisa, hanya ada rasa luar biasa yang Aksara sendiri tidak tahu bagaimana cara mengekspresikannya.
Sarapan menghabiskan waktu dua puluh lima menit, pagi ini Aksara membawa Saranita ke taman komplek yang di pusatnya terdapat sebuah danau. Mereka duduk di bagian pinggir danau, beralaskan rumput hijau dan daun-daun yang jatuh dari pohon. Rasanya begitu sejuk, sampai-sampai Saranita menarik napas sampai dadanya terasa sesak beberapa kali, kemudian mengembuskannya dengan keras—berharap beban yang ada di punggungnya ikut keluar bersamaan dengan embusan itu.
“Gue mau jadi matahari, biar bisa menyinari hidup manusia yang selalu kegelapan.”
Aksara menepuk pelan tangan Saranita, memberikan buku catatannya pada perempuan itu dengan senyum yang begitu manis.
Saranita menatap matahari yang sudah mulai menampakkan sinarnya. Kemudian ia menatap Aksara dengan alis yang bertaut, “Aksa, gue mau jadi matahari karena terus bersinar bagaimanapun keadaannya.”
Aksara terkekeh tanpa suara, kuasanya mulai bergerak untuk menuliskan sesuatu.
Saranita diam, ia bingung. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Aksara justru memberikan sebuah kalimat tanya yang membuat pikirannya buntu. Padahal dulu ia selalu ingin hidup seperti matahari, bersinar bagaimanapun keadaannya sampai lupa kalau matahari juga bisa lenyap ketika hujan menguasai Bumi.
Saranita mengerinyit, lagi-lagi dibuat bingung. “Kenapa?”
Senyum manis memang tidak pernah lepas dari wajah Aksara, bagaimanapun keadaaanya. Bahkan ketika pria itu sedang fokus pada penanya, senyum itu masih hadir membuat seri manis di wajah. Senyum Aksara diam-diam membuat Saranita menyadari banyak hal, salah satunya untuk tetap tersenyum walau rasanya dunia benar-benar tidak adil.
Bagi Saranita, Aksara memang tidak pernah mengecewakan seperti setiap minggu pagi. Kalimat pria itu selalu membuat hatinya menghangat tanpa ada detik yang terlewatkan. Duduk berdua dengan Aksara, dimana dan kapan pun rasanya begitu istimewa.
Kalian tahu karena apa? Karena dia Aksara.
“Aksara, lo pernah mau lenyap dari dunia?” Saranita menatap lurus ke arah danau. Tidak tahu apa yang menjadi pusat perhatiannya, tatapan itu seperti tatapan kosong yang melanda.
Dari kalimat tanya-nya, Aksara menyadari satu hal; Saranita memang punya keinginan sebesar Dunia untuk melenyapkan dirinya sendiri pada lautan lepas. Aksara menerka, Saranita mungkin sedang berada pada titik dimana ia merasa lelah dan tidak adil. Untuk pertanyaan kali ini, sejujurnya Aksara tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang lain. Karena Aksara tidak pernah merasa ingin lenyap, kecuali ketika hari dimana Bunda pergi meninggalkan.
Saranita menoleh, ia sadar bahwa Aksara hanya diam dan menatap sisi wajah sebelah kirinya. “Enggak pernah, ya?”
Aksara diam, pria berkaus hitam itu bingung.
“Gue mau nyerah ngehadapin dunia. Gue kadang ngerasa kalau enggak punya alasan lagi untuk bertahan.” Saranita memejamkan mata, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya dengan tenang. Perempuan itu perlahan merebahkan daksanya di atas rumput yang tidak seluruhnya berwarna hijau. “Aksa, bisa kasih satu gue alasan untuk bertahan?”
Aksara masih diam di tempatnya, ia bukan tidak tahu alasan sederhana apa yang harus ia berikan ke Saranita. Aksara hanya sedang berpikir mengenai satu hal: Saranita tidak tertarik padanya, lalu bagaimana perempuan itu menuruti satu alasan sederhana yang akan Aksara berikan?
“Bingung, kan, Sa?” Saranita terkekeh, namun matanya tetap terpejam. Sampai pada akhirnya ia merasakan ada kertas di atas tangannya.
Perempuan berkaus abu itu bangun dari posisinya, ia menatap Aksara tepat pada netranya. Saranita hampir saja terbahak karena kalimat yang ditulis oleh Aksara. Tapi ada benarnya, Saranita harus bertahan demi hal sederhana—bahwa di surga nanti tidak yang bisa membuat seblak seperti Mang Surya.
“Sa, alasan yang lo kasih mungkin terkesan sederhana, tapi gue suka. Makasih, ya?”
Aksara tersenyum lembut, jarinya bergerak untuk merapihkan anak rambut Saranita, menyelipkannya ke daun telinga agar tidak ada lagi yang menghalangi wajah cantik perempuan itu.
“Sa, alasan yang lo kasih sederhana. Tapi boleh gue buat semakin sederhana lagi?” Bolamata Saranita bergerak, ia takut kalau jawabannya nanti akan membuat Aksara merasa tidak nyaman.
Aksara diam, menunggu kalimat Saranita selanjutnya.
“Lo mau jadi alasan gue untuk tetap bertahan, kan?”
Tidak pernah disangka karena begitu menakutkan akan sebuah jawaban dari perasaan Saranita. Aksara hanya melebarkan senyumnya, mengangguk sebagai jawaban pasti.
Satu hari dan hari-hari lainnya mulai sekarang, Saranita memiliki Aksara sebagai landasan alasan untuk bertahan.