Perasaan nyata tentang derasnya emosi.
Saranita tidak banyak bicara setelah Aksara menemuinya di halte persimpangan dekat komplek salah satu perumahan mewah di Jakarta Selatan. Sedangkan Aksara hanya diam, kakinya mengikuti kemanapun Saranita melangkah. Ada dua kemungkinan kenapa sejak tadi Saranita hanya bungkam, menutup mulut agar suaranya tidak menguar di udara. Satu, karena ia memiliki banyak hal yang harus dipikirkan, dan kemungkinan kedua adalah karena perempuan itu tidak mau membuat Aksara repot untuk menulis sesuatu di atas kertas guna membalas kalimatnya. Kemungkinan kedua cukup membuat Aksara mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. Namun kemungkinan pertama cukup membuat perasaanya gelisah tidak menentu.
Drrt
Saranita menghentikan langkah, membuat Aksara mau tidak mau ikut menghentikan pergerakan tuasnya. Saat perempuan itu menatap ponsel sambil menghela napas kasar, Aksara justru mengusap bahu Saranita untuk sekedar mengusir rasa berat di sana. Kepala Aksara mengangguk begitu saja saat tatapan Saranita jatuh pada matanya, seolah meminta izin untuk mengangkat telepon.
“Sa, maaf, ya? Tapi boleh lepas alat bantu dengar lo sebentar aja?”
Awalnya Aksara bingung, namun tidak lama ia melepaskan alat bantu dengarnya. Keheningan langsung menyapa, namun netranya tidak pernah lepas dari pergerakan bibir Saranita—sehingga pria itu tahu segalanya yang diucapkan oleh Saranita.
“Halo, Ibu...”
Rungu Saranita langsung disambut dengan kalimat yang membuat hatinya terasa kebal. Tidak ada lagi rasa sakit padahal Ibu memberinya sejuta sumpah serapah yang memuakkan. “Kenapa kamu hidup semaumu sendiri, Saranita? Kamu kenapa enggak pernah dengerin kata Ibu?”
Jemari Saranita bergetar ketika mendengar intonasi Ibu yang kian meninggi. Ia mengulum bibir, menatap Aksara sebentar dan berharap air matanya tidak jatuh sekarang juga. “Bu,” panggilnya dengan nada suara serendah mungkin. Saranita membuang tatapan, ia takut kalau seluruh kalimatnya kembali memendam dan pada akhirnya hanya ia yang tersakiti oleh perasaannya sendiri. “Kalau bisa kita bertukar tubuh satu hari aja, Saranita mau jadi Ibu, tapi apa Ibu mau jadi Saranita? Ibu, Sara tahu kalau Ibu baru pertama kali jadi orangtua. Tapi pernah enggak Ibu berpikir satu menit aja perihal Saranita yang juga baru pertama kali jadi seorang anak?”
Saranita hanya tidak mengerti kenapa Ibu begitu egois setelah kepergian Ayah? Ibu juga begitu gengsi ketika Saranita menyudutkannya dengan kalimat kalau Ibu hanya merindukan Ayah dan tidak mampu hidup tanpa Ayah di sisinya. Apa setiap orang yang memiliki rasa cinta bisa menjadi sememuakkan itu? Maksudnya, apakah perasaan cinta itu di atas segalanya ketimbang perasaan anaknya sendiri?
Saranita cukup tidak mengerti.
“Ibu kangen Ayah, kan, Bu?” tanya Saranita telak, membuat Ibu di seberang sana tidak menyelesaikan kalimatnya. Saranita menarik napas, air matanya jatuh tepat di depan Aksara yang hanya menatapnya dalam keheningan. “Iya, kan, Bu?!”
Di seberang sana Ibu diam, membiarkan keheningan mengambil celah di antara ruang yang ada. Bagi Ibu, Saranita tidak sepenuhnya salah. Terkadang memang Ibu begitu merindukan Ayah, tapi di saat memikirkan hal menyakitkan yang pernah dilakukan Ayah, perasaan rindu itu kembali tiba dengan rasa yang berbeda. Rasa yang sampai pada detik ini Ibu selalu terluka memikirkannya, Ibu selalu takut akan sebuah kepergian. Itu sebabnya Ibu begitu marah ketika tahu bahwa Ayah pergi ke rumah untuk membawa Fina dan Esa pergi.
“Kamu begitu sayang dengan Ayahmu itu sampai membela sebegitu kerasnya, Sara?!” Ibu makin menaikkn nada bicaranya. Di ingatan Ibu terlintas momen dimana Ayah mengakui sebuah perselingkuhan-nya tiga tahun yang lalu. Tangannya yang bebas mengepal sampai buku jarinya memutih, emosi yang ada di dadanya tersalur semua ke sana.
“Sara lebih sayang sama Ibu.” Mencoba untuk tetap terlihat tenang di hadapan Aksara, perempuan berkaus putih itu menghela napasnya sesaat. “Bu, enggak bisa, ya, Ibu lihat Saranita sebagai anak Ibu juga? Apa segitu sulitnya untuk memperlakukan Saranita sama dengan Fina dan Esa yang selalu Ibu jaga perasaanya? Sara terluka, Bu.”
Napas Ibu tersenggal, kepalanya pening seperti habis dihantam oleh benda yang cukup besar. Pikirannya kemana-mana, berjalan tidak seirama dengan apa yang menjadi isi hatinya.
“Bu, Saranita akan bawa Fina dan Esa pulang. Ibu yang tenang di rumah, ya? Ayah enggak akan ambil hak asuh Fina dan Esa. Ibu mengandalkan Saranita, kan, Bu?” Menunduk, menatap ujung sepatu putihnya yang sudah berubah warna menjadi kekuningan. Sepatu pertama yang Ibu belikan setelah kepergian Ayah. Saranita ingat bagaimana seri di wajah Ibu ketika menyerahkan sepatu itu untuknya waktu itu. “Tolong percaya sama Saranita, ya, Bu?”
“Jangan pulang kalau tidak ada Fina dan Esa!” kata Ibu memeperingatkan, sebelum akhirnya menutup panggilan sepihak yang membuat Saranita menggelengkan kepala.
Sebenarnya Saranita tidak bisa menjamin bahwa Ayah akan dengan mudah melepaskan Fina dan Esa begitu saja malam ini. Tapi dengan segala kalimat yang udah ia susun sedemikian rupa untuk meluluhkan hati Ayah, Saranita menjadi sedikit yakin.
Tiba-tiba Aksara menyodorkan buku catatannya ke hadapan Saranita, meminta perempuan itu untuk membaca dan mengatakan sesuatu setelahnya.
Saranita melebarkan senyumnya di hadapan Aksara, kuasanya terangkat untuk membantu pria itu memasang alat bantu dengarnya. Saranita kira, Aksara tidak akan tahu apa yang ia bicarakan bersama Ibu di telepon, tapi nyatanya Saranita salah, sebab Aksara bisa membaca gerak bibir.
“Ayah... baik. Tapi gue enggak pernah mau nikah sama orang kayak Ayah.” Saranita mengambil tangan kanan Aksara, mengaitkan jari-jarinya dengan milik pria itu. Perlahan, perempuan itu melangkahkan kaki dengan mata yang menatap langit yang sama sekali tidak ada bintang hari ini.
Aksara menggerakkan tangannya yang bebas untuk bertanya, “Kenapa?”
Awalnya Saranita hanya mengerinyitkan dahi, tapi pada akhirnya ia mengerti apa yang dimaksud pergerakan itu. “Gue enggak mau menghabiskan waktu untuk terluka. Ayah... Ayah bikin gue takut untuk duduk di pelaminan. Ayah bikin gue enggak pernah percaya sama kata sayang, Ayah juga bikin gue enggak bisa percaya sama seorang pria.”
Pria berkaus hitam itu menganggukkan kepalanya dua kali, matanya menatap lurus-lurus ke jalanan yang kosong. Jika ia perempuan, maka ia akan mengambil langkah seperti Saranita—bahwa ia tidak akan menikah dengan pria yang seperti Ayahnya. Tapi karena Aksara seorang pria, maka ia akan mengambil keputusan bahwa ia akan menikahi perempuan yang mirip dengan Bunda. Jika suatu saat bukan Saranita jawabannya, maka ia tidak akan melakukan hal itu.
“Lo enggak mau nanya gimana perasaan gue, Sa?”
Saat kalimat tanya itu dilontarkan, Aksara menghentikan langkahnya. Dia melepaskan genggaman tangan Saranita untuk menulis sesuatu di bukunya.
Saranita diam, hanya menggigit bibir bawahnya di kolong langit mendung Kota Jakarta. Dari kalimatnya, Saranita dapat menyimpulkan bahwa Aksara bukan tipikal manusia yang akan mencari tahu apapun permasalahannya, tapi ia adalah tipikal pria yang akan selalu ada untuk orang terkasih—apapun keadaanya.
Kali ini Saranita terkekeh saat membaca kalimat itu. Rasanya seperti sedang bercanda. “Kenapa harus ngeidolain anak durhaka kayak gue? Lo tahu kalau tadi gue bentak-bentak Ibu, kan? Enggak ada yang bisa dibanggain dari gue, Aksara.”
Aksara kembali menuliskan kalimatnya, tentu dengan senyum yang begitu menenangkan.
Melihat Saranita hanya diam setelah membaca kalimatnya, Aksara bergegas untuk membuka jacket levisnya, memakaikan pada perempuan bersurai legam di sebelahnya. Entah perasaan dari mana, tapi Aksara tidak pernah mau melihat Saranita tampak bersedih. Karena kalau perempuan itu bersedih, itu artinya mata Bunda sedang memancarkan sebuah kesedihan yang membuat hatinya begitu hancur.
Melihat Saranita bersedih sama saja seperti Aksara membiarkan Bunda menangis sendirian.
“Sa, makasih, ya.”
Pria itu mengangguk, kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membuat Saranita diam-diam merasa dunianya kembali berputar secara damai.