Perasaan yang hanya tersangkut di tenggorokan.
Klise, tapi Aksara memang benar-benar bukan pria yang akan membawa Saranita untuk makan di dalam rumah makan mewah, ia justru tipikal pria dengan sejuta kejutan sederhana yang tidak pernah membuat Saranita lelah untuk berdecak kagum. Aksara istimewa, dan memang begitu adanya.
Seperti malam ini, malam dimana pertama kali Saranita menginjakkan kakinya di pasar malam. Senyumnya terangkat sempurna berkat Aksara juga kalimat indah yang selalu pria itu ungkap melalui tulisannya. Padahal, dua jam yang lalu Saranita baru saja beradu argumen dengan Ibu. Perihal ungkapan ketakutan perempuan itu pada dunia, pada manusia-manusia yang berada di dalamnya. Jika ada pertanyaan, “Apa yang kamu takutkan di dunia ini?”
Maka dengan lantang Saranita akan menjawab, “Keluarga.”
Ibu tidak pernah tahu seberapa besar keinginan anak perempuan pertamanya untuk menenggelamkan diri pada lautan lepas dan membiarkan daksa yang selalu dianggap tidak berguna itu dimakan oleh hewan buas.
Kejadian paling parah sejauh ini adalah siang tadi, Ibu lagi-lagi membentaknya hanya karena Saranita menyatakan sebuah ketakutannya selama ini. Saranita takut pada dunia, ia takut menjadi sosok dewasa dan dengan segala kemungkinan yang terjadi di masa depan. Dan Ibu membenci hal itu, semua hal yang menjadi ketakutan Saranita selama ini.
“Kamu sudah melakukan apa, Sara? Sebelum mengeluh seperti ini, apa kamu pernah membayangkan bagaimana lelahnya menjadi Ibu?” Begitu balasan Ibu ketika ia lagi-lagi mengutarakan semuanya.
Saranita tahu, jelas tahu bagaimana beratnya beban yang dipikul oleh Ibu seorang diri setelah kepergian Ayah. Tapi siang tadi Saranita benar-benar butuh rumah, tempatnya mengeluarkan isi hati dan berkeluh-kesah. Saranita tidak butuh sebuah perbandingan yang membuat dadanya terasa semakin berat. Sebab perempuan itu tahu, kalau ia adalah manusia yang baru saja tumbuh dan wajar jika memiliki ketakutan luar biasa.
Saranita hanya butuh tangan yang bersiap menyalurkan kekuatan seimbang lewat genggaman jemarinya.
Kuasa Aksara tiba-tiba saja terangkat untuk menyentuh pundak bagian kiri Saranita, pria itu tersenyum tulus namun netranya berjelajah masuk ke dalam milik Saranita, berusaha mencari sesuatu yang disembunyikan di baliknya.
“Kenapa, Sa?”
Aksara bergerak perlahan untuk mengambil buku catatan juga penanya di dalam saku. Dengan senyum yang tidak pernah lepas, ia mulai menggerakkan kuasanya untuk menuliskan sesuatu di sana.
Helaan napas terdengar begitu saja, sesaat setelah Saranita membaca tulisan di atas buku catatan hijau milik Aksara. Dia mengangguk, kemudian sedikit tersentak kala jemari milik Aksara bertaut begitu saja tanpa dipinta. Rasanya begitu hangat ketika jemari kekar itu mengisi ruang kosong di antara miliknya, nyaman seolah tidak mau dilepaskan. Aksara membawa Saranita untuk duduk di kursi panjang, menatap keramaian pasar malam dari tempat mereka.
Saranita tidak berbohong ketika ia bilang kalau duduk di samping Aksara adalah hal yang paling menenangkan. Rasanya seperti dipeluk oleh Ibu ketika umurnya belum genap sepuluh tahun. Pelukan yang begitu ia rindukan selama delapan tahun belakangan ini.
“Maaf kalau gue malah bikin kacau malam ini, ya, Sa.” Saranita menoleh, menatap wajah Aksara dari sisi pria itu. “Gue tiba-tiba keinget ucapan Ibu siang tadi.”
Kini Aksara ikut menoleh, menipiskan bibir seraya menatap Saranita. Lewat tatapan itu, Aksara seolah berkata bahwa tidak ada hal yang perlu dimaafkan karena semua terjadi begitu saja.
Saranita terkekeh kecil saat ia tahu maksud dari tatapan Aksara yang kini berubah menjadi sebuah tatap kekhawatiran. “Gue cerita, boleh?”
Aksara mengangguk antusias, sedangkan Saranita membuang napas begitu saja—bersiap untuk cerita. Saat ini, hal yang paling ia sukai di dunia adalah bercerita pada Aksara, padahal sebelumnya Saranita bukan tipikal perempuan yang akan membagi beban di pundaknya begitu saja kepada orang lain. Tapi kepada pria yang baru satu minggu lalu ia kenal di samping sekolah, rasanya begitu nyaman. Aksara bukan asing lagi, ia sudah melebur menjadi seperti darah di setiap nadi Saranita.
“Setelah kepergian Ayah, mental Ibu enggak stabil.” Saranita menggantungkan kalimatnya, ada rasa sesak yang menjalar di setiap embusan napas ketika ia membahas perihal Ibu. Selalu saja begitu, sejak tiga tahun lalu Saranita memang tidak pernah baik-baik saja jika mengingat hal ini. “Gue udah ajak Ibu ke Dokter satu kali, tapi Ibu tetap enggak mau terapi lagi. Ibu kadang baik, baik banget. Tapi Ibu juga bisa jadi manusia yang paling menakutkan buat gue, Fina sama Esa. Ibu suka marah tanpa sebab, Ibu enggak pernah mau dunianya dihampiri orang lain. Kadang Ibu pergi, lupa kalau dia punya anak yang nunggu dan kelaparan di rumah.”
Saranita menunduk, membiarkan dirinya tenggelam pada pikiran sendirian. Sedangkan kini kuasa Aksara terangkat untuk membawa kepala gadis itu bersandar pada dadanya yang bidang—sampai-sampai Saranita bisa mendengar detak jantung yang tidak begitu stabil.
“Gue enggak pernah bisa ngitung seberapa sayang gue sama Ibu, Sa. Gue selalu mengusahakan versi terbaik dalam diri gue untuk Ibu, untuk Fina sama untuk Esa.” Saranita mengusahakan agar suaranya tetap netral, membuat napasnya sedikit tersenggal. Perlahan, kedua tangannya melingkar di pinggang Aksara, untuk pertama kalinya ia membalas pelukan nyaman pria itu—karena biasanya hanya Aksara yang memeluknya erat tanpa mengharapkan sebuah balasan. “Gue enggak pernah bisa marah sama Ibu. Kalau gue kesel, gue selalu pendam rasa marah gue. Makannya hari itu gue bilang sama lo kalau perasaan marah itu kayak sampah, kan? Karena,”
Kuasa kiri Aksara bergerak untuk mengelus punggung Saranita, menyalurkan sebuah rasa hangat lewat sana. Sebab Aksara tahu, bercerita pada orang asing bukanlah hal yang mudah. Terlebih mereka baru kenal satu minggu yang lalu.
“Karena gue enggak mau lo kayak gue, Aksara. Gue enggak pernah bisa marah di depan Ibu, gue enggak pernah bisa nangis di depan Ibu. Gue enggak pernah bisa ngerasain hal-hal emosional selama ini karena awalnya gue cuma bisa mendem perasaan itu buat diri gue sendiri, sampe akhirnya gue lupa gimana cara ungkapnya. Gue enggak pernah peduli sama orang lain, tapi saat lihat lo sore itu pulang sekolah, semuanya berubah. Ada rasa yang enggak pernah bisa gue jelasin sampe saat ini, semuanya kayak nyangkut di tenggorokan.” Saranita menengadah, menatap Aksara dari posisinya. Pria itu benar-benar tampan, memang seperti malaikat yang secara tiba-tiba dikirim Tuhan untuknya.
Kuasa Aksara bergerak untuk menulis sesuatu di atas buku catatan, namun tetap tidak melepaskan Saranita dari pelukannya. Senyumnya masih sama, terukir dengan indah seolah ia adalah lukisan yang paling elok di dunia.
Perempuan berkemeja hitam itu mengangkat kedua sudut bibirnya, pelan-pelan ia tersenyum secara ikhlas seperti apa yang selalu dilakukan oleh Aksara. “Makasih juga udah bikin gue selalu percaya sama kemampuan diri sendiri dari hari ke hari, Sa.”
Sebenarnya bagi Saranita, mengenal Aksara bukan hanya sebuah keberuntungan. Tapi lewat pria itu Saranita menyadari banyak hal termasuk rasa bersyukur.
Aksara lagi-lagi menyodorkan buku catatannya saat Saranita mencoba bangun dari posisinya, sedikit menjauhkan daksa satu sama lain.
Saranita menatap Aksara bingung, “Apa?” Dengan sabar ia menunggu sebuah Aksara yang sedang menuliskan kalimatnya di atas buku.
Saranita bergeming, ia menatap Aksara dengan perasaan aneh yang menyeruak di dalam dada. Malam ini Aksara memakai kacamata berbingkai tipis, kaus putih lusuh yang dibalut dengan jaket berwarna hitam. Surai legam yang sudah agak memanjang dibiarkan jatuh dengan indah di atas keningnya.
“Lo ganteng banget malem ini.”
Bukan hanya Aksara, tapi Saranita juga terkejut dengan apa yang baru saja ia ucapkan secara gamblang. Jantungnya berdetak lebih cepat, sama halnya dengan Aksara yang kini justru tersenyum begitu manis.
“E-enggak, maksud gue, iya. Maksudnya, iya—semua orang pasti terluka saat pendewasaan diri. Lo bener, iya, lo bener.” Untuk pertama kalinya Saranita merasa gugup di hadapan Aksara, perempuan bersurai sebahu itu bahkan menggigit bibir bawahnya tanpa ampun saat ini.
Sialan!
Kenapa Aksara harus selalu membuat Saranita salah tingkah seperti ini, sih?