Satu dalam 365 hari.
Setelah ditinggal Bunda selama satu tahun, ada hal yang sama sekali tidak pernah bisa diterima oleh Aksara. Bukan hal tentang bagaimana ia harus menyikapi dunia ini sendirian, tapi perihal tatapan Ayah yang selalu membuatnya merasa ingin pergi dari tempatnya berpijak. Aksara tidak terima, sebab rasanya begitu aneh ketika tatapan yang dulunya begitu hangat kini berubah bagai batu es yang dipahat di depan matanya.
Seperti malam ini, Ayah tiba-tiba saja datang dan duduk bersama Aksara di meja makan. Menyantap makanan yang baru saja dibeli oleh Aksara pakai uang dari Bagas. Hal yang pertama kali Aksara dapati ketika ia menatap Ayah adalah tatapan menusuk penuh kebencian. Namun Aksara tahu, bahwa dibalik tatapan keras itu penuh sekali pernyataan-pernyataan penuh luka yang sama sekali tidak mau ditunjukkan pada dunia. Aksara tahu, Ayah tidak selemah itu, Ayah hanya manusia yang diciptakan dengan tingkat ke-egoisan yang lebih tinggi.
“Hari ini, tepat satu tahun kepergian Bunda.” Suara Ayah mengisi kekosongan di antara keduanya. Beruntung malam ini Aksara menggunakan alat bantu dengarnya, jadi walaupun ia tidak merespon, setidaknya ia tahu apa yang diucapkan oleh Ayah. “Bagas dan kamu sudah bisa beraktifitas sebagaimana manusia lain-nya, kalian baik-baik saja setelah kepergian Bunda. Sedangkan Ayah masih sibuk dalam sebuah halusinasi yang menyatakan bahwa Bunda masih di sini.”
Aksara hanya diam, pria itu memperlambat pergerakan seiring dengan napasnya yang kian tersenggal. Ingin sekali rasanya berteriak di hadapan Ayah bahwa ia dan Bagas tidak pernah merasa lebih baik setelah kepergian Bunda. Masing-masing dari mereka hanya menyimpan sebuah rasa menyakitkan dan menyembunyikannya satu sama lain. Mereka hanya berusaha untuk terlihat lebih baik, padahal di sisi lain rasanya ia ingin protes pada Tuhan karena—karena, kenapa harus Bunda?
Ayah terkekeh kecil, menatap anak terakhirnya itu singkat. “Lihat, kamu bahkan tidak mendengar apapun yang saya katakan.”
Aksara menjatuhkan sendoknya pelan, wajahnya terangkat untuk tenggelam ke dalam mata Ayah. Setelah itu, ada rasa sesak yang ia sendiri tidak tahu apa artinya. Tapi Aksara sadar, Bunda adalah satu-satunya perempuan yang berhasil menarik Ayah keluar dari lingkar menyedihkan dalam hidupnya di masa lalu. Selama ini Aksara selalu memaklumi Ayah, perihal kalimat Ayah yang sejujurnya menyayat bagian dalam hatinya.
Tangan Aksara bergerak, bicara menggunakan bahasa isyarat kepada Ayah. “*Ayah, Aksara dan Mas Bagas enggak pernah merasa baik-baik saja setelah kepergian Bunda. Kami justru sedang berusaha baik-baik saja, berusaha sebisa mungkin menerima takdir yang memang diberikan oleh Tuhan.”
Di menit yang sama, Ayah marah. Pria berumur hampir senja itu membanting piring berisi nasi berlauk Ayam yang dibeli oleh Aksara, isinya berhamburan kemana-mana yang membuat jantung Aksara bekerja lebih cepat. Kuasa Ayah terangkat, hendak memukul anaknya itu tepat pada bagian pipi. Mata Ayah memerah menunjukkan bahwa amarah sedang menguasai dirinya.
Sedang Aksara ikut berdiri, menatap Ayah dan sebisa mungkin menahan pergerakannya. Ia kembali berbicara menggunakan bahasa isyarat, “Ayah tahu kenapa Aksara sama Mas Bagas terlihat baik-baik aja?”
Di tempatnya Ayah hanya diam.
“Karena Ayah enggak pernah bertanya perihal perasaan Aksara dan Mas Bagas secara langsung. Ayah cuma lihat dari apa yang terjadi, bukan apa yang terasa.” Pada akhirnya, air mata yang sedari tadi disimpan oleh anak itu tumpah juga setelah ia mengungkapkan apa yang menjadi perasaannya. Kemudian Aksara berjongkok, hendak mengumpulkan beling dari piring yang dibanting oleh Ayah. Dengan getaran yang masih terasa, juga sesak yang menyeruak di dalam dada, Aksara kembali menggerakkan tangannya. “Aksara juga sudah mati setelah kepergian Bunda, Yah. Tubuh Aksara di sini, tapi jiwa Aksara sudah dibawa pergi sama Bunda. Ayah tahu siapa yang paling dekat dengan Bunda selain Ayah, kan? Itu Aksara.”
Tawa sarkas keluar dari bibir Ayah, matanya menatap Aksara penuh dengan rasa benci, sebab Ayah tahu kalau Aksara benci dikasihani. Lagi-lagi kuasa Ayah terangkat, satu kali memukul Aksara tepat pada kepala pria itu. Kemudian ia berjalan ke luar rumah, membuka pintu dan disambut oleh perempuan dengan seragam serupa milik Aksara.
“Aksara, temanmu datang.” kata Ayah, sebelum akhirnya meninggalkan Saranita yang kebingungan di depan pintu rumahnya.
Saranita tergelak ketika ada sebuah tangan yang menyentuh pundaknya. Tatapan perempuan itu teralih pada Aksara yang sedang tersenyum manis, namun Saranita tidak begitu bodoh untuk menyadari ada jejak bekas air mata di pipi pria itu.
“Eh?” Saranita terkekeh, tidak berhenti menatap Aksara yang sedang tersenyum begitu manis. “Lo enggak apa-apa?”
Pria itu mengangguk yakin, tidak ada keraguan atas pergerakannya, tapi Saranita tahu lewat tatapan mata Aksara mengisyartkan sebuah rasa sakit di dalam dadanya. Setelahnya, Aksara mempersilahkan Saranita untuk masuk dan duduk di ruang tamu sedangkan pria itu menyiapkan air mineral untuk dihidangkan.
Setelah menuliskan kalimatnya, Aksara menyodorkan buku catatan itu.
Saranita mengambil gelas yang disiapkan oleh Aksara, menyeruput air mineral itu untuk menenangkan dirinya sesaat. Pikirannya kalut, tentang pesan dari Ayah juga tentang kejadian yang baru saja ia alami.
Tadi, saat mencari pekerjaan di sebuah kafe, ada satu pekerja yang justru melecehkannya. Saranita memang jago bertarung, tapi ia berani bersumpah ketika tangan pria tadi masuk ke dalam roknya, seluruh pergerakan seperti terkunci. Rasa takut itu hadir lagi sesaat setelah ia mengingat apa yang barusan terjadi.
Jemari Aksara terangkat untuk menyentuh bahu Saranita, namun gadis itu justru menjauh karena begitu terkejut. Lantas, Aksara menuliskan kalimatnya di atas buku.
Saranita diam sesaat, matanya menatap Aksara begitu takut. Perempuan itu menggeser duduknya, sedikit menjauhkan diri dari Aksara. Sedangkan Aksara masih berusaha untuk menyentuh tangan Saranita, setidaknya untuk menyalurkan ketenangan yang ia punya.
“Gue ... gue enggak apa-apa, Sa. Gue enggak apa-apa.”
Kendati begitu, Aksara tahu bahwa Saranita tidak baik-baik saja. Aksara tahu kalau Saranita sedang berusaha melewati satu hari yang buruk. Sebab rasanya tidak mungkin perempuan itu datang ke rumahnya tanpa sebab. Aksara langsung berjongkok di hadapan Saranita, menggenggam jemari mungil itu untuk ditenangkan.
“Saya tahu kalau kamu enggak bisa mengerti apa yang saya rasa, Sara. Tapi saya mau, kamu baik-baik saja setelah ini.” Dalam hati Aksara berharap bahwa setelah ini tidak ada lagi hal-hal rumit yang datang pada perempuan di hadapannya ini.
“Gue takut, Aksa ...”
Aksara menatap netra kecokelatan di hadapannya, mencari sesuatu yang ia harap dapat ditemukan di dalam sana. Namun nihil, perempuan itu menyembunyikannya dengan rapat, dan Aksara tidak mungkin memaksanya untuk bercerita.
“Hari ini,” Saranita menghela napas, menunduk untuk meredam seluruh suaranya. “Gue harap, gue lupa sama hari ini.”
Kuasa Aksara terangkat, membawa daksa perempuan itu masuk ke dalam pelukannya, memberikan hal yang ia punya dan tentu Saranita butuhkan—sebuah kehangatan dalam peluk menenangkan. Aksara berusaha mengambil buku, menuliskan sesuatu untuk dibaca oleh Saranita.
Setelah membaca tulisan itu, senyum Saranita secara otomatis terangkat dengan sempurna. Ia semakin sadar bahwa Aksara adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan sebuah rumah kepulangan.