Malam ketika gadis itu berputus asa.
Malam ini, Jakarta kembali diguyur hujan. Cukup deras dan membuat suasana kota itu menjadi lebih dingin dari pada biasanya. Biarpun begitu, Jakarta masih tetap dipadati dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Warung tenda di pinggir jalan juga tetap buka walau berkali-kali penyangganya terlepas akibat tiupan angin kencang. Hal itu membuat Bapak pemilik warung harus berkali-kali pula membenarkan tendanya agar tidak rubuh—tentu dengan sumpah-serapah yang entah untuk siapa.
Dia Saranita, gadis biasa yang begitu mencintai kota ini. Kota dimana ia dibesarkan oleh Ibu seorang diri, karena Ayah sudah pergi sejak tiga tahun lalu.
“Neng, enggak pulang? Udah malam, nanti orangtua-nya nyariin.”
Saat suara itu masuk ke dalam rungunya, Saranita menoleh dan mendapati seorang Bapak penjual rokok keliling. “Iya, Pak. Nanti saya pulang.”
Bapak itu hanya mengangguk-anggukan kepala seolah tidak peduli akan jawabannya. Kemudian netra gadis itu kembali memindai jalanan yang masih penuh karena ternyata lampu lalu lintas di depan sana berwarna merah.
Semakin malam, maka udara semakin dingin. Gadis bersurai sebahu itu menyatukan telapak tangan, mengusapnya satu sama lain guna meredam dinginnya angin yang setiap detik masuk ke dalam nadi. Kalau saja tadi tidak memilih untuk pergi dari rumah, maka ia sedang duduk dengan berbalut selimut tebal juga menyesap cokelat hangat buatan sendiri.
Walaupun netra kecokelatan itu tampak memindai sesuatu di jalanan yang luas, namun otaknya tetap bekerja keras—tentang bagaimana caranya mendapatkan rupiah hanya dalam waktu empat hari. Kuasanya mengambil satu lembar kertas putih yang ia dapat dari sekolah, tidak lain dari tagihan uang bulanan yang sudah menunggak tiga bulan. Helaan napas terdengar berkali-kali dari bibirnya dengan kasar.
Sampai pada akhirnya, ada sebuah jemari yang menyodorkan sapu tangan berwarna merah di hadapannya. Saranita menengadah, tatapannya bertemu dengan tatapan hangat yang selama ia hidup di Bumi tidak pernah ia dapati.
Saranita terkekeh dengan suara sumbangnya. “Gue kira lo bercanda doang pas bilang ada di seberang.”
Kuasa Aksara terangkat satu, meminta gadis di hadapannya untuk menunggu sebentar. Sementara hal yang pria itu lakukan selanjutnya adalah memakai alat bantu dengar. Senyumnya terus merekah, sampai pada akhirnya ia duduk di samping Saranita. Kemudian memulai untuk menuliskan sesuatu di atas buku catatan yang selalu dibawa kemana-mana.
Saranita mengangkat separuh sudut bibirnya, kemudian netranya kembali beralih untuk menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Entah, tapi halte adalah tempat ternyamannya untuk ia bersembunyi dari jahatnya orang-orang di luar sana. Hanya di halte, pukul dua belas malam Saranita bisa merasakan hidup yang sebenar-benarnya.
“Gue bingung, Aksa...”
Aksara hanya mengerinyit, tidak berniat mengeluarkan sedikit suara pun. Ia hanya ingin membiarkan gadis itu mengeluarkan apa yang ia rasakan. Namun setelah sekian lama menunggu, Saranita tampak tidak melanjutkan kalimatnya. Pada detik yang sama, Aksara membuka jaket hitamnya, menyisakan kaus putih lusuh yang dibelikan oleh Bunda dua tahun lalu.
“Aksa, emang lo enggak dingin juga?”
Aksara terkekeh tanpa suara, netra elok itu menusuk dalam ke milik Saranita—tepat membuat jantung perempuan itu hampir saja berpindah tempat. Tangan Aksara kembali bergerak untuk menulis kalimat di atas buku, tentu dengan senyum yang tidak pernah tenggelam dari wajahnya.
Saranita bergerak, mengalihkan seluruh pandangan ke arah Aksara. “Sa, gue mau nanya, boleh?”
Dalam hidupnya, sejauh perjalanan yang tidak pernah ia tahu kapan akan berakhir ini, Saranita tidak pernah memiliki satupun tujuan hidup. Perempuan itu sama sekali tidak pernah tahu apa tujuannya ia hidup di dunia.
Di menit yang sama Aksara mengangguk, mempersilahkan Saranita untuk bertanya.
“Lo pernah paham kenapa Tuhan ciptain lo, enggak?”
Aksara hanya diam, karena pada dasarnya memang punya satu pertanyaan sama dengan Saranita. Sampai detik ini, Aksara tidak pernah tahu kenapa Tuhan menciptakannya dengan segala kelebihan yang justru membuat beberapa orang menganggap itu sebuah kekurangan.
Bukan, itu bukan berarti Aksara tidak bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan untuknya. Aksara hanya ingin tahu, apa tujuan yang sebenarnya.
Karenanya ia menggeleng.
“Gue mau cerita, boleh ya?”
Kali ini pria bersurai pekat itu mengangguk.
“Gue enggak tahu mau mulai dari mana.” Di atas kursi halte dengan angin dingin yang menerpa hingga menembus ke bagian tulang, Saranita berdeham untuk menetralkan suaranya yang hampir saja bergetar. “Sejak Ayah enggak ada di rumah, perekonomian keluarga gue menurun. Gue enggak menyalahkan Ayah, gue menyalahkan diri gue sendiri.” Ia mengulum bibir, bersiap untuk melanjutkan kalimat yang sebenarnya membuat dadanya begitu sesak. “Pas Ayah pergi gue menyadari satu hal. Lo tahu apa?”
Aksara hanya diam, tapi tatapan mata eloknya selalu antusias ketika rungunya yang dibantu dengan sebuah alat mendapati suara Saranita. Sebab Aksara tahu, jika ia menuliskan setiap kalimat tanya-nya di atas buku, itu akan memakan banyak sekali waktu. Ia tidak ingin Saranita menunggu lebih lama lagi hanya untuk sekedar bercerita.
Lagi-lagi helaan napas, sebelum akhirnya Saranita menatap pria di sampingnya dengan senyum yang begitu ikhlas. “Gue enggak bisa bergantung sama manusia. Walaupun itu Ayah, Ibu atau bahkan orang yang jaraknya sedekat nadi sekalipun, mereka bisa aja pergi. Ketika mereka pergi, apa yang gue dapet?”
Aksara hanya diam. Ia menyadari satu hal lagi lewat Saranita; bahwa ia terlalu menggantungkan dirinya dengan Bunda. Jadi, ketika Bunda pergi yang Aksara dapat hanya kenangannya saja.
“Yang gue dapet cuma rasa kosong yang menjalar. Aksa, lo tahu apa yang gue lakuin pas Ayah pergi?” Melihat Aksara yang hanya diam, namun lewat tatapan ia menyatakan sebuah rasa perih, Saranita diam. “Lo baik-baik aja, kan?”
Di atas kertasnya, jemari Aksara mulai bergerak.
Membaca kalimat itu, Saranita hanya terkekeh kemudian menggeleng tanpa ragu. “Gue bahkan enggak tahu gimana rasa sakitnya Ibu saat itu, Sa. Kaya, gue mau larang mereka untuk coba sekali lagi pun gue enggak akan bisa. Menurut gue, nangis itu hal sia-sia yang bakalan gue lakuin.”
Aksara diam, mengingat kejadian malam dimana ia nangis di hadapan Ayah yang sedang tertidur pulas. Perihal rasa rindu juga perih yang menyeruak di dalam dada, ia sudah benar-benar jengah.
“Lo pernah nangis?”
Aksara mengangguk tanpa ragu, sama sekali tidak merasa malu. Justru tangannya bergerak lagi di lembar-lembar yang saat ini akan sering sekali Saranita lihat.
Membaca dan memahami maksudnya, seluruh sendi Saranita tiba-tiba tidak mampu ia gerakkan. Daksanya seolah terkunci oleh setiap kata yang disalurkan Aksara lewat tulisannya. Jantungnya berdetak lebih cepat, baru pertama kali ia merasakan lelah yang benar-benar lelah.
“Aksa, gue boleh peluk lo?”
Tentu saja Aksara mengangguk, pria itu bahkan merentangkan kedua tangan—membiarkan Saranita masuk ke dalam pelukan hangatnya. Di sana perempuan itu menangis, tidak pernah ia merasa sesakit ini, sepilu ini bahkan semenyedihkan ini.
Tapi di balik balita jaket hitam Aksara, di dalam dekap yang begitu hangat walau suasana begitu kaku, Saranita dapat menumpahkan seluruh rasa lelahnya pada Aksara,
pada pria yang entah sejak kapan ia jadikan sebuah dunia.