Genggam di balik awan legam.

Pejaman mata Sakya hanya bertahan sampai sepuluh menit. Suara langkah mendekat memasuki rungu, ia mendapai Zehian dengan seutas senyum manis di wajahnya. Rambut legam yang membingkai wajah pria itu sedikit berantakan, namun kemudian dirapikan dengan jemarinya sendiri.

“Ayah tidur?” tanya pria itu ketika baru saja sampai tepat di hadapan gadis miliknya. Tatapannya teralih pada daksa Kinara yang ada di pelukan gadis itu. “Sini, Kina biar saya yang gendong.”

Sakya menuruti, mengulurkan Kinara yang langsung disambut oleh pria itu. “Ayah tidur kata Mbak Ina, saya sama Kinara enggak boleh terlalu lama di dalam ruangan. Karena Kinara masih kecil, nanti takut penyakit juga katanya.”

Kurva di bibir Zehian terangkat sempurna, seiring dengan pancaran netra yang sepenuhnya ke arah Sakya. “Saya izin ke Ayah dulu kalau gitu, kamu tunggu—”

“Saya aja, Mas Zehian gendong Kinara. Nanti malah enggak nyaman Kinara-nya.” balas Sakya sambil mengangkat kedua sudut bibirnya.

Butuh beberapa detik untuk Zehian menyadari bahwa senyum Sakya tercetak jelas seperti senyum milik Mamanya. Pantas saja Gentala menyayangi gadis itu lebih dari apapun. Lagi-lagi, perasaan bersalah itu menyeruak penuh di rongga dada Zehian; tentang Gentala dan perasaan-nya.

“Mas, saya udah izin pulang ke Mbak Ina. Ayo.” Sakya melangkah untuk mengambil tas kecil yang digunakan Kinara, kemudian berjalan berdampingan bersama Zehian menuju lobby.

Ketika membaca buku atau menonton sebuah film dengan tema pernikahan, Sakya selalu mengerti bahwa cinta dapat berlabuh di mana saja—bahkan pada hati yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Sakya sadar bahwa ia tidak dapat menebak perasaan seseorang juga dirinya sendiri.

“Makasih, Mas.” ucap Sakya ketika Zehian membuka pintu mobil untuknya, walau masih ada Kinara yang bergerak gelisah di dalam gendongan. “Mas, Kinara enggak sama saya aja? Biar dipangku, kasihan kalau di belakang nanti badannya sakit.”

“Enggak, Kinara malah gelisah kalau tidur dipangku.” jawabnya. Dengan gerakan yang tidak pernah terburu, Zehian memakai sabuk pengaman untuk dirinya sendiri. Sedetik berikutnya dia terkekeh kecil saat Sakya sama sekali tidak memasang sabuk pengaman.

Dahi gadis itu mengerut, bingung. Mata Sakya membulat sempurna saat Zehian memajukan daksanya, napas gadis itu bahkan tercekat seolah ada tali yang mencekam lehernya. Hanya tersisa tiga senti, wajah Zehian tepat di depannya.

“Pakai sabuknya, biar aman.” Dia mengangkat sebelah sudut bibirnya, dalam hati terbahak karena melihat ekspresi lucu dari si gadis.

Zehian brengsek.

“Saya enggak akan ngelakuin apa-apa kalau kamu enggak kasih izin.” ucap pria itu pelan, pelan sekali sampai rasanya Sakya tidak mampu mendengarnya. Kuasa Zehian terangkat untuk mengacak rambut Sakya, kemudian beralih untuk mengisi renggang di jemari kanan gadis itu.

Anehnya, ada getaran tersendiri yang membuat Sakya tidak mampu menolak genggaman itu. Ia hanya berusaha menggigit bibir bagian dalamnya untuk menutupi sebuah kegugupan. Zehian memang jauh dari penggambaran CEO tampan kaya raya seperti di kebanyakan buku-buku yang ia baca. Maksud Sakya, Zehian memang tampan, kaya juga memiliki wibawa. Tapi ada alasan tersendiri kenapa Sakya belum bisa menerima dengan penuh Zehian untuk masuk ke dalam hidupnya, dunianya.

Karena pada awalnya, kedatangan Zehian adalah sebuah kedatangan yang tiba-tiba, kan? Bagaimana kalau pada akhirnya ia akan pergi secara tiba-tiba juga?

“Mas, Gentala boleh pulang kapan, ya?” tanya Sakya tiba-tiba. Entah kenapa, tapi Sakya pikir ia harus membunuh sepi di antara keduanya.

Genggaman tangan kiri Zehian mengendur perlahan, tapi ia tetap tidak melepaskannya. “Saya juga enggak tahu harus berapa lama Gentala dirawat, Sakya. Saya bukan Dokternya.”

“Mas Zehian marah?” tanya Sakya ketika mendengar nada bicara pria itu yang mulai berbeda.

Zehian berani bersumpah bahwa ia tidak marah, ia hanya merasa bersalah. “Enggak, saya enggak marah.”

“Kok nadanya begitu?”

Zehian terkekeh, melirik Sakya dari ekor matanya. “Sakya, boleh saya minta kamu untuk selalu kasih tau bagaimana perasaan kamu setiap malam?”

“Maksudnya, Mas?”

“Setiap malam saya akan bertanya tentang perasaan kamu hidup bareng saya dan Kinara. Biar saya tahu bagian mana yang harus dibenahi.” jawabnya dengan nada yang kembali tenang.

Sakya paham, tidak ada yang harus dibenahi kecuali perasaannya sendiri.