Tempe orek.
Jantung Zehian berdetak cepat ketika netranya menangkap bahwa pintu rumah milik Ayah dari istrinya itu terbuka lebar. Kakinya melangkah cepat, meninggalkan Fortuner hitam di halaman depan. Pikirannya kalut, ia begitu takut.
“Sa, Sakya!” Zehian berteriak, menggunakan seluruh tenaga untuk memanggil nama perempuan miliknya. Kuasa pria itu terangkat untuk menjambak surainya sendiri, merasa kesal dan frustasi. Pasalnya ia tidak menemukan Sakya dimana-mana sampai pada akhirnya netranya menangkap tiga laki-laki dengan kaus hitam sedang terduduk di ruang keluarga. Masing-masih dari mereka mengeluarkan darah dari hidungnya.
Pikiran Zehian semakin kacau, sampai pada akhirnya ia berjalan ke arah dapur dan mendapati Sakya yang sedang sibuk di depan kompor. “Sa?”
Perempuan itu menoleh, terkejut. Namun sedetik setelahnya, senyum manis langsung terbit di bibir. “Telepon polisi, Mas. Langsung aja jangan pake sidang-sidang dulu, Mas Zehian kan banyak uangnya.”
Enak saja. Seenaknya Sakya tersenyum bahkan terkekeh di akhir kalimatnya setelah membuat Zehian kalut dalam perjalanan pulang. Dia bingung, sungguh.
“Kenapa, Mas?”
“Saya khawatirin kamu, loh, Sakya?”
Sakya terkekeh, berjalan menghampiri Zehian setelah mematikan kompor di hadapannya. “Saya udah bilang kalau saya ini keren, kan? Jangan dikhawatirin, santai.”
“Kamu manusia, kan?”
Perempuan di hadapan Zehian sekarang sedang sibuk mengambil mangkuk, namun kedua bolamatanya justru membuat karena pertanyaan tidak masuk akal yang masuk ke dalam rungunya. “Ya manusia, lah, Mas.”
“Kok bisa lawan tiga laki-laki sendirian?” Dia masih penasaran, kini pergerakan-nya mengikuti kemana pun Sakya pergi. “Enggak masuk di akal.”
Sakya berhenti, perempuan itu meletakkan kembali mangkuk di atas meja. “Saya manusia, mereka aja yang kaya tempe orek. Lemes.”
“Sa... saya serius.” Tapi pada akhirnya Zehian tertawa. Ia ingat kalau Ayahnya Sakya pernah bilang, dulu—jauh sebelum hari ini, Sakya adalah perempuan yang selalu ikut pertandingan Karate. Jadi seharusnya ia tidak heran atau bahkan harus terbiasa.
“Makan enggak?” Sakya mengangkat mangkuk yang berisi masakan ala China yang pernah diajari Bunda. “Mas, serius. Panggil polisi dulu kayaknya.”
Zehian kemudian mengangguk, dengan segera berjalan ke ruang keluarga dan kembali menemui bercak darah dimana-mana. Bahkan, meja yang ada di ruang itu patah tak bersisa. Pria itu mendekat ke salah satu di antara mereka bertiga. Sebab Zehian yakin kalau mereka memiliki motif tersendiri kenapa masuk ke dalam rumah keluarga itu. Ada yang diincar, tapi bukan harta.
“Kalian ada yang suruh?”
Pria bertubuh gempal di hadapan Zehian menggeleng, namun tatapan matanya berjalan ke mana-mana. Sesekali pria itu mengerinyit, menahan sakit yang teramat di bagian bibirnya. “Enggak, enggak ada.”
“Heh jelek, ngaku aja deh lu. Ada yang nyuruh, kan?” Suara Sakya mengintruksi membuat ketiga dari mereka menatapnya takut-takut.
Zehian justru tertawa, cara Sakya berbicara memang terdengar begitu lucu. Perempuan itu bahkan tidak pernah marah dalam nada bicaranya, kalau marah pasti ada beberapa candaan yang ia lontarkan agar tidak melukai perasaan lawan bicaranya.
“Iya, iya kita disuruh!” sahut yang lain, pria berkepala tapi tidak berambut. Dia membuat Zehian berjalan mendekat, kemudian mengambil ponselnya dari saku celana.
“Siapa yang suruh? Saya yakin di dalam sini ada foto orang itu.”
Pria itu mengangguk, minta Zehian untuk membuka kata sandi di ponselnya. Kemudian mengarahkan Zehian untuk membuka aplikasi chating berwarna hijau sebab tangannya terikat di bagian belakang.
“Dia?”
Pria itu mengangguk yakin.
“Coba mau lihat, Mas.” Sakya berjalan mendekat, ikut duduk di samping Zehian. “Buset ini orang apa orek, ini orang kok jelek?”
Lagi-lagi Zehian tertawa, kemudian menatap pria tidak berambut itu setelahnya. “Abimanyu? Dimana dia?”
“Abimanyu siapa, Mas?”
“Lawan bisnis Ayahmu, Sa.”