Diri Zehian.
Pukul sepuluh telat—tidak kurang pun lebih, Zehian benar-benar menapakkan kakinya di rumah besar milik Dika Ananta Putra. Rumah besar yang sudah menjadi kediamannya juga. Netranya menyisir ruang keluarga, menatap satu persatu benda yang ada di dalamnya. Pikirannya mengingat ucapan seseorang yang sudah menjadi Ayah merutanya beberapa tahun lalu. Katanya,
“Ruang keluarga menjadi salah satu ruang kesukaan Sakya ketika pacarnya kembali, satu tahun yang lalu.”
Zehian ingat, satu tahun yang lalu adalah waktu dimana Gentala pulang dari Germany setelah dipaksa sekolah bertahun-tahun dan mencapai gelar sesuai keinginan Papanya. Zehian juga ingat bagaimana Papa memaksa Gentala dengan menjanjikan bahwa gadis kesayangan pria itu akan hidup dengan tenang. Katanya,
“Papa akan merubah seluruh peraturan sekolah dan memastikan tidak ada yang menyakiti Sakya kalau kamu sekolah di Germany.”
Zehian ingat ...
detik itu Gentala berkali-kali mengatur napasnya untuk membuat keputusan yang bulat. Sekarang Zehian tahu, kenapa Gentala dengan rela belajar dengan cepat di negara orang sana. Sakya Rananta adalah jawabannya.
“Sa,” Kuasa Zehian terangkat untuk menyingkirkan helaian-helaian surai yang menutupi wajah cantik perempuannya, menyelipkannya di daun telinga. “Bangun.”
Perempuan itu tidak merespon, tapi Zehian tetap menatap lekat wajahnya. Cantik, dia memang cantik sekali. Dua detik berikutnya, ia menggeleng untuk melenyapkan seluruh isi pikirannya tentang gadis itu. Tentang pikiran akan perasaannya yang lugu jika berhadapan dengan Sakya. Tentang debar yang tidak pernah menenangkan kala daksanya berada bersebelahan. Tentang aliran darah yang selalu saja membeku ketika netranya masuk ke dalam sana. Tentang lidah yang terasa kelu setiap hendak mengucapkan satu kalimat saja.
Zehian mencondongkan daksanya, mendekatkan bibir untuk sekedar mengecup dahi si manis. Kemudian berhenti tepat di sebelah alat pendengarannya, “Sakya, bangun.”
Tutur lembut itu membuat Sakya mengerjapkan mata. Satu objek yang menjadi pusatnya menyorotkan tatapan adalah pria tampan dibalut jas hitam yang sedang berjongkok sambil tersenyum manis. Kuasanya terangkat di udara, kemudian berhenti untuk mengusap kasar wajah tampan pria itu.
“Gue ngapain halus si bos ada di—eh, bentar!” pekiknya di ujung kalimat saat ia tahu kalau sesuatu yang disentuhnya terasa nyata. “Pak Zehian ngapain di sini?!”
Zehian hanya terkekeh kecil, berpikir bahwa perempuan ini lucu sekali. “Saya suami kamu, saya berhak di sini, kan?”
Sakya lupa bahwa sekarang ia sudah resmi menjadi milik pria ini sepenuhnya. Ia lupa bahwa sekarang sudah tidak lagi ada harapan untuk ia dan Gentala untuk sama-sama berjuang. Karena sekeras apapun mereka berjuang, Sakya sadar kalau mereka tidak akan berujung sama.
“Ayo, bangun. Katanya mau ke Bandung, kan? Kinara sudah dijemput tadi, sekarang lagi di rumah sakit sama Mbak Ina.” jelas pria itu, duduk di pinggir ranjang Sakya. Sedang netranya menelisik setiap pergerakan Sakya, tersenyum tanpa henti juga hal yang dilakukan Zehian.
“Kinara enggak mau diajak aja ke Bandung? Di rumah sakit itu banyak virus, nanti Kina malah sakit.” usul Sakya dengan suara yang masih parau.
Zehian menggeleng, “Enggak. Kita ke Bandung juga mau ke rumah sakit, kan? Sama aja. Bedanya kalau ikut ke Bandung, Kinara juga nanti kecapekan.”
Gadis itu meregangkan seluruh ototnya, namun netra tetap tidak lepas dari setiap pergerakan milik Zehian yang sekarang berjalan ke arah lemari besar di sudut ruangan.
“Kamu siap-siap aja, baju untuk di Bandung saya yang siapkan.” kata Zehian, mengambil beberapa potong baju dari dalam koper miliknya. “Saya juga sudah bilang sama Ayah kalau kita mau ada urusan di Bandung untuk beberapa hari. Jadi setidaknya kamu bisa tahu keadaan Gentala dulu. Kita bisa cari hotel untuk sementara di sana. Tenang saja, dua kamar yang berbeda.”
Sakya melongo, begitu tidak percaya dengan segala yang sudah dipersiapkan oleh pria-yang-terpaksa-menjadi-suaminya ini. Pria itu bahkan sudah izin ke Ayah dan mau menyiapkan segalanya seorang diri.
“Yaudah, saya mandi dulu.”
Lagi-lagi Zehian menepati ucapannya untuk mengantar Sakya ke rumah sakit yang sudah diberitahu oleh Athayya. Sekarang bahkan mereka sudah sampai di pusat informasi untuk bertanya tentang ruang ICU.
“Pak, ayo buruan!”
Zehian menoleh sedikit, “Sabar. Ini juga saya lagi tanya dimana ruangannya.” Pria itu sedari tadi sibuk bertanya-tanya segalanya di pusat informasi, sedangkan Sakya justru sibuk menangis—kembali kepikiran tentang Gentala.
Kalau boleh jujur, sumpah demi apapun Sakya takut sekali Gentala pergi. Egois memang, tapi hal itu adalah satu hal yang selalu ia harapkan. Jadi setidaknya jika semesta tidak mengizinkan ia hidup bersama Gentala selamanya, ia bisa lihat pria itu bahagia dan baik-baik saja.
“Sa!” Suara Athayya masuk ke dalam rungu Sakya, memeluk daksa gadis itu yang langsung runtuh tepat di hadapan pintu ruangan Gentala.
“Gentala enggak akan kenapa-napa, kan, Thay?” tanyanya terus-terusan. Susah payah Sakya menahan erangan agar tidak memenuhi seisi ruangan. “Gentala baik-baik aja, kan, Thay?”
Athayya mengangguk dengan wajah yang sama basahnya dengan milik Sakya. “Gentala masih punya kesempatan untuk hidup walau cuma dua puluh persen. Lo percaya sama Gentala kan, Sakya?”
Sakya percaya. Sakya selalu percaya bahwa Gentala adalah pria yang selalu menuruti ucapannya walau ia tidak tahu kapan itu akan terwujud.
“Sa ... minggu depan gue harusnya nikah sama Gentala.”
Saat suara itu diucapkan, detik itu juga daksa Sakya runtuh. Gadis itu pingsan tepat di pelukan Zehian yang sedari tadi menetap di belakanganya.
“Kamu harusnya enggak bilang hal itu sekarang, Athayya.” desis Zehian sembari mengangkat daksa perempuannya cepat.