Dia, dia Gentala.
Helaan napas berkali-kali keluar dari bibir Sakya cukup kasar, hal itu tentu saja memicu perhatian Zehian yang sedang fokus pada ponsel. Pria yang mengenakan kemeja bergaris itu menoleh ke sampingnya. “Are you okay?”
Netra Sakya menelisir ke sana-kemari, memperhatikan setiap gedung aula yang membawa pikirannya kembali ke dua tahun lalu. Tahun dimana ia kehilangan harapan untuk keluarganya, sebab Bunda menikah di dalam ruangan yang sama dengan sekarang ia pijaki.
Bagi Sakya, rasanya Bumi terlalu sempit untuk ukuran sebuah kata temu. Namun Bumi dapat berubah menjadi luas untuk ukuran perasaan yang tidak pernah ada batas ujungnya.
Sakya diam, masih dalam posisi yang sama. Sedangkan Zehian tidak tahu apa yang ada di pikiran gadis itu, namun memberanikan diri untuk membawa jemari Sakya melekat dimiliknya.
“Feeling better?”
Sakya menengadah dan netranya langsung bertemu dengan kecokelatan milik atasannya itu. Entah kenapa, rasanya berbeda dari pada biasanya. Sebab yang Sakya tahu, Zehian sering kali melempar tatapan datar ketimbang tatapan hangatnya seperti saat ini.
“Masuk, yuk?” tawar Zehian, menarik tangan gadis bergaun hitam selutut di sampingnya.
“Pak,” Sakya menahan tangannya yang membuat Zehian tentu saja menghentikan langkah. “Ini... saya, di sini aja, ya?”
Sekarang berganti, Zehian yang menghela napasnya kecil—namun dengan senyum manis. “Saya ajak kamu untuk temani saya makan enak di dalam, bukan untuk nunggu di luar.”
“Pak...”
“Gedung yang sama saat Bundamu menikah dengan laki-laki selain Ayah, ya?” tanya Zehian pelan, takut kalau dia akan menyakiti hati gadis itu. “Sakya, keadaannya beda.”
“Tempatnya sama, Pak.” balasnya sambil berusaha tersenyum kecil.
Akhirnya Zehian melepaskan genggaman tangan itu, menatap ke sekitar untuk mencari sesuatu. Saat netranya mendapati satu kursi tepat di samping gedung, jari telunjuknya terangkat ke sana.
“Duduk di sana, tunggu sampai saya selesai.” Putusnya mengikuti keinginan Sakya. Padahal, Zehian ingin sekali membawa Sakya ke hadapan sang Papa—memperkenalkan gadis itu sebagai bawahan pengganti.
“Makasih, Pak.”
“Sakya.” panggil Zehian ketika gadis itu hendak berjalan menjauh dari posisinya.
Sakya menoleh, didapatinya tatapan Zehian yang tampak berbeda—seperti terselip kata yang ingin ia utarakan selanjutnya.
“Jangan pergi dari sana, saya enggak lama.”
Lekungan di bibir Sakya tiba-tiba saja hadir tanpa dipinta, netranya juga membentuk sabit yang begitu indah sebelum akhirnya ia mengangguk setuju.
Sesuai dengan apa yang Zehian pinta, Sakya duduk di kursi putih itu sembari membaca buku kesukaan yang selalu ia bawa kemana-mana. Namun ketika ada kegaduhan di belakangnya, Sakya memilih untuk memutar-balik posisi tubuhnya.
Dia, dia Gentala. Sakya jelas tahu dia Gentala. Sakya tidak mungkin salah, sebab bajunya, bentuk tubuhnya juga suaranya. Gadis itu tahu betul bahwa itu benar-benar Gentala.
“Ge—”
“Biar saya bantu, Ta.” putus seorang perempuan bergaun biru cerah yang langsung datang saat Gentala keluar dari mobilnya. Perempuan itu mengambil semua berkas yang ada di tangan Gentala, memindahkannya ke dalam tas.
Semuanya, Sakya melihat semuanya dengan jelas termasuk bagaimana Gentala tersenyum manis untuk perempuan tadi. Tapi kenapa rasanya begitu menyesakkan? Sedangkan Sakya tahu kalau Gentala sendiri memang tidak pernah menunjukkan senyum itu padanya.
“Kamu baik-baik aja, ya, Ta?”