Bentang
Kalau ditanya kenapa Sakya tidak beralih dari seorang Gentala padahal dengan jelas pria itu selalu menyakitinya,
maka dengan lantang Sakya menjawab karena ia merasa bersalah. Sedari kecil, secara tidak sadar Sakya selalu meletakkan seluruh kebahagiaan orang lain di atas dirinya. Sakya selalu merasa bahwa kebahagiaan seseorang adalah sebuah tanggung jawab untuknya.
Sakya tidak pernah tahu dimana nanti hatinya akan berlabuh. Entah Gentala, Aryasatya atau bahkan tidak pernah di antara keduanya. Namun untuk saat ini, gadis itu mau semua yang ia hadapi berjalan dengan sebagaimana mestinya—termasuk hubungannya dengan Gentala.
Sakya bahkan tahu hubungannya dengan Gentala adalah sebuah keegoisan dari masing-masing mereka. Pihak gadis disakiti secara mutlak, namun pihak pria disakiti secara tidak langsung. Sebab ...
sebab perasaan Sakya sudah tidak sepenuhnya untuk Gentala. Sebab, setelah Aryasatya membuatnya selalu merasa aman secara mutlak—rasanya untuk Gentala tidak lagi sama. Lagi, Sakya merasa bersalah akan hal itu. Ia memutuskan untuk tidak akan pernah marah pada Gentala, bagaimanapun cara pria itu menyakitinya—demi sebuah kata bahagia yang sia-sia.
“Kangen.” Pria berjaket hitam itu berjalan pelan dengan satu tas karton di tangan kanannya. Memasukkan kunci mobil ke dalam saku, lalu memeluk Sakyanya sambil memejam, menumpahkan segala rasa lelahnya di pundak gadis itu.
Sejak kedatangan Papanya di Indonesia, Gentala tidak pernah merasa hidupnya akan aman. Sebab sudah bisa dipastikan bahwa Papanya akan bertindak semaunya yang entah kenapa tidak akan pernah bisa ia tolak.
Sakya mengelus punggung pria itu lembut, sesekali menepuk—berharap seluruh bebannya pergi. “Capek banget, ya?”
Gentala mengangguk dengan mata yang masih saja memejam. Napasnya berkali-kali memburu di rungu milik Sakya.
“Duduk dulu, yuk?” ajak Sakya, berusaha melepaskan pelukan erat itu.
“Biarin gini dulu, sebentar.” Suaranya bergetar yang membuat Saya harus diam pada posisinya, mencoba paham akan situasi seperti ini. Gentala butuh dirinya dan Sakya harus di sana.
Beberapa menit berlalu, kaki juga punggung Sakya sampai terasa pegal. Lagi-lagi ia berusaha untuk melepaskan pelukan itu, “Duduk dulu, aku pegel.”
Pada akhirnya Gentala pelan-pelan melepaskan pelukan itu. Matanya sembab, hidungnya memerah dengan bibir yang berdarah. “Kamu enggak akan pergi ninggalin aku, kan, Sa?”
Sakya mematung, sebab ia juga tidak pernah tahu kapan waktunya ia pergi dari Gentala. Sebab Sakya juga tidak pernah tahu kapan ia akan mengungkap tentang perasaan yang sebenar-benarnya pada pria itu.
“Ta,” Kuasa Sakya terangkat untuk menghapus air mata pria itu lembut, “Kita enggak akan pernah tahu kapan kepergian itu datang. Yang jelas, di setiap pertemuan kita harus mempersiapkan sebuah kata ikhlas.”
Di setiap pertemuan, kita hapus mempersiapkan sebuah kata ikhlas.
Benar. Sakya tidak salah. Karena setiap pertemuan, memiliki dua pelabuhan yang sangat berbentang—selamanya bersama atau sebuah kepergian.
“Ta,” Kuasa Sakya bergetar hebat. Ia ingin memutuskan hubungannya dengan Gentala hari ini juga, sebab kalau tidak maka pria itu akan tersakiti lebih jauh. Namun entah kenapa, lidah Sakya terasa kelu dan membuatnya bisu.
Satu kali lagi dan disaksikan oleh purnama, Gentala membawa gadisnya dalam sebuah pelukan tulus. “Tolong jangan tinggalin aku ...”