Puzzle.

Sakya mengangkat kedua sudut bibir saat kendaraan beroda empat yang dikendarai oleh Aryasatya berhenti tepat di depan kediamannya. Tatapan Sakya beralih penuh ke arah pria yang tiga tahun yang lalu menjadi kekasihnya.

Hubungan mereka kandas karena saat itu Aryasatya izin untuk melanjutkan sekolah ke London. Dan saat itu, Sakya bukan perempuan yang mampu bertahan dalam satu hubungan jarak jauh. Alasan-nya satu, dekat aja ia bisa lupa kalau memiliki kekasih, apalagi jauh.

Thanks, Kak.”

Kini berganti, Aryasatya yang mengangkat kedua sudut bibirnya penuh. “Iya, sama-sama. Besok sekolah? Mau dijemput?”

Perempuan itu menggeleng, “Enggak perlu, Kak.”

Aryasatya tahu, sejak dulu Sakya memang tidak pernah memiliki rasa lebih untuk dirinya. Tapi entah kenapa, dua tahun hidup di London, Aryasatya justru tidak bisa melupakan Sakya. Menurutnya, Sakya itu berbeda.

“Masih suka karate?”

Sakya mengangguk.

“Masih suka mie rebus?” “Iya.” “Masih suka cokelat?” “Masih.” “Suka aku?”

Sakya diam dan menunduk yang membuat Aryasatya tertawa kecil. “Bercanda, Sa. Aku tahu, sampai kapanpun kamu enggak akan suka sama aku. Bahkan, alasan kamu minta putus waktu itu bukan karena kamu enggak bisa ldr, kan?”

“Kak, sorry ...” kata Sakya dengan suara kecil.

Aryasatya mengangguk, “Yaudah, sekarang kamu masuk.” Tatapan pria itu beralih ke arah pintu rumah bercat putih di hadapannya. “Itu udah ditungguin Sakha—? Sebentar, dia sama siapa? Itu bukan Nakula, kan?”

Mendengar pertanyaan itu, Sakya langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu rumah. Itu bukan Nakula, melainkan Gentala.

“Gentala?” “Siapa, Sa?”

Sakya kembali menoleh dengan bahu yang terangkat. Perlahan ia membuka pintu mobil, kemudian melambaikan tangan guna membuat Aryasatya segera pergi dari sana. “Hati-hati, Kak.”

“Iya.” jawab Aryasatya diiringi dengan kalimat sederhana dalam hatinya. “Aku bakalan hati-hati sampai rumah demi lihat kamu lagi besok.

Setelah memastikan mobil Aryasatya meninggalkan rumahnya, Sakya menghela napas. Kemudian perempuan itu berjalan, tertawa kecil di hadapan Sayakha juga Gentala yang entah kenapa ada di sini.

“Temen lo, Sak?” Sakya menghentikan langkahnya saat di depan pintu, menatap Gentala yang juga menatapnya. “Ganteng juga.”

Setelah dua kata itu masuk ke dalam rungunya, Gentala langsung membuang muka. Ia benci dibilang tampan, entah dengan siapapun itu.

“Ayah nunggu lo di ruang keluarga.” kata Sayakha tanpa ada minat untuk menjawab pertanyaan Kakaknya tadi.

Sakya tahu kalau Ayahnya bukan seseorang yang mudah ingkar pada janjinya sendiri. Jadi tidak heran juga kalau Ayahnya menunggu sampai selarut ini padahal besok pasti ada setumpuk pekerjaan yang harus ia hadapi.

“Ayah,” panggil Sakya saat sampai di ruang keluarga, netranya tidak lepas dari pria paruh baya yang sedang memperhatikan ponselnya. “Sakya pulang.”

“Mau jadi apa kamu?” Kalimat tanya pertama yang keluar dari bibir Ayah ternyata mampu dada Sakya terasa berat. Sebab Sakya juga bingung ingin jadi apa ia di masa depan.

Dari dulu, Sakya selalu diminta oleh Ayah dan Bunda untuk duduk di peringkat pertama. Berturut-turut Sakya selalu duduk di sana, peringkat satu. Tapi saat kelas lima sekolah dasar, tiba-tiba ia menjadi peringkat ke lima yang tidak bisa ikut dalam lomba cerdas cermat rutin diadakan setiap tahun oleh Yayasan sekolahnya. Di sana Ayah marah, marah sekali sampai Sakya dikurung seharian di dalam kamar mandi.

Dari dulu juga Sakya tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan sebuah kesalahan di rumah ini. Tidak pernah ada kata maklum untuk Sakya sebab Ayah selalu menghukumnya ketika ia melakukan sebuah kesalahan.

“Kamu lihat adikmu Sakha, selalu duduk di peringkat pertama, tidak ada nilai yang berada di bawah sembilan. Sebab Sakha selalu menuruti permintaan saya!” bentak Ayah yang membuat Sakya menunduk, takut.

“Sakya! Kamu dengar saya atau tidak?” Ayah membentak lagi, meninggikan intonasinya satu oktaf dari sebelumnya.

Sakya tidak menangis, ia hanya diam sambil menatap ujung sepatu conversenya. Sakya hanya bingung, kenapa ia tidak pernah bisa hidup untuk dirinya sendiri? Kenapa harus untuk Ayah? Kenapa harus untuk Bunda? Terakhir, kenapa harus seperti Sayakha?

Tangan Ayah terangkat, bersiap untuk kembali melukai putri pertamanya.

“Om,” Suara Gentala yang tiba-tiba datang itu memecah suasana. “Saya tahu ini lancang, tapi boleh saya bicara dengan Sakya?”

Api di netra Ayah kini padam sejak kedatangan Gentala. Pria paruh baya itu menghela, kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan Sakya juga Gentala di ruang keluarga.

“Gue nginep di sini karena di rumah sepi.” kata Gentala sepeninggalan Ayah. Pria itu menghela, duduk sambil menatap Sakya yang masih menunduk.

Gentala tahu Sakya Rananta. Perempuan kuat yang sedari murid baru selalu masuk ke ruang konseling setiap minggunya. Kasusnya pasti ribut, terlambat atau paling parah mendorong Kakak kelas di tangga. Sebelumnya Gentala tidak pernah tahu kalau ada perempuan memiliki perilaku itu. Tapi setelah ia tahu ada Sakya Rananta di Bumi, ia menjadi ingin tahu tentang dunia perempuan itu—tentangnya yang berbeda.