Pain.
Lo terlalu banyak ambil peran.
Kalimat dari Gentala memutar terus-terusan di kepala Sakya, sampai gadis itu tidak sadar kalau langkah kaki sudah membawanya masuk ke dalam kelas yang ia tuju. Netranya menyisir setiap sudut ruangan yang hanya terisi oleh dua orang gadis juga satu orang pria yang sedang sibuk dengan ponsel mereka.
“Ada Nida?” tanya-nya, tanpa permisi.
Setiap insan yang ada di dalam sana menoleh karena suara milik Sakya mengintruksi. Salah satu dari mereka mengangkat tangannya, “Di Kantin kayanya, Sa. Eh elo Sakya yang anak kelas sebelas itu, kan?”
Sakya mengangguk, “Yo, thanks. Gue cabut duluan, Kak.”
Beberapa bagian dari mereka mengenal Sakya karena gadis itu sangat sering dibicarakan. Perihal kelakuan yang selalu berbanding terbalik dengan segudang prestasinya. Bahkan terkadang mereka tidak percaya kalau Saya Rananta yang memiliki kebiasaan buruk adalah Sakya Rananta yang selalu duduk di peringkat satu. Sebagian memilih untuk tidak peduli, tapi sebagian lain-nya memilih untuk berteriak kagum.
“Sakya!”
Netra Sakya kembali memindai seisi kantin yang seperti biasanya—selalu ramai. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit saat ia mendapati Jessica yang sedang makan nasi goreng bersama dengan Harsa. Merasa kenal dengan beberapa orang di meja sana, Sakya mendekat ke arah mereka.
“Sini, Sa.” tawar Raksaka, menggeser daksanya agar Sakya dapat duduk di sana. “Eh tapi lo pesen makan dulu sana.”
“Lo udah pesen semua?” tanya Sakya, menatap satu persatu temannya termasuk Nakula yang sedang fokus pada layar ponselnya. Yang lain mengangguk, sedangkan Nakula masih sibuk sendiri yang membuat Sakya memukul meja kantin cukup keras.
“KAGET GUE, AN—” pekik Nakula terputus saat ia mendapati Sakya yang sedang berdiri sambil menatapnya sengit.
“Makan enggak lo?”
Helaan napas terdengar keluar dengan keras dari bibir Nakula. Ia meletakkan ponsel Harsa yang sedari tadi dipinjam, kemudian berjalan sambil menggandeng Sakya ke arah stand bakso di kantin.
Namun baru langkah ketiga, seseorang terdengar menggebrak meja yang diduduki oleh teman mereka. Hal itu membuat Sakya pun Nakula memutar masing-masing tubuhnya, mendapati Jessica yang seragamnya sudah basah karena disiram air jeruk oleh gadis berambut panjang. Sakya tidak tahu siapa gadis itu, tapi ia langsung menarik kerah bajunya kasar.
“Maksud lo apa nyiram temen gue?” tanya Sakya sambil mengatur emosinya.
Melihat Sakya, gadis berambut sepinggang itu tertawa remeh. “Jadi lo babunya?”
Tangan kanan Sakya pindah tugas untuk mencengram kasar pergelangan Nida—gadis itu. “Lo ada masalah apa?”
“Lo yang ada masalah apa?” teriak Nida yang membuat seluruh atmosfer berubah mencekam. Semua pasang mata tertuju pada Nida juga Sakya, termasuk seorang pria yang baru saja menginjakkan kakinya satu langkah di kantin—Gentala. “Sakya Rananta, gadis perokok yang semua orang tahu kalau lo enggak akan bisa punya masa depan.”
Sakya mundur beberapa langkah. Kelemahan gadis sekuat Sakya hanya satu, ketika seseorang sudah membahas tentang masa depan. Karena itu membuat beban di pundak Sakya seolah meminta untuk segera dilahirkan. Semua berawal dari Ayah yang membuat Sakya hidup dalam rasa yang membingungkan ini.
“Kenapa mundur? Lo takut sama gue?” tanya Nida, tangan gadis itu terangkat untuk menampar pipi kiri milik Sakya.
Tidak tinggal diam, Sakya kembali maju—melawan segala ketakutannya demi membela Jessica juga harga dirinya sendiri. Tangannya terkepal erat sampai buku jarinya memutih, kemudian dilayangkan satu pukulan tepat di pipi mulus milik Nida. “Satu pukulan untuk lo, karena meremehkan masa depan gue.”
“Sa, udah ...” lirih Jessica sambil mengelus tangan kiri Sakya. Genangan air sudah bergerumul di kedua netranya. “Sa, ini di sekolah.”
“Jes, lo enggak usah takut. Lagian, lo kenapa diem aja, sih?” Sakya kesal, ia menatap Jessica dengan tatapan marahnya.
Di dunia ini, selama enam tahun terakhir hanya Jessica yang selalu ada di sisi Sakya. Hanya Jessica yang selalu mau mengerti, hanya Jessica yang bisa memposisikan dirinya sebagai Sakya, hanya Jessica yang tahu bagaimana dunia Sakya Rananta.
“Lo tuh, anj—” Kalimat Nida terputus karena Harsa tiba-tiba saja memasukkan gorengan yang selalu disediakan di setiap meja kantin. Padahal, tangan gadis itu sudah siap untuk kembali menyerang ke arah Sakya.
“Telen dulu, Kak.” kata Raksaka sembari menyodorkan es teh milik Jessica ke arah Nida.
“Ada apaan, sih?” Ini dia, Gentala. Baru datang bagaikan pahlawan yang kesiangan. Kendati begitu, aura yang ia keluarkan tetap begitu mematikan bagi gadis-gadis terutama adik kelas.
“Ini orang aneh, tiba-tiba nyiram Jejes pakai air jeruk.” adu Nakula menggebu.
Netra Gentala memperhatikan Jessica dari atas ke bawah, begitu terus sampai hampir lima kali. Kemudian pria itu menghela, “Kak Nida, lo dipanggil Bu Ira di BK.”
“Kok gue aja? Ini si Sakya, gimana? Dia udah nonjok gue, Gentala.”
Gentala mengalihkan pandang, ia menatap tajam Sakya yang hanya diam bahkan sesekali membuang pandangan ke arah lain. Gentala semakin yakin, Sakya Rananta bukan gadis yang dengan mudah ditaklukan. Rasanya Gentala ingin menyerah untuk mewujudkan seluruh permintaan orang yang ia sayang satu bulan lalu. “Sakya, istirahat gue tunggu di ruang Osis
“Gue enggak mau nginjekin kaki di ruang Osis, enggak sudi.”
Gentala menghela, “Istirahat kedua, gue tunggu di depan ruang guru.”
Mendapat tatapan tajam dari pria yang sudah berstatus sebagai kekasihnya, Sakya langsung mengambil pergelangan tangan Jessika. “Gue ada baju di loker, ayo ganti.”
“Enggak perlu, Jessica biar pakai baju gue.” Gentala dengan cepat mengambil pergelangan tangan Jessica, membawa pergi gadis itu entah kemana.
“Dasar, ketua Osis gila!” kata Sakya. Tapi dengan begitu, hatinya terasa tidak biasa saat menatap pergelangan tangan Jessica yang digenggam erat oleh Gentala. Kejadian barusan membuat sebelah sudut bibir Sakya terangkat, dunia kembali bermain-main.
Sakya pernah tidak percaya dengan sebuah kata bernama Cinta sebab Ayah selalu bilang kalau ia cinta dengan Sakya, tapi itu justru membuat Sakya tidak mengerti. Kemudian melalui Aryasatya gadis itu belajar kalau setiap cinta itu berbeda—tergantung bagaimana seseorang mengolahnya. Namun anehnya, kenapa ia tidak bisa meletakkan perasaan tulus pada Artasatya?
Untuk Gentala, Sakya tidak tahu harus bagaimana, ia tidak atau bahkan belum meletakkan seluruh rasanya pada Gentala. Tapi setelah ia kembali merasa lebih baik untuk mencintai, rasanya seperti ia hidup dalam sebuah kebimbangan.
Sakya tidak pernah bisa melangkah dengan tenang, sebab Dunia dan sesisinya seperti selalu mencengkramnya.