It's love?
Pria berseragam sekolah itu mengangkat kedua sudut bibir saat netranya menangkap seorang gadis yang sedang melambaikan tangan penuh semangat. Dia Sakya Rananta, gadis yang sejak empat tahun lalu memiliki ruang sendiri di pikiran Gentala. Sebelumnya ia tidak berani bertegur sapa, hanya menuliskan seluruh perasaan-nya pada buku bersampul putih yang beberapa tahun lalu diberikan oleh Ayahnya.
“Ganteng, diem aja.” kata Sakya yang baru saja tiba, ia menyenggol lengan Gentala yang sedari tadi hanya diam sambil tersenyum manis.
Menurut Gentala, Sakya Rananta itu seperti penyihir. Sebab gadis itu mampu dengan mudah membuat harinya yang lelah menjadi lebih berwarna. Sakya Rananta itu berbeda dari siapapun dan Gentala penasaran akan hal itu.
“Mau makan dulu?” tanya Gentala sambil meraih ransel Sakya yang hanya dipakai di satu bahu. “Tasnya taruh di kursi belakang aja.”
Sakya tidak bergeming, ia merasa aneh diperlakukan seperti ini. Perlakuan halus yang sebelumnya hanya ia dapatkan dalam diri Aryasatya, hari ini Tuhan tunjukkan lagi satu jiwa yang mampu melakukan hal itu. Anehnya, Sakya langsung merasa jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat bahkan saat sampai ia duduk di kursi sebelah kemudian dalam mobil hitam kesayangan Gentala.
“Jadi gimana, Sa?” tanya Gentala memecah keheningan yang terjadi. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri sebelum mengeluarkan tanya untuk sebuah kepastian. “Gue gak maksa lo buat punya status, kita bisa jalanin dulu kalau lo mau.”
Hening. Selain suara radio yang beberapa menit lalu dinyalakan oleh Gentala, ada banyak suara lain yang memenuhi isi kepala Sakya. Sebenarnya Sakya tidak pernah tau bagaimana rasanya jatuh cinta dan ia tidak mengerti bagaimana menelaah rasa itu. Tapi dengan Gentala, semua rasa sukanya perlahan berubah menjadi kepedulian-kepedulian sederhana. Mulai dari gadis itu yang mengingat dengan jelas siapa Gentala sampai rasa yang bergejolak saat mereka berhadapan.
“Gue harap lo gak salah, ya, Ta.” kata Sakya, membuat Gentala menghentikan mobilnya di bahu jalan. “Ta, gue banyak kurangnya, gue banyak takutnya. Gue terkadang bahkan enggak bisa mengendalikan perasaan gue sendiri, gimana gue bisa bertanggung jawab atas perasaan lo ke gue?”
“Sa, dengerin gue,” Gentala melepas sabuk, duduk menghadap Sakya dengan tatapan hangatnya. “Enggak ada yang minta lo tanggung jawab atas perasaan gue. Ini perasaan gue, biar jadi tanggung jawab gue.”
Sakya tidak pernah mengerti bagaimana caranya menghargai setiap perasaan, sebab hatinya terlalu sering terluka. Ia juga tidak mengerti bagaimana caranya mengatasi situasi serius seperti ini, sebab hidupnya seperti dibuat main-main oleh Semesta. Bahkan Sakya sempat berpikir, dunia adalah kepura-puraan. Dan Bumi adalah sebuah panggung untuk bersandiwara. Sebab di sana Sakya diminta menghargai perasaan orang lain yang bahkan sama sekali tidak pernah menghargai dirinya.
“Sa, gue gak maksa. Karena gue tahu, everything takes time. Gue cuma
“Gue mau.” potong Sakya, ia juga membalas tatapan dalam nan hangat milik Gentala. Untuk pertama kalinya, Sakya merasa getaran hebat yang menjalar di setiap aliran darahnya. Tidak lupa sebuah rasa paksa yang membuat bibirnya terangkat ikhlas. “Tapi gue enggak mau ada yang tahu perihal status kita, ya, Ta? Soal Ayah ...”
“Gue tahu, gue paham.” Gentala tersenyum senang dengan pancaran mata sebening embun. Dengan cepat, ia menarik daksa milik Sakya untuk masuk ke dalam dekapnya. Kemudian berbisik, “Makasih, gue sayang sama lo.”