Thanks.
“Kalau emang enggak mau kenal lagi sama Jessica, itu hak lo. Tapi lo harus terima permintaan maaf dia, ya, Sa?” kata Aryasatya setelah menjelaskan panjang lebar kepada gadis bersurai sebahu yang pelipisnya masih dibalut dengan perban. Kuasa pria itu terangkat untuk mengelusnya penuh sayang. “Kalau emang belum siap, enggak perlu memaafkan. Tapi yang penting lo tau dari sisi dia dulu kaya gimana, ya?”
Sakya diam, menatap lurus-lurus ke arah depan. Berkali-kali gadis itu menghela napasnya, berkali-kali juga bibirnya digigit dengan keras. Kalau mengingat semua luka yang ia dapatkan dalam masalah ini, maka Sakya akan sangat marah besar dengan Jessica. Tapi kalau mengingat seberapa banyak waktu yang Sakya habiskan bersama sahabatnya itu, Sakya merasa iba.
“Gue enggak marah, Kak Arya. Gue enggak marah sama Jessica juga sama Gentala. Gue cuma ...”
Aryasatya tersenyum sebab ia mengerti apa yang mau diucapkan oleh gadis kesayangannya. “Kecewa?”
Tidak ada yang bisa Sakya lakukan selain lagi-lagi mengatur napasnya yang berantakan. Tebakan Aryasatya terlalu tepat untuk ia jadikan sebuah alasan untuk tidak mau bertatap wajah dengan Jessica.
“Yaudah kalau emang enggak mau, gue text Jessica dulu.” lanjut Aryasatya sambil mengambil alih ponselnya di pangkuan Sakya—karena habis digunakan untuk menonton drama Korea.
Sebenarnya Sakya bisa saja memberi kesempatan pada Jessica untuk menjelaskan semua yang terjadi demi mengobati luka di hatinya, tapi di satu sisi lagi Sakya ingin menyudahi semuanya. Sebab hari demi hari rasanya justru lebih menyakitkan. Sakya bahkan rela menjadi figuran bodoh yang berdiri di antara Gentala juga Jessica.
“Kak, gue mau ketemu Jessica.” ucap Sakya tiba-tiba sambil menyentuh punggung tangan Aryasatya yang masih mengelus puncak kepalanya. “Gue mau tau semuanya dari sisi Jessica.”
Senyum megah milik Aryasatya langsung memancar dengan sempurna. Pria itu terlihat lebih tampan dari hari-hari sebelumnya dengan balutan kemeja berwarna biru. “Yaudah sebentar, gue minta kursi roda dulu.”
Beberapa menit selagi Aryasatya keluar dari ruang persegi itu, Sakya hanya bisa membayangkan hal-hal apa yang akan ia dengarkan dari bibir sahabatnya. Mulai dari sebuah kalimat maaf atau bahkan sebuah pembelaan. Namun apapun itu, Sakya akan mendengar semuanya sampai habis. Diam-diam gadis itu juga mempersiapkan hatinya untuk beberapa menit ke depan.
“Pelan-pelan,” Kuasa Aryasatya terulur untuk mengangkat daksa Sakya, membantu gadis itu duduk dengan sangat hati-hati.
Setiap Aryasatya memperlakukannya dengan sempurna, memperlakukannya dengan sebaik mungkin, harusnya Sakya bisa dengan mudah meletakkan sebuah rasa untuk pria itu. Tapi rasanya kenapa semuanya begitu sulit dari pada ia harus meletakkan rasanya untuk Gentala?
“Kak, berhenti.” Sakya menepuk punggung tangan Arya dua kali saat netranya mendapati Gentala yang duduk di kursi taman dengan posisi membelakanginya.
Sakya tahu betul kalau itu Gentala, ia tahu dengan porsi tubuh Gentala dan ia juga tahu setiap pergerakan milik pria itu. Jantungnya berdetak kencang, tangannya mengepal erat. Sakya senang sekali karena akhirnya ia bisa melihat kalau Gentala baik-baik saja.
“Mau ke Gentala?” tanya Aryasatya, sambil mengusap punggung Sakya. Pria itu tahu kalau ada seutas senyum penuh keikhlasan yang ditunjukan gadis itu pada dunia malam ini.
Sakya mengangguk kecil sebagai jawaban, senyumnya tidak pernah lepas dari setiap sudut bibir gadis itu. Namun saat baru saja Aryasatya melangkah tiga kali, seorang perempuan dengan dress hijau muda menghampiri Gentala. Sakya juga tahu kalau itu Jessica, terdengar dari suaranya.
“Kak, sebentar.” pinta Sakya lagi-lagi.
Netra Sakya juga Arya saya tidak pernah lepas dari setiap pergerakan Gentala pun Jessica. Keduanya tampak mengobrol dengan serius di taman yang sangat sepi ini—hanya ada dua pasien lain-nya juga perawat yang berlalu-lalang di koridor.
“Gentala ...” kata Sakya dengan nada yang bergetar namun cukup jelas masuk ke dalam rungu Jessica yang sedang mengecup Gentala tepat pada bibir pria itu.
“Sakya?” Gentala kalang-kabut, ia bingung
Dada Sakya naik dan turun secara cepat, menahan seluruh air yang bergerumul di kelopak matanya. Sakya tidak pernah mengira bahwa pemandangan ini akan ia dapatkan satu hari saat Tuhan hampir saja mengambil nyawanya. Dengan kekuatan penuh Sakya berdiri, dibantu dengan Aryasatya—tentu saja.
“Sakya,” ucap Aryasatya kecil, pria itu mendekatkan wajahnya. Perlahan namun pasti langsung mengecup pelan bibir Sakya selama satu menit. Sedangkan dua orang lain-nya hanya diam, sampai Aryasatya menarik tengkuk Sakya—mulai melumat bibir gadis itu di hadapan Gentala dengan mesra.
Sebuah usaha untuk membalas dendam, katanya dalam hati. Aryasatya bahkan tidak peduli berada dimana mereka sekarang. Yang ia mau hanya Gentala mendapatkan seluruh rasa sakit yang dirasakan oleh gadis kesayangannya—Sakya Rananta.