Daksa bermuara.

Kurva pria yang sebelumnya sedang bersandar di motornya itu terangkat setengah, kemudian meminta saya untuk mendekat. Aroma tubuhnya menyeruak masuk ke dalam indera penciuman, membuat kurva saya ikut melengkung seketika.

“Sudah makan?”

Saya menggeleng tanpa ragu, berusaha untuk jujur karena sebenarnya saya tidak memiliki napsu untuk menyantap makanan barang satu sendok.

“Pas sekali, saya mau ajak kamu ke toko kue.” katanya, menyodorkan pelindung kepala.

Saya melangkah untuk naik ke atas jok motornya, kemudian meletakkan jemari untuk meraih pinggangnya. “Dev, saya malu.”

Devanda diam saja, sibuk memfokuskan diri pada jalanan yang malam ini tampak lebih ramai ketimbang biasanya. Netra saya tidak pernah berhenti menyusuri setiap sudut kota, kota yang nantinya bisa jadi kenangan bagi saya. Kenangan tentang apa saja di kota yang sudah dua puluh tahun lebih saya tempati.

“Kamu mau kue apa? Hari ini saya turuti semua keinginanmu.” katanya, mencuri waktu kala lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Kuasa itu terangkat untuk menarik saya, maju dan memeluk punggung sempurnanya.

Di sini hangat, rasanya hampir mirip ketika saya selalu memeluk punggung Pradipa yang rasanya tidak pernah ada dua. Saya kembali mengingat hal itu, hal di mana semua hidup saya hanya dipenuhi oleh pria gula jawa.

“Apa saja, Dev.”

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, bersiap menjalankan motornya dan kembali menerobos angin malam. “Habis makan kue, mau ke mana?”

“Ke Ayah.”

Devanda bergeming cukup lama, sampai kita tiba di satu toko kue yang belum pernah saya masuki. Toko kue sederhana yang tertutup oleh beberapa pohonan, sehingga hampir tidak terlihat kalau di sana ada sebuah toko. Toko yang didesain dengan rapi dan cukup unik. Pasalnya, toko kue mana yang menyediakan ruang seperti perpustakaan?

“Selamat hari lahir, Andini.”

Setelah mengucapkan seribu keinginan dalam hati, kami menghabiskan waktu hanya untuk sekedar berceritera atau bahkan tertawa. Saya juga sampai lupa kalau ternyata Pradipa meninggalkan saya tepat di hari kelahiran. Berpikir tentang itu, apa sebaiknya saya tidak pernah lahir di dunia kalau pada akhirnya hanya ditinggalkan?

Setelahnya pria itu benar-benar mengantar saya ke rumah sakit untuk bertemu Ayah yang masih di dalam satu ruang kosong, sendirian. Hal yang paling menakutkan di dunia adalah sendirian.

“Setelah dari Ayah, apa yang mau kamu lakukan?”

Saya mengalihkan pandang, tidak lagi menatap indahnya kota dari rooftop Rumah sakit. “Saya mau dipeluk Ibu, Dev.”

Devanda langsung menghentikan pergerakannya, berjalan kemudian meraih daksa saya untuk disembunyikan dalam dadanya yang bidang. Seluruh aroma tubuhnya masuk ke dalam hidung. Saya diam saja kala daksanya bergetar, sampai rungu saya mendengar satu kalimat penuh sesal dari bibirnya.

“Saya nggak bisa mewujudkannya untuk yang satu itu, Andini. Maaf.” katanya yang membuat saya merasa menyesal adalah, Devanda sembari menangis kala mengungkap.

“Dev,” Saya menjauhkan daksanya, menatap netra basah itu dalam. “Makasih buat hari ini.”

Kekehan Devanda adalah satu hal yang tidak pernah terlewat semenjak kami saling mengenal. Kekehan lucu yang membuat siapa saja gemas kepada ia.

“Makasih udah mewujudkan keinginan saya beberapa tahun lalu. Jalan-jalan pakai seragam walau nggak bersama pacar, makan kue dan meniup lilin di hari kelahiran, ditambah dengan pelukan hangat.”

Dia mengangguk, “Saya mau kasih kabar buruk.”

“Bercanda.” Saya tertawa.

Dia mengerinyit, “Serius.”

“Ada apa?” Devanda benar-benar membuat saya takut.

“Besok saya berangkat ke Singapore.” “Lama?”

“Nggak tau,” jawabnya. “Itu sebabnya saya nggak mau janji untuk tetap berada sama kamu, Andini. Saya tau kalau saya akan tiba-tiba pergi walau bukan pergi dalam arti sesungguhnya.”