Pria itu marah.
Pria berkaus putih itu mengepalkan tangan sampai buku jarinya memutih. Ia marah, pada dirinya sendiri. Ia marah saat membayangkan kalau wajah gadis yang sekarang berada di layar ponselnya itu tidak lagi bersama ia. Gadis itu sudah pergi—ah atau gadis itu sudah hilang saat ia pergi. Gadis itu tidak memilih untuk menunggu sebuah kepastian yang tidak bisa dipastikan.
Bukan, bukan karena gadis itu tidak setia—tapi karena ia tau diri, ia juga tau kalau bukan namanya lagi yang menjadi jawaban Pradipa suatu hari nanti.
“Pra, ayo antar Mas Devan dan Papa.” ajak perempuan dihadapannya yang sekarang sudah manis dengan gaun bergambar bunga.
“Saya nggak ikut.” jawab pria tadi—Pradipa, memakai jaket hitam juga topi putih yang satu tahun lalu diberikan oleh Andini ketika ia bertambah umur.
“Pra,” Renjana menahan pergelangan suaminya, menatap netra itu dalam. “Kenapa?”
Pradipa tidak bergeming saat Renjana bertanya, sebab ia juga tidak tau apa jawabannya. Tiba-tiba ia menghela pada detik kesepuluh, “Apanya?”
“Ada yang menganggu pikiranmu?” Lagi, Renjana tidak mau melepaskan pergelangan tangan Pradipa sebelum pria itu menjelaskan dengan pasti apa alasannya. “Kamu beda.”
“Saya nggak beda, Jana.”
Renjana menghela, pelan-pelan melepaskan pergelangan Pradipa—kemudian beralih untuk menggenggam jemari si pria manis itu. “Aku tau tentang perasaanmu ke Andini, Pra.”
Pradipa kembali diam tidak bergeming, ia juga tidak menolak genggaman manis dari Renjana.
“Aku tau bagaimana kuatnya perasaanmu untuk Andini, aku juga tau kalau diam-diam kamu mengikuti Andini di kegiatannya kan?” Renjana melukis sebuah senyum terpaksa, menatap netra Pradipa semakin dalam. “Maaf, ya? Maaf kalau aku nggak bisa lepasin kamu, Pradipa.”
Hati Pradipa hancur ketika kalimat itu masuk ke dalam rungunya. Pertanda bahwa Renjana memang sudah benar-benar meletakkan sebuah rasa untuk pria itu. Dan itu sebagai arti bahwa Pradipa memang tidak dikasih kesempatan oleh Semesta untuk kembali pada ia yang dulu.
“Renjana, jangan letakkan sebuah rasa untuk saya.”
Perempuan itu menggeleng, “Bukan lagi sebuah, Pra. Seluruh rasaku sempurna milik kamu. Seutuhnya.”
Hari ini Pradipa banyak diamnya, ia hanya menghela napas berkali-kali. Terlebih saat Ibu datang menghampiri dengan senyum selembut sutera.
“Kalian sudah siap untuk antar Mas Devan dan Papa?”
Renjana mengangguk, tidak begitu dengan Pradipa justru yang ingin sekali diselamatkan. Pradipa sungguh tidak ingin bertemu dengan Devanda—pria yang akan mengambil hati milik Andini. Tepatnya, pria yang akan membenahi patahan hati milik Andini. Menyusunnya seperti sedia kala.
Pada akhirnya, sekuat apapun usaha Pradipa, semuanya akan berakhir sia-sia. Karena seluruh rasa yang terlibat menyebabkan semuanya semakin rumit.