Lepas dari genggaman.

Seperti yang sudah diberitau sebelumnya, saya mengundurkan diri dari perusahaan. Bukan tidak profesional dalam sebuah pekerjaan, tapi tentang bagaimana rasanya setiap hari menatap kepergian. Karena yang saya dengar, Pradipa akan bekerja lagi sebagai CEO di sana. Lalu, apa tugas saya hanya untuk menyaksikan sepasang insan itu menjalankan Perusahaan?

Pradipa pembohong, dan itu faktanya.

Tapi untuk hal ini tidak seluruhnya salah ia, sebab saya juga yang memiliki rasa. Seharusnya, saat saya mempercayai Pradipa—saya tidak bisa membawa seluruh rasa untuknya. Sehingga tidak begitu menyakitkan seperti ini. Saya hampir lupa bahwa segalanya yang Semesta berikan itu seperti angin lembut tapi tidak mampu menghilangkan kebisingan di kepala. Seperti pasir yang bisa saja hilang dari genggaman sebab selalu punya jalan untuk pergi.

“Kamu kenapa resign?”

Saya mengalihkan pandang ke arah Devanda yang sedang memakan kacang. “Menurutmu?”

“Saya nggak tau, maka-nya saya tanya.” Dia menjawab santai.

Sore itu saya hanya tertawa kecil, kembali menatap pemandangan ke arah laut biru.

Tiga menit kemudian saya mendengar helaan napas dari bibir Devanda. Dia tidak mengalihkan netranya dari angkasa.

“Andini adalah sebuah rahasia.” katanya tiba-tiba yang saya tidak mengerti apa dari makna-nya.

“Rahasia?”

Dia mengangguk yakin. Kini arah pandangnya beralih ke arah saya, “Rahasia Semesta.”

“Kenapa begitu?” “Kamu terlalu sulit ditebak.”

Ah, hanya itu rupanya. Omong-omong saya dan Devanda sedang berada di pantai daerah Gunung Kidul. Pantai yang biasanya saya kunjungi bersama Pradipa.

“Dev, saya boleh tanya?”

Devan mengangguk kecil, “tanya aja.” Sepenuhnya menghadap ke arah saya.

“Kamu kenal Renjana?”

Kemudian ia langsung menoleh saya cepat, menatap tepat pada mata. “Anak dari Ibu sambung saya.”

“Renjana ... adikmu?” “Adik tiri.” koreksinya.

Dunia terasa seluas papan catur kalau jalan-nya seperti ini. Semua secara tiba-tiba dan terlalu mengejutkan membuat saya bingung bukan kepalang. Daya ingat saya mulai tertarik dari hal-hal yang berkaitan namun saya tidak dapat menyadarinya. Mulai dari lift di Perusahaan sampai dengan Renjana yang terlihat terkejut saat di rumah sakit malam itu.

“Memang kamu nggak sadar?” “Ya—?” Saya menatap ia penuh kebingungan. Berjuta tanya tidak dapat dikeluarkan karena lidah terasa kelu.

Devanda tertawa kecil, kembali memperhatikan matahari tenggelam di ufuk sana. “Pertemuan pertama kita itu bukan di depan rumahmu.”

“Saya nggak pernah lihat kamu sebelumnya?” “Pernah, tapi nggak sadar.” Ia kembali mengoreksi membuat saya kembali mengingat-ingat hal lama. “Satu tahun lalu saat Papa perkenalin Renjana di Perusahaan, Andini. Saya di belakang Papa—”

“Kamu ... putra Pak Arya yang nggak mau meneruskan Perusahaan itu?”

Dia mengangguk kecil, tangan kanan-nya beralih untuk mengambil cola yang sebelumnya kami beli di minimarket.

“Kenapa, Dev?” “Apanya?” “Nggak mau meneruskan Perusahaan.”

Devanda memejamkan mata, membiarkan semilir angin lembut itu menyapu seluruh wajahnya. “Saya banyak liburnya kalau kerja nanti.”

“Terus sekarang kamu kerja apa?” “Kenapa? Kamu nggak mau menikah sama pria yang tidak berpenghasilan, ya?”

Saya diam, mencerna kalimat Devanda yang terasa rumpang. Setiap kalimat yang keluar dari bibir tipis itu selalu saja membuat saya menguras pikiran untuk menemukan jawaban tepat. Devanda terlalu tinggi dan sulit dimengerti.

“Saya nggak sedang melamar kamu.”

Saya mengalihkan pandang.

“Saya bukan orang yang pandai memberikan sebuah harap, Andini. Saya mau semuanya berjalan sebagaimana Semesta mengaturnya.” lanjut Devanda, meneguk satu kaleng cola di tangan. “Saya nggak mau seperti matahari di ujung sana, bisa hilang kapan saja.”

“Terus maunya kaya apa?” “Langit Biru.” “Tapi langit nggak selamanya Biru.” “Tapi dia selamanya menutupi pilu.”