Manusia tidak berperasaan.
Setelah membaca pesan terakhir Pradipa, saya buru-buru berjalan ke arah jendela—untuk sekedar memastikan kalau ia berada di sana. Dan ternyata ia tidak sedang membual seperti sebelumnya. Pradipa benar-benar di sana, hanya saja dengan sebuah nikotin yang sesekali ia hisap?
Saya baru tau fakta yang satu ini. Pada akhirnya benar, saya bukanlah siapa-siapa dan tidak tau apapun tentang si gula jawa.
Perlahan saya membuka pintu rumah setelah membalut tubuh pakai jaket berwarna abu. Berjalan mengendap ke arah pintu agar ibu tidak terbangun dati mimpinya yang lebih indah dari pada kenyataan.
Daksa tegap yang sedang bersandar pada motor kesayangan-nya itu masih menatap ponsel, sama sekali tidak sadar akan kehadiran saya.
“Pra—”
“Pradi!”
Seorang perempuan berlari dari arah barah, menabrak-kan daksanya pada pria yang selalu saya rindukan. Yang saya lihat, netra perempuan itu bersinar bagai purnama di tengah malam.
Langkah saya terhenti di ujung pagar, menyaksikan pertunjukan yang seolah-olah disajikan dalam sebuah layar lebar. Mencintai Pradipa adalah sebuah luka kecil yang tidak kentara—namun selalu disiram pakai air jeruk yang rasanya tiada tara.
“Aku takut kehilangan kamu ...” kata perempuan itu.
Sedangkan si pria berusaha menjauhkan daksa keduanya, tersenyum sambil menatap perempuan-nya dalam. “Saya nggak akan ke mana-mana, Renjana.”
“Tapi kenapa kamu di sini? Ini—”
“Rumah Andini.” potong sekaligus jawab si gula jawa.
“Pra, Andini akan terus jadi kesayanganmu setelah Ibu, ya?”
Saya mendecih, mengalihkan pandang yang membuat saya kaget bukan kepalang. Karena pada akhirnya, saya dapat menangis karena menyaksikan sebuah pertunjukan tidak berskenario ini.
Dua kali saya menemukan diri sendiri menangis setelah kejadian beberapa tahun silam setelah merasa kalau dunia benar-benar tidak menginginkan saya.
“Renjana, dengar.” Pradipa menahan pundak perempuan itu, “Tidak ada yang pernah bisa menggantikan posisi An—”
“Kenapa masih di sini?”
Saya tidak lagi dapat mendengar suara tajam milik Pradipa ketika seseorang tiba dengan jaket biru kesukaan-nya. Dia Devanda dengan tatapan tidak suka. Rambutnya acak-acakan seperti orang yang baru saja bangun tidur.
“Saya mau temui Pradipa.”
Devanda mengalihkan pandangan ke arah Pradipa dan Renjana yang sama-sama saling mendekat, hendak menyatukan bibir satu sama lain. “Mau lihat orang bikin anak?”
“YA NGGAK BIKIN ANAK DI JALANAN NGGAK SIH, DEV?”