Pradipa penipu sesungguhnya.
Masih dan akan selalu tentang Pradipa, pria manis si pemilik pelukan sehangat kopi. Saya tidak tau apa alasan pertiwi mempertemukan saya pada pria sehangat ia kalau pada akhirnya kami dipisahkan dengan alasan sederhana.
“Saya sayang Andini bagaimanapun rupanya.”
Tapi beberapa hari setelah kalimat itu diperdengarkan pada dunia dengan senyum semegah istana, ia menghilang. Benar-benar menghilang seperti tenggelam di palung terdalam. Saya tidak tau apa alasan-nya kala itu. Yang jelas ahad pukul lima lebih sedikit Ibu bilang, “Pradipa pergi ke Germany untuk menemui isterinya.”
Awalnya saya ingin menangis, ingin sekali. Tapi saya sadar, Ibu bukanlah wanita yang akan mengelus puncak kepala saya dan mengeluarkan kalimat-kalimat menenangkan. Ibu lebih suka memukul saya dengan sapu.
Tapi di halaman ini saya tidak akan bercerita tentang Ibu. Saya ingin bercerita tentang dua puluh lima agustus, dua ribu sembilan belas. Tentang sebuah kata “maaf” yang berujung rasa sakit tiada dua. Tentang saya, Pradipa dan segala rasa yang berporak-poranda untuknya.
Dahulu, saya suka sekali mengadu tentang sesuatu yang tidak perlu. Karena katanya ia akan mendengarkan apapun yang akan keluar dari bibir saya, kecuali larangan karena terlalu sering minum kopi.
Pradipa itu sederhana, seperti setiap kata dalam buku ini. Sampai ketika saya mulai meletak-kan sebuah rasa untuknya, saya dihantam fakta yang paling menakutkan untuk didengar. Fakta sederhana bahwa ia telah memiliki seorang istri yang notabenya adalah atasan saya.
“Malam ini nggak pakai helm, ya.” “Kalau saya jatuh, gimana?” “Saya nggak akan membiarkan Andini jatuh.”
Kamu salah, Pradipa. Saya sudah terlanjut jatuh pada jurang yang seharusnya saya tidak bermain di sampingnya. Kali ini saya terlalu menyayangi Pradipa Purnawaman yang sudah memiliki seorang istri.
“Pradipa kamu pembohong.”
Ia menarik tangan saya untuk melingkar indah di tubuh kekarnya sehingga saya dapat kembali mencium bau tubuh yang sangat dirindukan.
“Andini, maaf.”
“Katamu jatuh cinta itu menyenangkan, tapi kenapa rasanya seperih ini?”
Pradipa menghentikan motornya, kemudian ia turun dan membiarkan saya untuk tetap duduk di atas jok. Netranya menatap saya dalam, kemudian menutup bersamaan dengan air mata yang mengalir.
“Di, kamu menangis?”
Pradipa mengangguk kecil, kemudian terkekeh sumbang. “Maafin saya ...”
“Di, bagaimana saya bisa memeluk daksa yang sudah menjadi milik wanita lain?”
“Bagaimana saya bisa mengadu pada pria yang bukan lagi pelindung saya?”
Saya menghela napas, menatap ia yang kini menarik saya untuk masuk ke dalam dekap. “Di, bagaimana rasanya dicintai seutuhnya? Dijadikan dunia kedua setelah Ibunya dalam waktu yang lama?”
“Saya nggak bisa menangis,” Tiba-tiba tangan saya yang sedari tadi meremat jaket kini berpindah tugas untuk meremat dada. “Rasanya hanya sesak dan itu menyakitkan.”