Ibu dan sepotong kue.
Untuk suapan terakhir sama kunyah sambil tersenyum saat tau Ibu ternyata membawa daksanya berjalan mendekat. Walau tidak ada wajah yang damai di sana, tapi saya tetap bersyukur sebab Ibu pasti ingin berbicara mengenai satu hal.
“Mana ATM kamu?” “Ya?”
Ibu berdecak malas malam itu, “tadi habis buka rekening, kan? Mana ATM-nya?”
“Ada. Disimpan sama Andini, Bu.” jawab saya, sebisa mungkin dengan nada yang lembut.
Tapi bukan-nya tersenyum, Ibu justru menendang kaki saya cukup keras. “Kamu itu boros, Andini! Baru buka rekening aja udah beli makanan online seperti ini!”
“Bu, ini dibelikan Devan yang baru saja pindah ke Rumah Pak 'De Pur yang dulu.”
Setelahnya tangan Ibu terangkat untuk melayangkan sebuah pukulan cukup keras di atas kepala saya. Dengan begitu, saya juga berusaha untuk menutupi bagian kepala—namun tidak dengan memohon untuk ia segera berhenti.
“Sudah pandai berbohong, Andini?” “Bu, Andini nggak bohong. Sumpah!”
Lagi, tangan Ibu terangkat untuk menjambak rambut dan membuat saya bangun dari posisi. Setelah itu, Ibu mendorong cukup keras daksa saya ke arah motor Ayah yang memang sudah dimasuk-kan ke ruang tamu sebab kami tidak punya garasi.
Saya bukan lahir dari keluarga penuh harta, bukan juga dengan tawa.
“Andini!” Itu suara Ayah.
Ayah berlari tergesa dengan sarung birunya mengangkat motor yang meniban kaki kanan saya. Kemudian Ayah berjongkok di hadapan saya, membantu meluruskan kaki. Namun anehnya ... kaki saya mati rasa.
“Yah ... ujung kaki Andini nggak kerasa kalau Ayah pegang.” kata saya, biasa aja.
Normalnya ini akan terasa menyakitkan dan seharusnya saya menangis pilu saat tau kalau ternyata kaki saya patah. Sebab Ayah berkali-kali menekan ujung kaki namun tetap tidak ada rasanya.
“Kita ke rumah sakit, ya, Nduk?”
Saya mengangguk ragu, memerhatikan Ibu yang masih memegang sapu. “Bu ... Andini izin ke rumah sakit sama Ayah. Nanti ATM-nya ambil saja di dompet hitam, ya.”
“Bu ... maaf kalau malam ini Andini membuat amarah Ibu memuncak. Maaf kalau Andini belum bisa jadi anak yang begitu berguna, tapi Andini selalu berusaha untuk itu, Bu.” kata saya.
Ayah menatap saya Iba, tapi saya membenci hal itu. Tapi Ibu menatap saya dingin, dan saya menyukainya.