Saya Andini.
Perkenalkan, saya Farahia Andini—mereka biasa memanggil saya Andini atau sekedar Dini. Kata Ayah, saya gadis si pemilik senyum semegah istana. Kata Ayah, saya si gadis pemilik bola mata tajam yang pekat. Kata Ayah juga, saya gadis si pemilik hati seluas jumantara.
Dua puluh tiga tahun tinggal di Bumi membuat saya merasa bangga dengan diri sendiri.
“Dini, kamu nggak kerja?”
Ah itu, wanita yang senyumnya mampu membuat saya jauh lebih baik namanya Raisha, Ibu saya.
Kata Ayah, dulu Ibu adalah satu-satunya orang yang bersedih ketika Tuhan mengizinkan saya untuk hidup di bumi. Ibu bahkan menentang takdir Tuhan karena saya dihadirkan di hidupnya yang sempurna. Jauh sebelum ada saya, Ibu baik-baik saja. Tapi sejak Ibu tau kalau ada nyawa di dalam daksanya, ia marah pada Semesta. Kehadiran saya sempat disebut sebuah kecelakaan oleh Ibu.maaf
Kata Ayah pula, dulu Ibu seorang wanita karir yang hebat. Apapun yang Ibu mau, pasti terlaksana dengan baik. Tapi sejak Tuhan kirimkan saya di hidup Ibu untuk melengkapi harinya—semua hancur.
“Sebentar lagi Dini berangkat, Bu.”
Tidak tau bagaimana, tapi Ibu sudah berdiri di hadapan saya—memukul saya dengan sapu andalan-nya. “Kamu itu! Jangan jadi pemalas! Cepat berangkat sekarang!”
Saya tersenyum ketika bagian dari gagang sapu menyentuh kepala saya cukup keras. Kemudian mengambil tangan Ibu untuk disalimi.
Jangan tanya rasanya seperti apa, saya tidak tau. Yang terasa hanya perih di permukaan kulit kepala, tapi perasaan saya biasa saja.
Saya terlalu terbiasa sampai akhirnya mati rasa. Sejak kecil, Ibu benci melihat saya menangis, jadi saya lebih memilih diam dan tidak memberontak saat sekalipun Ibu membanting daksa saya ke segala arah.
Di detik ini saya masih berpegang teguh pada kalimat keyakinan bahwa Ibu tidak suka melihat saya menangis karena Ibu tidak mau saya terlihat lemah.
Mungkin, saking seringnya memendam sebuah rasa—saya jadi kehilangan seluruh rasa.
“Din!”
Sambil mengangkat kurva saya melambaikan tangan ke arah pria yang baru saja berhenti di depan pagar dengan motor kesayangan-nya. “Bareng lagi?”
Dia mengangguk, kemudian buru-buru membantu saya untuk memakai helm dengan senyum manis yang diidamkan seluruh kaum hawa.
Kenalkan, dia Pradipa teman sekantor saya sejak dua tahun lalu. Pria pemilik senyum semanis gula jawa dan kalimat selembut sutera.
“Sudah siap?”
Setelah pertanyaan itu dilontarkan dan memeriksa bahwa saya sudah duduk dengan aman, Pradipa menjalankan sepedah motornya. Katanya itu hadiah dari Ibunya lima tahun lalu yang ia jaga sampai hari ini.
“Pemberian dari Ibu adalah sebuah anugerah bagi saya, Dini. Jadi saya harus menjaganya.” katanya waktu itu.
Pemberian dari Ibu adalah anugerah? Lalu buku tulis kosong pemberian dari Ibu tujuh tahun lalu saat saya duduk di kursi sekolah menengah adalah anugerah?
“Kenapa diam?” Pradipa menatap saya lewat kaca spion sebelah kiri. Motornya berhenti sebab lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah seketika.
Saya tertawa, “Di, bagaimana rasanya bisa menangis, ya?”