Pradipa dan dunianya.

Satu menit lalu Pradipa sudah sampai di rumah saya dan Ayah langsung menyambutnya dengan senyum semegah dunia. Malam itu saya lihat Pradipa menyipitkan matanya, dan saya tau dengan jelas kalau ia sedang tersenyum di balik masker putihnya. Omong-omong soal itu, saya juga kurang paham karena ia memakai masker.

“Mau langsung berangkat?” tanya Ayah yang mendapat anggukan sopan dari Pradipa. Pria itu dengan segera menyalimi tangan Ayah, lalu menggenggam erat jemari saya.

Rasanya biasa saja, karena saya dan ia sudah dua tahun berteman.

Saat sampai di depan, seperti sudah kewajiban—ia memakaikan saya helm dengan lembut. Matanya kembali menyipit, “sudah siap?”

Setelah memastikan saya duduk dengan aman dan nyaman, Pradipa menjalankan motornya perlahan. Menembus jalanan kota yang lumayan dingin karena sore tadi sempat hujan deras. Seolah tau kalau saya kedinginan, Pradipa menarik satu tangan saya untuk melingkari daksanya dan dimasuk-kan ke dalam saku hoodie hitam yang ia gunakan.

“Dingin, ya?” “Iya.”

Kalau ada yang bertanya, apa Andini memiliki rasa kepada Pradipa? jawaban-nya adalah,

tidak.

Karena saya tidak tau bagaimana rasanya memiliki sebuah rasa—termasuk jatuh cinta. Pradipa, baik. Baik sekali sampai semesta kirim manusia itu untuk menjadi teman dekat saya. Dan saya sering sekali merasa beruntung sebab ia dihadirkan di sini.

Kata Ayah, tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada Pradipa. Tapi saya punya satu alasan, hati saya .... hati saya tidak bisa merasakan hal itu.

“Hati-hati.” kata Pradipa saat saya turun dari motornya.

Kami sudah sampai di salah satu warung tenda tengah kota. Pradipa bukanlah teman pria yang sering mengajak saya makan di rumah makan megah, bukan pula teman pria yang membelikan saya barang-barang mewah. Tapi ia adalah pria pertama yang memperlakukan saya seperti Ayah.

“Sate ayam atau kambing?” “Kamu?” “Saya nggak bisa dibuat jadi sate, Dini.”

Saya tertawa, “bukan, bukan. Maksud saya, kamu mau sate apa?”

“Kayak biasa, sate Ayam.” katanya sembari menyipitkan mata, memberi pertanda bahwa ia membentangkan sebuah senyum selebar Samudera.

“Yaudah, saya samain aja.”

Pradipa mengangguk, lalu berjalan untuk memesan dua porsi sate Ayam dan minuman-nya.

Kemarin saya sempat ditanya sama Kakak Ipar saya mengenai Pradipa. Katanya, “Pradipa itu baik, Din. Mas nggak yakin kalau nggak ada dua cowok dan cewek berteman tanpa ada sebuah rasa di dalamnya.

Sayangnya, saya selalu bertentangan mengenai sebuah rasa. Dan saya selalu bingung, memang apa yang menyenangkan dari jatuh cinta? Dan, apa salahnya kalau pria dan wanita menjalin sebuah pertemanan tanpa sebuah rasa?

Apa itu terasa aneh?

Saya rasa tidak.

“Kamu besok jadi buka rekening, kan, Din?” tanya Pradipa yang baru saja kembali, ia duduk di hadapan saya sembari membuka maskernya.

Mata saya membola kala mendapati beberapa lebam di wajah pria itu. “Di, kamu kenapa?”

Dia mendesah lirih saat kemari saya menyentuh lebamnya di bagian kiri bibir. Pelan-pelan ia merogoh saku hoodienya untuk mengambil satu botol alkohol kecil juga kapas.

“Boleh minta tolong obati?”

Saya diam, melempar tatapan ke arah alkohol dan Pradipa bergantian. Kemudian mendesah malas, “ini kenapa?”

“Kan saya udah bilang, habis menyelamatkan dunia.” katanya sambil tertawa kecil.

Diam-diam tangan saya bergerak untuk menuangkan alkohol ke atas kapas lalu menempelkan-nya ke beberapa lebam di wajah itu. “Saya tanya serius, loh.”

“Saya jawabnya juga serius.”

Setelah itu ada Ibu si pemilik warung tenda yang mengantar dua porsi sate ayam dan minumnya. Tapi mata saya masih fokus pada wajah Pradipa sedangkan pria itu mengucapkan terima kasih kepada si Ibu.

Pradipa manis sekali, entah fisik atau hatinya. Perlakuan-nya juga selembut sutera, beruntung sekali orang tuanya memiliki anak pria sebaik ia. Kalau boleh jujur, Pradipa itu pria yang punya pemikiran seluas jumantara karena itu pemilik Perusahaan memilih ia sebagai tim inti dalam sebuah project besar padahal baru dua tahun bekerja.

“Dimakan dulu, Din. Jangan lihatin saya sebegitunya, nanti saya kepedean.”