Untuk apa hati diciptakan?
Kenapa harus ia?
Hari ini sudah berapa kali Jingga menangis? Air mata-air mata sialan itu terus mengalir deras seolah tidak mau dihentikan sejak dua jam yang lalu. Tepatnya sejak Pak Bayu diminta langsung oleh Afnan untuk mengantar istrinya ke Rumah Sakit. Di sepanjang perjalanan yang mampu menghabiskan waktu tiga puluh menit tidak pernah dilewatkan oleh Jingga untuk berdo'a, memohon pada Semesta kalau semuanya hanyalah mimpi dan omong kosong belaka.
Tapi pagi ini, saat melihat daksa Biru yang mulai membeku di ruang ICU kakinya melemas. Jantungnya seolah berhenti kala matanya menangkap senyum manis yang menghiasi wajah pria itu. Kurvanya mengingatkan Jingga pada hari itu—hari di mana Biru menikahi perempuan lain tepat di hadapan-nya. Ciuman terakhir, juga pelukan terakhir.
“Mas Biru ...” Jingga menunduk dalam, kuasanya terangkat untul mengelus surai pekat milik Biru. Dengan sedikit gemetar, kuasa itu berpindah ke jemari lentik yang berada tepat di atas perut si pria. Alat-alat yang sejak beberapa bulan lalu melekat pada daksa itu kini sudah tidak dapat lagi digunakan, sudah tidak dapat lagi menopang dan membantunya bertahan pada dunia. “Sekarang udah nggak sakit, kan, Mas?”
“Bunda waktu itu bilang ke Jingga kalau Mas Biru nggak pernah merasa bahagia kecuali sama Jingga.” Setelahnya terdengar helaan napas, bersamaan dengan isak tangis yang semakin mengeras. Jingga tidak tau apa lagi yang harus ia utarakan, tidak tau apa lagi yang harus dimengerti. “Hari ini ... Jingga datang ke sini bukan lagi untuk periksa keadaan Mas Biru, tapi untuk jawab dari pertanyaan satu hari sebelum Rakha dilahirkan.”
“Ga, untuk apa hati diciptakan?”
Perempuan berkerudung hitam itu menangis lagi, hal yang sebenarnya lelah sekali untuk ia lakukan. Berkali-kali Jingga selalu menjadi karakter lemah dalam bukunya, Jinggapun lelah, Semesta ...
“Mas, hati diciptakan untuk merasakan seluruh rasa. Rasa sakit dan terluka adalah salah satu dari bagian-nya. Mas Biru tahu untuk apa manusia ada?” Kuasa yang sebelumnya menggenggam jemari Biru itu berpindah tugas untuk meremat dadanya sendiri, menyakiti diri dari bagian luar.
Masih ingat kalau ia tidak suka dilukai dari dalam, kan?
“Manusia diciptakan untuk terluka, Mas Biru ...” lanjutnya. Netra itu berhenti pada wajah Biru yang sengat menenangkan. Allah pasti memanggilnya karena ia terlalu merindukan pria ini. Pasti. “Kalau manusia nggak terluka, dia mana pernah tau bagaimana rasanya terluka, kan? Bisa-bisa dia selalu melukai orang di sekitarnya.”
Jingga melepas seluruh bagian tubuhnya yang menyentuh Biru kala dua orang perawat datang menghampiri, hendak membawa daksa itu pergi dari ruangan ini.
Kamu tau apa yang paling menyakitkan dari sebuah kepergian?
Mengikhlaskan.