Gerbong Pertemuan.

Shaqueena menangis di tempatnya ketika mendapati Arion—Sang Ayah, menghukum Kakaknya yang jatuh cinta pada manusia. Cambukan yang pasti terasa panas itu berkali-kali mengenai tubuh Lentara Arion—Sang Kakak, tanpa ampun. Hal itu berkali-kali pula membuat Shaqueena merasa hatinya sakit.

Lentara tidak pernah melanggar perintah dari Ayah kecuali jatuh cinta pada manusia. Karena sejatinya, sebuah rasa memang hadir tanpa harus memiliki perencanaan yang matang. Shaqueena-pun sama, ia jatuh cinta pada manusia yang setiap hari ia kunjungi selama beberapa tahun belakangan. Mengagumi diam-diam sampai akhirnya merasa bahwa ia semakin ingin mendekati pria yang tidak diketahui namanya.

“Ayah, sudah!” teriak Shaqueena saat melihat Arion mulai mencambuk Lentara dengan tambahan api di ujung cambukan. “Ayah, Kak Lentara tidak seharusnya mendapatkan ini.”

“Dia juga tidak seharusnya jatuh cinta pada manusia, Queen!” jawab Arion dengan emosi yang memuncak. “Queen, jatuh cinta dengan manusia adalah perbuatan paling keji di Langit.”

Tiba-tiba Shaqueena merasakan sesak luar biasa saat Arion mengeluarkan kalimat terakhirnya. Serpihan wajah pria yang ia cintai mulai bermuculan bagai potongan film di ingatannya. Kuasanya yang mungil terangkat untuk meremat dada sendiri seolah meredam nyeri luar biasa yang dirasa.

“Queen, tidak apa-apa?”

Shaqueena menatap Lentara yang sudah lemas tidak berdaya, lalu kembali menatap Arion yang sedang mengkhawatirkan dirinya. “Ayah, Queen jatuh cinta dengan manusia.”

Cambukan di tangan Arion jatuh begitu saja ketika mendengar penuturan lemah dari mulut sang putri. Dirinya seolah tidak berdaya ketika dua keturunan yang ia punya dan harapkan untuk menggantikan posisinya sebagai Raja Langit ternyata jatuh cinta oleh anak Adam.

Di tempat yang berbeda, Renandika tidak berhenti menatap air hujan yang turun membasahi Bumi. Dari siang tadi hujan tidak mau berhenti seolah langit sedang bersedih. Jakarta memang begitu kalau sudah memasuki akhir tahun, pasti hujan tidak mau reda barang beberapa jam.

Renandika berdecak, “pasti besok banjir.” katanya sambil mengotak-atik ponsel dengan tangan kanannya, menekan beberapa digit nomor lalu ia tempelkan di telinga.

“Halo, Jav? Besok interview pegawai baru di ruangan gue aja, lantai tiga.” ucapnya yang kemudian diakhiri dengan seruputan kopi untuk menghangatkan tubuhnya.

“Oh, yaudah. Semua lamaran yang gue apply udah dikirim ke email, ya.” balas Javiero sambil menyeruput cafein juga di seberang sana—bedanya, ia masih di kantor. ““Eh*, Ren? Ini ... gue liat jadwal, minggu depan ada pemotretan sama majalah Antumn?”

Alih-alih menjawab, Renandika malah mengerjapkan matanya berkali-kali saat melihat seorang pria yang sangat ia kenali di depan cafe. Ponselnya diletakkan di atas meja bersamaan dengan proposal dan laptop yang masih menyala. Renandika menjalankan tuasnya perlahan saat pria yang ia kenali masuk ke dalam mobil bersamaan dengan wanita asing. “Brengsek.

Aw!”

Seorang gadis jatuh bersamaan dengan Renandika yang baru saja memutar balik tubuhnya yang ternyata menghantam dengan keras tubuh mungil itu. Ia langsung jongkok di hadapan gadis yang sedang merintih kesakitan. Gaun putihnya sudah berubah warna menjadi kecokelatan akibatnya. “Sorry, sorry. Lo nggak apa-apa?”

Gadis itu menggeleng, “nggak apa-apa, Renandika.” jawabnya sambil menepuk-nepuk pelan bagian tangan untuk membersihkan sisa kotoran di sana.

Senyum tipis dari bibir gadis itu mampu menyihir Renandika sampai lupa pada dirinya sendiri. Dua menit setelahnya, pria itu menggeleng. “Lo kenal gue?— maksud gue, kita kenal? Pernah ketemu? Atau—pernah kenal, gitu?”

Bukannya menjawab, si gadis malah menyodorkan tangannya. “Shaqueena. Kita nggak pernah kenal, Renandika.”

Nggak pernah kenal tapi dia tau nama gue? Aneh.” jawab Renan dalam hati. Netranya menatap gadis itu dari atas ke bawah, bawah ke atas—begitu terus sampai lima kali.

Shaqueena terkekeh geli saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Renandika dalam hati. “Aku duluan ya, Renandika.” katanya lalu pergi.

Sedangkan Renandika masih diam di depan pintu cafe, menatap kepergian gadis bernama Shaqueena itu yang berjalan biasa saja tanpa payung tapi bajunya tidak begitu basah. Pria itu segera menyodorkan tangannya di bawah air hujan, “lumayan deres. Tapi—?”