Suara ini direkam di Kairo.
Perempuan itu masuk ke dalam mobil dan langsung mendaratkan kecupannya pada pipi kiri sang suami. Hal itu tentu saja membuat Afnan tidak sengaja menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Tidak biasa Jingga seperti ini, pikirnya.
“Lagi seneng?”
Jingga mengangguk kecil, “Habis gajian.”
Afnan mengangguk mengerti, ia membuka laci dash board dan langsung memberikan satu tape recorder pada Jingga. Perempuan berkerudung cokelat itu menghela napasnya panjang, lalu menipiskan bibirnya.
“Kamu .... fokus bawa mobil aja, aku dengerin dulu.” katanya sambil menancapkan earphone pada benda persegi di tangannya.
Entah kenapa, Jingga merasa jantungnya berdetak cepat dan rasanya gugup sekali. Perlahan perempuan itu menyandarkan daksa lelahnya pada jok, lalu menghela napas demi menetralkan detak jantung. Diam-diam jemarinya menekan tombol On yang ada di bagian ujung yang langsung disambut oleh suara menenangkan dari sana.
“Assalamualaikum, Jingga.” Kalimat pertama itu membuat Jingga ingin segera melepas benda yang menyumpal telinganya. Ia merasakan sakit luar biasa pada bagian hati ketika mendengar suara Biru dari benda mati di pangkuannya.
“Kalau ada orang salam, dijawab, ya?“
Hening, hanya helaan napas yang selanjutnya terdengar sampai akhirnya Jingga memutuskan untuk menjawab salam walau tidak terucap di bibir.
“Ga, kalau sekarang kamu lagi nangis—tolong udah, ya? Dari dulu kamu tau kalau aku nggak suka lihat atau bahkan denger suara kamu yang lagi nangis, kan?“
“Suara ini direkam di Kairo, satu hari sebelum aku pulang ke Jakarta untuk pertama kalinya setelah lama menjauh dari kamu, dunia kamu dan nggak mau apa-apa tentang kamu.“
“Suara ini nggak ditujukan untuk kamu kalau aku masih ada di dunia. Tapi ... kalau ternyata kamu dengar segalanya yang ada di dalam kaset ini, itu tandanya aku udah nggak ada.“
“Ga, you know that i love you so much, right?”
Jingga diam, berkali-kali menahan air mata yang bisa saja turun dari tempatnya. Matanya melirik ke arah Afnan yang sedang berusaha untuk fokus pada kemudi.
“Aku janji sama diriku sendiri, sama Tuhanku kalau aku nggak pernah mau nyakitin kamu, Ga. Tapi .... kalau suatu saat nanti ada bagian dari dalam diri kamu— entah fisik ataupun hati terluka karena aku, itu tandanya aku melakukan semuanya karena aku sayang sama kamu.“
Sudah, Jingga nggak kuat. Dia menangis dan tidak memedulikan Afnan yang hanya tersenyum tipis dalam diamnya.
“Gimana bisa kamu sayang sama aku tapi kamu nyakitin aku, Mas Biru?” Kalimat itu lepas begitu saja dengar suara rendah dari bibir Jingga. Kalimaf itu terdengar dikeluarkan dengan penuh tekanan dan rasa sesak di dalam dada.
“Ga, kalau aku meninggal nanti, aku mau kamu selalu kirim do'a untuk aku, ya? Walau mungkin kamu udah nggak lagi sama aku atau parahnya kamu benci banget sama aku. Nggak apa-apa, Ga.“
“Kamu ingat apa yang selalu aku bilang? Lakukan apapun yang bikin kamu bahagia sekalipun benci sama aku. Tapi tolong jangan lupain aku, Ga. Sebentar, mau minta maaf dulu—“
“Untuk siapapun yang jadi pendamping hidup Jingga nanti, tolong jaga anak ini, ya? Saya sayang sekali sama dia. Tolong bilangin kalau sakit, harus dibawa ke rumah sakit. Jangan mentang-mentang Dokter tapi nggak mau diperiksa. Tolong bilangin sama Dokter yang sukanya makan bakso dan ice jeruk ini, jaga kesehatan dan jangan pernah nyakitin diri sendiri lagi.“
“Ah .... Tapi kayanya nggak pernah ada yang bisa miliki Jingga selain saya. Iya nggak, Ga? Karena yang bisa bertahan untuk Jingga, mempertaruhkan segalanya untuk Jingga, ya cuma Biru.“
Jingga melepas dengan segera earphone walau ia tau kalau masih ads rekaman yang belum ia dengarkan dari dalam sana. Hatinya terasa sesak dan pikirannya kacau. Yang bisa Jingga lakukan saat ini hanya menatap jalanan yang tiba-tiba saja diguyur hujan. Kendati begitu, Jakarta masih selalu dipenuhi oleh manusia-manusia yang sedang berusaha bertahan hidup.
“You okay, sayang?“
Perempuan itu menghapus air matanya, menatap Afnan yang sedang membagi konsentrasi pada jalanan dan pada dirinya. “Nan, sebenernya ada apa?”
“Apa?” Afnan mengerinyit kebingungan.
Hening menguasai sampai Afnan menepikan mobilnya di bahu jalan, lalu menatap Jingga dari posisinya dalam. “Mas Biru menikahi Amel karena mau melindungi kamu.”
Yang hanya bisa dilakukan oleh Jingga saat ini cuma menghela napasnya sambil memejamkan mata—merasa bersalah akan memperlakukan Biru tidak layak selama beberapa tahun belakangan. “Kenapa, Nan? Kenapa aku yang baru tau sekarang?”
“Karena Mas Biru mau kamu sama Rakha tetap hidup, Jingga.” Afnan mengeratkan gengamannya pada kemudi sampai buku jarinya memutih. “Kenapa? Kamu menyesal pisah sama Mas Biru pas kamu tau alasannya?”
Perempuan itu langsung mengalihkan atensinya kepada Afnan yang menatapnya tajam. Yang sumpah demi apapun baru kali ini Afnan melayangkan tatapan itu untuknya. “Nan .... enggak gitu. Aku tulus sayang sama kamu, tapi aku ngerasa kamu bohongin aku. Kamu tau? Semuanya dimulai dari kebohongan, Afnan.”
“Semuanya dimulai dari dendam dan diikuti kebohongan, Jingga.”