Rakha mau ketemu Ayah Biru, Bunda.

Jingga meregangkan seluruh ototnya, menarik napas lalu membuang masker bersimbah darah yang baru saja ia buka—kemudian memasukkannya ke dalam tong khusus. Bibirnya tersenyum tipis ketika mendapati pasien yang baru saja ditanganinya didorong di atas brangkar menuju kamar rawat. Hari ini, ia berhasil lagi.

“Bunda!”

Suara itu mengintrupsi si perempuan berbaju biru khas Dokter. Setelahnya langsung dihadiahi pelukan hangat dari Rakha yang sudah berlari dari lorong pintu masuk, dan disusul oleh Afnan yang sedang tersenyum manis.

“Rakha udah makan siang?” Jingga menyisir rambut putranya yang sudah mulai panjang dengan jemari.

Anak itu menggeleng, sedikit menjauhkan tubuh dari Jingga sambil mengerucutkan bibirnya. “Tadi Rakha hubungi Ayah Biru, tapi nggak dibalas. Ditelepon juga nggak diangkat. Padahal, Rakha mau nginep di rumah Oma.”

Netra Jingga beralih kepada Afnan yang masih setia berdiri dua meter di belakang putranya itu. Hari ini Afnan tampak santai dengan kaus hitamnya dengan rambut yang sengaja tidak disisir terlalu rapi. Kepalanya mengangguk seolah memberi izin pada Jingga untuk menanggapi aduan si kecil.

“Mungkin Ayah Biru lagi sibuk?” Katanya sambil meletakkan jari telunjuk di atas dagu. “Atau .... Ayah Biru punya anak lagi selain Rakha?”

Tidak disangka, anak itu malah mundur beberapa langkah. “Rakha ... nggak mau punya adik, Bunda.”

“Loh? Kenapa?”

Dia menunduk, netranya menangkap kedua ujung sepatu. “Nanti Ayah Biru nggak sayang lagi sama Rakha—kaya waktu Keana datang ke rumah. Ayah Afnan .... bikin Rakha takut.”

Di belakangnya Afnan terkekeh, maju satu langkah untuk merengkuh daksa menggemaskan milik Rakha. Dikecupnya pipi kiri anak itu singkat. “Maafin Ayah, ya?”

“DOKTER JINGGA! ADA DUA PASIEN KECELAKAAN LAGI!” Dari arah selatan datang Naren yang sudah siap untuk belari ke arah Ambulan.

Sedangkan Jingga masih diam di tempatnya, menatap Rakha dan Afnan bergantian. Tatapan sendu dan penuh rasa bersalah itu jatuh pada Afnan yang sekarang justru menganggukkan kepala—seolah mengizinkan Jingga untuk melakukan tugasnya.

“Rakha ... makan sama Ayah dulu, ya? Bunda ada kerjaan.”

Anak itu mengangguk. Ia mengerti dan akan selalu mengerti tentang pekerjaan Bundanya yang harus tepat waktu untuk memberikan pertolongan. Hal itu membuat Jingga langsung berlari menyusul Naren ke luar untuk melihat keadaan pasiennya.

“Bukan korban kecelakaan, Dok. Tapi korban kena todong di jalan Sudirman, ada bekas tembakan di bagian kiri tangannya.” Jelas perawat yang memberitau segala informasi kepada Jingga agar Dokter itu bisa melakukan penindakan secepatnya.

Jingga mengangguk mengerti setelah memerintah sang supir untuk membuka pintu ambulan. Jantungnya berdetak cepat kala melihat wajah seseorang yang matanya tertutup di dalam sana. Tubuhnya bersimbah darah—terutama bagian perut.

“Mas Biru ....”

Perempuan itu dengan cepat meminta beberapa orang untuk menyipkan satu UGD untuknya, ia memasangkan kantung oksigen manual. Beberapa orang—termasuk Afnan yang entah sejak kapan sudsh berada di pintu utama rumah sakit menyaksikan sorot kekhawatiran dalam mata Jingga.

“Mas Biru, bisa dengar Jingga?” Perempuan itu menepuk pelan pipi kanan milik Biru saat mata sayup itu diusahakan terbua oleh pemiliknya. Kedua tangan Jingga tidak lepas untuk menekan kantung oksigen manual seiring dengan emergency stretcher yang didorong semakin cepat dengan beberapa perawat—dibantu Afnan juga Rakha.

“Naren, saya butuh defibrillator.

Dengan cepat Naren menyiapkan semuanya, lalu diserahkan kepada Jingga yang sedari tadi tidak mau melepaskan tatapannya dari wajah Biru yang kian lama kian memucat karena hampir saja kehabisan darah.

“Tegangan 200, siap?”

“Siap!”

Satu, dua, tiga.

Netranya jatuh pada layar monitor yang menunjukkan garis yang hampir saja lurus dengan sempurna. “Coba lagi, tegangan 400, siap?”

“Siap!”

Satu,

dua,

tiga.

“Jantungnya berhenti berdetak, Dok!”

“Gagal jantung!”

“Napasnya nggak beraturan!”

Suara dari beberapa perawat memenuhi indera pendengaran perempuan itu.

Jingga melepas defibrillator dari tangannya, lalu secara manual menekan dada bagian kanan milik Biru dengan kedua tangan. “Satu, dua, tiga.”

“Satu, dua, tiga.”

“Satu, dua, tiga.”

Jingga, ingat Ibu. Menjadi Dokter itu hanya membantu menyelamatkan, bukan memberi nyawa pasien untuk kembali.” Air matanya jatuh tepat saat Jingga mengingat kalimat-kalimat yang diutarakan oleh Ibu ketika Jingga untuk pertama kalinya gagal dalam menyelamatkan nyawa pasiennya.