Ayah .... udah ....

Bocah itu memejamkan matanya, merapatkan selimut putih untuk menutupi tubuhnya yang bergetar. Air matanya mengalir deras saat mendengar decitan antara kulit manusia dan lantai. Hatinya tersayat perih. Satu hal yang ia harapkan detik ini, pria yang selama ini ia panggil Ayah menghentikan aksinya.

“Ayah .... udah ....” Desisnya pada diri sendiri. Rakha tidak berani untuk keluar dari kamar dan menemui Ayah Biru yang sedang beradu argumen dengan Bundanya—Jingga. Rakha takut kalau Bundanya semakin disiksa oleh Ayah.

Sedangkan di luar sana, Jingga menahan perih di bagian pipinya. Setelah tubuhnya terseret akibat menghentikan pergerakan Biru yang berjalan menuju kamar Rakha, ia ditampar dengan keras oleh pria itu. “Mas, jangan!”

“Ga, saya cuma mau ketemu Rakha!”

Jingga menangis, menahan perih luar biasa di pipi kanan. “Rakha .... Rakha nggak mau ketemu kamu, Mas Biru!”

Lima belas menit sebelumnya Rakha menuruti permintaan Jingga untuk mengunci pintu kamar dan jangan dibuka kalau bukan ia yang meminta. Dan Rakha menuruti, Rakha cuma tidak mau dibawa oleh Biru dan bertemu dengan Mama Amel. Rakha nggak suka.

“Ayah Afnan .... Rakha takut ....” Rakha berlari sekuat tenaga untuk mengurung diri di dalam lemari bajunya, menangis sejadi-jadinya. Membayangkan tiga bulan lalu kejadian yang sama seperti hari ini,

di mana Biru ingin mengambil dirinya dari sang Bunda lalu membawanya pergi ke Bogor—untuk tinggal bersama Amel.

“Rakha ....”

Di sela tangisnya, Rakha berlari kecil ke arah pintu kamarnya saat mendengar suara lembut milik Bunda. Dibukanya perlahan pintu putih itu, dan segera ia masuk ke dalam pelukan sang Bunda. Diusapnya dengan lembut pipi milik Jingga,

“bunda .... maafin Rakha.”

Jingga tersenyum, menghapus air mata milik putranya lembut. “Rakha nggak salah, sayang. Harusnya Bunda yang minta maaf, ya? Setelah ini, kita pindah yang jauh, ya?”

“Sama Ayah Afnan, Bunda?”

Jingga tersenyum sambil mengangguk kecil, “iya, sayang.”

Dari dulu, untuk menenangkan putranya Jingga selalu bilang akan pergi meningalkan Jakarta tapi entah kenapa hatinya tidak sampai untuk meninggalkan kota kelahiran itu.

“Rakha nggak suka Mama Amel, Bunda .... Mama Amel jahat!”

Kedua kurva Jingga terangkat seluas himalaya untuk menenangkan si buah hati. “Bunda Jingga di sini, sayang.”

“Bunda, Ayah Biru kenapa selalu pukul Bunda? Ayah Biru nggak sayang sama Bunda, ya?” Katanya. Lagi-lagi bocah itu menangis. Sekarang, Rakha memiliki trauma sendiri ketika bertemu dengan Ayah kandungnya.

Entah, tapi Rakha lebih menyukai Ayah Afnan yang selalu mengajarinya mengaji sampai di detik di mana Rakha hafal beberapa surat pendek.