Dunia tidak bisa diubah.

Suara ketukan pintu semakin keras didengar, diikuti dengan suara-suara yang membuat bocah berumur empat belas tahun itu semakin mengeratkan tangannya untuk menutup telinga. Ia sudah bersembunyi di dalam lemari bersama dengan kemeja-kemeja Ayahnya. Suara tangisan bayi bersahutan dengan pintu yang dibuka secara paksa oleh Afnan. Sedangkan Rakha, masih diam di dalam lemari—berharap Ayahnya itu tidak menenemukan dirinya.

Tiba-tiba air mata bocah itu lolos turun ke pipi, jantungnya berdetak kencang sedangkan dahi sudah dipenuhi oleh peluh. Dalam diam ia menangis, menahan suaranya sebisa mungkin agar tidak kedengaran sampai luar.

“Bun .... da ....” Isaknya masih dengan suara yang terdengar memilukan sebab jantungnya berdebar cepat. Traumanya kembali lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Bayangan wajah Jingga dengan darah yang mengalir di hidung membuat Rakha kehilangan kendali. “Rakha takut .... Bunda .... tolongin Rakha ....”

Dia memeluk tubuhnya sendiri, menyembunyikan wajah di antara kemeja yang digantung—tidak peduli kalau nanti Bunda akan mengomel kepadanya. Yang jelas, Rakha hanya takut dengan suara-suara keributan yang meneriakkan namanya seperti apa yang dilakukan Afnan malam ini.

Di luar sana, Afnan meraih tubuh Keana—putri yang diketahui milik adik angkatnya. Jantungnya berdetak kencang saat netra mendapati Keana tiduran di lantai dengan keadaan tengkurap. Afnan kalut, matanya memerah, ia bahkan lari ke sama ke mari untuk menemukan Rakha.

“Rakha! Di mana kamu?” Afnan berlai menuju dapur, mencari putranya di sana dengan gerakan cepat, tubuhnya seolah dikuasai oleh setan yang kepanasan. Sampai akhirnya seseorang membuka pintu utama, membuat netra mereka bertemu.

“Di mana Rakha?”

Jingga mengernyit bingung, “loh? Kok nanya aku? Aku baru pulang, Nan.” Katanya sambil menghela napas, dilihatnya Keana yang sedang menangis dalam gendongan suaminya. “Kamu cari Rakha cuma buat marahin anak itu?”

Afnan menghentikan pergerakannya untuk menaiki tangga, hendak pergi ke kamar Rakha. Tubuhnya berbalik menatap Jingga yang menyorotkan kekecewaan luar biasa.

“Aku tanya sekali lagi, Afnan. Kamu cari Rakha cuma untuk marahin anak itu?” Jingga mengulangi pertanyaannya, menatap Afnan tidak percaya.

Sedangkan Afnan, kembali menuruni tangga perlahan—mengurungkan niat untuk mencari Rakha. Bayi dalam gendongan itu ia letakkan di atas sofa, dengan dua bantal yang menganjal agar tidak langsung jatuh ke lantai. Ia melangkahkan tuasnya untuk mendekat ke arah Jingga yang sedang menatapnya.

“Maaf ....”

Jingga menghela napas, ia juga manusia yang bisa marah. Karena sumpah demi apapun, Jingga juga lelah dengan semuanya. Keadaan yang seperti ini kadang memang membuatnya mau tidak mau harus bersiap dengan apapun yang terjadi ke depannya. “Kamu ngomong apa aja sama Rakha?”

Pria berkemeja putih itu menghela napas, mencoba untuk menatap istrinya tanpa membuat perempuan itu merasa takut. “Aku minta dia diam di rumah, udah itu aja.”

“Caramu benar?”

Dia menggeleng, menundukkan kepalanya seolah menyadari hal apa yang baru saja ia lakukan.

“Nan .... kamu tau kalau Rakha punya trauma dengan suara-suara yang meneriakkan namanya, kan?”

Jingga menghela napas, “Kamu tau kalau Rakha takut banget sama Mas Biru karena apa, kan?”

Afnan masih diam di tempatnya, menundukkan kepala sambil menatap ujung sepatunya nanar. Ia bertindak seolah-olah sedang dimarahi oleh seorang Ibu.

“Kamu satu-satunya Ayah yang lembut di mata Rakha, Nan. Kamu yang jadi alasan Rakha bertahan sampai sebesar ini.” Kata Jingga dengan suara yang bergetar. Tangisnya hampir saja pecah ketika potongan-potongan kejadian beberapa tahun lalu memutar begitu saja bagai film di memori ingatan Jingga. “Kamu .... nggak pernah tau gimana rasanya tumbuh jadi anak laki-laki dengan mental lemah karena kejadian masa lalu kaya Rakha, Nan.”

“Aku tau, Rakha nggak terlahir di keluarga yang serba ada dan serba bisa melakukan apapun kaya kamu. Tapi bisa aku minta tolong? Rangkul anak itu kaya gimana kamu dirangkul sama orang tuamu.” Bulir air mata lolos begitu saja seiring dengan suara Jingga yang kian melemah.

“Ga!” Afnan berlari mengejar Jingga ke kamar mereka, meninggalkan Keana yang masih menangis di atas sofa.

Sedangkan Jingga membuka pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar tidurnya dengan kasar— mencari sosok putranya di dalam sana. Karena Rakha juga tidak ditemukan, Jingga beralih pergi untuk membuka pintu lemari sedangkan Afnan masih diam di ambang pintu kamar.

“Rakha ....” Jingga membawa tubuh kecil itu ke dalam pelukannya, kuasa terangkat untuk mengecek detak jantung melalui nadi sebab Rakha tidak sadarkan diri.

Pikiran Jingga kalut ketika jantung bocah itu berdetak lemah, ia yakin betul kalau Rakha hampir kehabisan oksigen di dalam lemari atau bahkan trauma hampir membunuhnya.

Perempuan itu mendongak, menatap Afnan yang bersiap untuk menggendong tubuh Rakha. “Awas!”

Pelan-pelan Jingga melepaskan pelukannya pada Rakha, membiarkan Afnan membawa tubuh lemah itu untuk dibaringkan ke atas kasur. Dengan segera Jingga mengambil kotak P3K di lacinya. Kemudian ia mengecek bola mata Rakha dan detak jantungnya lagi.

“Keana .... anak siapa, Nan?”

Afnan menghentikan pergerakan untuk menyelimuti Rakha. Netranya menatap Jingga yang sudah lebih tenang dari sebelumnya dalam. “Aku beneran nggak tau, Ga.”

“Keana dan Gerland, mereka kembar, kan?” tanya Jingga lagi. “Kenapa mereka bisa bikin kamu semarah ini sama Rakha, Nan? Apa karena Rakha bukan anak kandung kamu? Apa karen—”

Perempuan itu menghentikan kalimatnya ketika Afnan tanpa permisi mengecup bibirnya singkat. Setelah itu seolah tanpa dosa Afnan tersenyum lembut sehinga menimbulkan lubang pada pipi kiri dan kanannya. Senyum lembut yang setiap pagi ada untuk menyapa Jingga.

“Kalau kamu mikir Gerland dan Keana adalah anak-anak aku, tandanya kamu salah.” katanya. Dia bertumpu pada kedua kakinya, menggenggam tangan Jingga untuk sekedar menguatkan perempuan itu. “Ga, aku bahkan nggak bisa kasih kamu anak. Masa tiba-tiba aku kasih Aletta anak?”

Di dalam mata itu tidak ada kebohongan dan Afnan sedang berusaha untuk tidak menutup-nutupi sesuatu dari istrinya. “Tatap aku, Ga!”

Jingga menggeleng, menatap ke sembarang arah asal tidak pada bola mata kecokelatan itu.

“Kamu bilang bakalan nurut sama suami kamu biar nggak dosa, kan? Sekarang, tatap aku!” perintahnya dengan nada lembut membuat Jingga pelan-pelan mengalihkan pandang. “Aku .... nggak pernah bohong sama kamu, Ga. Di saat aku bilang bakalan nerima kamu dalam keadaan apapun, aku bener-bener ngelakuin itu.”

Jingga mengangguk, kemudian melepaskan genggaman tangan Afnan perlahan. Ia beralih untuk membuka kotak p3k, mencari minyak angin di sana untuk membangunkan Rakha.

“Rakha .... bisa dengar Bunda, nak?” tanyanya ketika Rakha mulai membuka kelopak matanya perlahan.

Bocah berkaus putih itu menyunggingkan sedikit senyumnya ketika netra mendapati sang Bunda dengan wajah cemasnya. Di belakang Bunda ada Ayah yang selalu ada untuknya. “ A-ayah .... maafin Rakha .... Ampun, Ayah .... Rakha nggak akan nakal lagi ....”

Dan untuk pertama kalinya Afnan menangis di hadapan Rakha, merengkuh daksa putranya untuk ditenggelamkan ke dalam pelukan hangat. “Maafin Ayah, Rakha ....”

Diam-diam Jingga meninggalkan Rakha dan Afnan yang sepertinya sedang menenangkan satu sama lain. Langkah kakinya berjalan menuju sofa untuk menenangkan Keana terlihat mengenaskan. Kalau diamati lebih jauh, wajah Keana mirip sekali dengan Aletta. Mulai dari mata, hidung bahkan pipinya. Tapi yang membuat Jingga merasa ganjal, bibirnya mirip seperti ....

Winar?

“Jingga, aku mau ngomong.”

Perempuan iu mengalihkan atensinya pada Afnan yang memintanya untuk mendekat. “Ada apa?”

“Aku .... nggak mau kamu salah paham soal ini, Ga. Tapi aku sayang banget sama Keana.”

Rasanya hati Jingga seperti dihantam dengan batu yang amat besar, apalagi setelah ia menyadari bahwa tatapan Afnan terlalu beda dengan caranya menatap Rakha. Tatapan yang sudah lama sekali tidak pernah Afnan perlihatkan karena terakhir Jingga melihat itu ketika Rakha masih bayi.

“Kamu .... sayang Keana atau Ibunya, Nan?” Tanyanya. Jingga berusaha terlihat baik-baik saja walau ia tau dengan jelas bahwa hatinya tidak.

Afnan menghela napas, kuasanya terangkat untuk mengelus lembut bayi di gendongan Jingga. Sebelah sudut bibir pria itu terangkat. “Nggak ada perempuan yang aku sayang selain Bunda sama kamu, Jingga.”

“Aku sayang sama Keana karena dia bayi .... aku selalu mau punya anak dari darah dagingku, Ga. Aku mau punya keturunan, tapi aku sadar kalau aku nggak mampu.”

Jingga menunduk, menatap Keana dalam. “Kita nggak pernah bisa mengubah dunia dan segala isinya, Afnan. Tapi kita bisa ngubah gimana caranya Dunia yang fana ini menjadi lebih membahagiakan.”

“Kamu mau, Ga?”

Perempuan itu mengerinyit, “Apa?”

“Aku ajak untuk mengubah dunia yang fana jadi lebih membahagiakan?”