Dengerin saya,
Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangan, menangis sejadi-jadinya saat membayangkan betapa takutnya Rakha akan Ayah kandungnya itu. Hatinya bahkan teriris ketika memori ingatannya mengulas balik kejadian tadi malam, di mana Rakha bercerita kalau ia sampai bersembunyi di dalam lemari.
“Rakha .... maafin Bunda ....”
“Tenang, tenang.” Pintu kemudi dibuka dengan cepat dari arah luar oleh seorang pria yang langsung menyambar daksa Jingga. Memeluknya erat, membawa perempuan itu untuk menenggelamkan wajah di kemejanya.
Pria itu—Afnan, mengecup pelan wajah istrinya yang penuh dengan air mata. Membawa hati-hati tubuh itu untuk keluar dari dalam mobil putihnya. “Aku di sini. Kita cari Rakha bareng-bareng, okay?”
“Nan ....”
Pria itu mengulas senyum manis yang mampu menimbulkan lubang di pipi kanannya, “maaf. Aku emang bukan Ayah kandungnya Rakha, Ga. Tapi dari kamu mengandung, melahirkan bahkan sampai Rakha sebesar ini. Dia sama aku, dia anakku juga. Maaf kalau aku nggak bisa kasih kamu anak, maaf kalau aku cacat. Maaf.”
Tersadar akan kalimat menyakitkan yang ia kirim beberapa menit lalu di pesan, Jingga langsung memeluk Afnan erat. Tidak ada memperlakukan Jingga selembut Ayah dan Afnan—walau itu Biru sekalipun. “Nan .... maaf. Aku salah ....”
“Sayang, dengerin aku.” Afnan membawa wajah itu untuk tetap mantapnya. Dia terkekeh sebentar sebelum akhirnya mengecup hidung mancung Jingga sekilas, tidak peduli ada Pak Bayu atau beberapa guru Rakha. “Kamu nggak salah, yang kamu omongin bener adanya dan itu fakta. Aku nggak sakit hati akan hal itu, Ga. Tapi lain kali, kalau itu bukan aku— tolong disaring kalimatnya, ya?”
Perempuan berhijab hitam itu mengangguk kecil, memeluk daksa prianya erat seolah tidak ingin lepas. “Nan, aku nggak mau Rakha kenapa-napa ....”
“Ga, nggak ada yang mau Rakha kenapa-napa, dan Rakha emang nggak akan kenapa-napa. Percaya sama aku, ya?” Katanya meyakinkan sang istri, membelai lembut pipinya sambil tersenyum menenangkan. “Mas Biru itu Ayahnya Rakha, dia nggak akan apa-apain Rakha, Ga.”
“Nan, Mas Biru bahagia sama Amel, kan?”
Kalimat tanya itu membuat Afnan mematung di tempatnya. Mengingat kejadian dua bulan lalu saat ia sedang berkunjung ke Rumah Bundanya Biru untuk menjemput Rakha. Di sana Amel sedang bertengkar hebat dengan Biru—bahkan sampai perempuan itu menodong suaminya dengan pisau. “Pasti, Ga. Mereka pasti bahagia.”
“Ga, kebahagiaan orang itu bukan tanggung jawab kamu. Kecuali kebahagiaan Rakha dan kamu, itu jadi tanggung jawabku.” Tangannya terangkat untuk membenahi kerudung Jingga, mengelus kepala perempuan itu penuh kasih. “Sekarang telepon Bundanya Mas Biru, ya? Tanya rumah Mas Biru yang di Bogor itu alamatnya di mana. Kita ke sana sama Pak Bayu.”
“Kamu nggak mau ganti baju atau istirahat dulu? Canada Indonesia itu bukan satu atau dua jam, Nan.”
Afnan terkekeh, “Rakha lebih berharga dari pada rasa capek aku, sayang. Ayo, telepon Bundanya Mas Biru.”
Entah kenapa sejak memutuskan untuk mengikat janji dengan Afnan, Jingga merasa lebih didahulukan. Jingga merasa tidak ada wanita beruntung selain dirinya. Afnan bahkan tidak pernah menghilangkan rasa untuk Jingga selama mereka duduk di bangku Sekolah Menengah.