Bandara Kedatangan.

Biru menarik kurvanya lebar, manik mata tenggelam bahagia saat mendapati wanitanya sedang mengarahkan pandang ke sana-kemari untuk mencari dirinya.

Ketemu!

Ia tersenyum semakin lebar ketika netra yang lebih indah dari pada langit sore itu menatapnya lembut. “Sini.”

Belum ada sahutan dari si pemilik mata kesukaan Biru. Sedang pria itu sudah mengayunkan kakinya untuk mendekat. Dilepasnya tas karton itu di dekat kaki, lalu kuasa terangkat untuk mendekap daksa yang ia rindukan. Lalu segera ia kecup dahi itu cukup lama membuat beberapa orang di sekeliling memperhatikan dan memaklumi.

“Kangen banget?” Pelan-pelan Biru melepaskan peluknya, menatap wajah yang sedikit memerah itu. Seketika senyum manisnya hilang seolah dibawa pergi oleh seseorang. “Habis nangis?”

Wanitanya menggelengkan kepala singkat, tentu saja berbohong pada pria berkemeja putih itu. “Enggak. Tadi Jingga ketiduran aja di mobil. Kalau nggak percaya, coba aja tanya Pak Ali.”

“Mas percaya kamu tidur di mobil. Tapi sebelum tidur pasti nangis.” Biru menggeser sedikit daksanya, menatap Pak Ali yang berdiri tidak jauh di belakang Jingga. “Ya kan, Pak?”

Pria paruh baya berbaju hitam itu mengangguk dan menunduk. Sedang Biru kembali mengambil tas karton di dekat kaki—memberikan seluruhnya pada sang belahan jiwa. “Isinya mukenah sama Al-Qur'an.”

Kuasa milik Jingga menerima tas karton itu, sedikit mengintip isinya dengan senyum manis. Netranya kembali menatap dalam milik Biru seolah sedang siap-siap kalau ada sesuatu yang terjadi ke depannya.

“Ada apa?” Tanya Biru dengan kuasa yang terangkat untuk merapikan hijab yang digunakan istrinya.

Entah kenapa, tapi setelah Bunda mengatakan apa keinginannya—yang tidak sengaja didengar oleh Jingga— perempuan itu jadi lebih murung di setiap ia menatap Biru. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi kebanyakan manusia dituntut untuk jadi seperti itu.

Perempuan itu menggeleng, “Nggak. Nggak apa-apa. Yuk pulang!” Ajaknya sambil menyelipkan jemari di antara ruas milik suaminya.

Ia tahu, tahu dengan jelas segala kekhawatiran yang ada di pikiran perempuannya. Biru juga tahu kenapa Jingga menutupi segala yang ia rasa seolah-olah perasaannya itu adalah beban bagi orang lain. Dengan itu, Biru pelan-pelan menuntut jawaban pada Semesta karena ia rasa tidak ada yang salah dari pernikahannya.

“Pernikahan itu suci, Biru.” Kata Ayah empat tahun lalu saat mereka sedang duduk berdua, menikmati pisang goreng buatan Bunda.

“Ga,” panggil Biru yang membuat Jingga mengalihkan pandang dari jendela dan menatapnya penuh tanya. Biru tertawa kecil di saat yang bersamaan, Jingga memang benar-benar diciptakan dengan sangat hati-hati oleh Sang Pencipta. “Pindah ke Kairo, ya?”

Dahinya mengerut, “Siapa, Mas?”

“Ya kita, lah. Mas sama kamu.” Katanya. Kuasa itu terangkat untuk mendekap hangat daksa wanitanya.

Jingga tertawa kecil, menatap Biru dari tempatnya. Salah satu hal yang menjadi kesukaan Jingga akhir-akhir ini adalah menatap wajah suaminya dari jawab. Hidung, bibir, mata—dan semuanya terlihat jauh lebih indah. “Jauh banget. Di sini aja, lah, Mas. Sayang juga kamu baru beli rumah di Kemang, kan?”

“Itu bisa dikontrakkan atau dijual, Ga.” Pelan-pelan ia mengelus bahu kanan Jingga dengan lembut.

Jingga menegakkan tubuhnya, menatap sang suami tidak percaya. “Hadiah pernikahan katamu, kan? Mau dijual? Yang bener aja, Mas, ah. Ngaco.”

Biru diam. Meredam seluruh alasannya untuk mengajak istrinya pindah ke negeri orang. Ini masalah rumah tangganya, dan ia tidak mau kalau Pak Ali selaku supir pribadi Jingga mendengar seluruh percakapannya.

“Biar handle pusat lebih enak ya, Mas?” Jingga merendahkan suara dari sebelumnya, karena tanpa sadar tadi ia berbicara dengan nada tinggi kepada suaminya. “Jingga .... ikut kemanapun Mas Biru pergi. Mas Biru itu Imam Jingga. Apapun keputusan Mas Biru, Insya Allah Jingga terima.”

Kuasanya lagi-lagi terangkat untuk merengkuh daksa kecil Jingga, mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Biru tidak tau bagaimana rasanya menjadi perempuan itu, tapi di sisi lain iapun merasa gagal dalam menjaga istrinya dari kalimat-kalimat yang seharusnya tidak didengar. Diam-diam ia menangis dalam hati, merasa gagal atas semua yang terjadi dalam hidup istrinya. Janji enam bulan lalu terasa semakin berat hari ini—dan mungkin pada hari selanjutnya.

Bukan. Bukan karena Biru telah menghianati janjinya pada Ayah Jingga di hari pernikahan. Tapi karena Bunda yang justru sibuk mencari hal-hal yang tidak perlu dicari. Di sisi lain, Biru tidak ingin melakukan hal yang Bunda inginkan. Tapi di sisi yang lain lagi, Biru tidak boleh menentang kalimat Bunda karena surganya ada di sana.

“Mas,” Jingga meletakkan dirinya di samping Biru yang baru saja selesai mandi. “Jingga mau ngomong, boleh?”

Biru mengangguk ragu, jantungnya tidak bisa ia kendalikan terlebih saat netranya menatap sang istri. “Ngomong apa, Dek?”

Perempuan itu menundukkan kepalanya. “Jingga pernah menolak permintaan Mas Biru?”

Biru menggeleng.

“Jingga pernah melawan Mas Biru?”

Lagi-lagi ia menggeleng.

“Jingga .... boleh minta sesuatu?”

Biru mengangguk walaupun ragu. Kuasanya terangkat untuk mengusap kepala sang istri yang bahkan detik ini masih menundukkan kepalanya. Namun dengan sejuta tekad yang sudah bulat, Jingga menegakkan tubuhnya—menatap Biru penuh harap.

“Jingga nggak pernah menentang Mas Biru dari awal kita menikah, Mas.”

“Mas Biru minta kita pindah ke Kemang, Jingga ikut. Mas Biru mau bulan madu di Kairo, Jingga ikut. Mas Biru mau bangun cabang di Surabaya, Jingga iyakan. Jingga .... nggak pernah menuntut Mas Biru untuk jadi sempurna. Tapi kali ini tolong turuti mau Bunda, ya?”

Biru bangkit dari posisinya, menatap Jingga yang diam-diam sudah menangis dengan suara bergetar. “Ga, enggak. Mas nggak akan ngelakuin hal gila itu. Kita coba terus, ya? Pernikahan kita masih terbilang muda dan kamu udah mau menyerah, Ga?”

“Bukan menyerah, Mas. Jingga nggak akan ninggalin Mas Biru. Kita nggak akan pisah, Mas. Cuma kita harus kasih ruang untuk satu orang lagi demi menyempurnakan segalanya.” Jingga menatap suaminya penuh harap karena demi apapun ini adalah satu dari jutaan hal gila yang selalu ia pikirkan.

“Jingga Insya Allah ikhlas kalau harus berbagi Mas Biru untuk seseorang yang menyempurnakan Mas Biru.” Satu bulir air mata itu kembali lolos membasahi pipinya membuat hati Biru tersayat begitu saja.

“Ga, ini bakalan nyakitin kamu lebih jauh lagi. Kita nggak perlu buru-buru, sayang. Dengerin Mas, percaya sama Mas, ya?”

Ia sudah tidak tau lagi apa yang harus dipercaya dari kalimat Biru di saat Bunda masih dengan cepat mengharapkan kehadirkan sebuah keturunan. Sudah. Rasanya sudah cukup batinnya tersiksa selama ini lewat kalimat-kalimat menyakitkan milik Bunda.

“Nikah sama Amel ya, Mas?”