Mas, apa hukum poligami?

“Sekarang bobo, yuk? Nanti tahajudan Mas yang bangunin.” Biru membawa isterinya ke kasur, lalu menyelimuti Jingga dengan selimut tebalnya. Diciumnya dahi itu dengan tulus membuat sang istri tersenyum bahagia.

Do'anya bukan lagi meminta kebahagiaan yang lebih, tapi pertahankan saja bahagia yang ini. Jingga bukan manusia yang suka meminta lebih, tapi ia lebih memilih untuk bertahan pada situasi yang selalu membuatnya merasa cukup dan dicintai.

Terlebih oleh suaminya,

Biru Putra Danu.

Jingga menoleh, “Mas lupa kalau Jingga lagi halangan?”

“Astaghfirullah.” Biru mengusap wajahnya sendiri lalu tersenyum manis. “Yaudah sini mana perutnya, dielus dulu biar nggak sakit. Kata Bunda, halangan tuh sakit banget, ya?”

Jingga tersenyum, lalu merapatkan dirinya sendiri ke tubuh Biru. “Bunda kasih tau apalagi ke Mas Biru?”

“Kasih tau tentang?”

Dia terkekeh, “sulitnya jadi perempuan.”

Pria itu mengelus punggung istrinya dengan lembut lalu mengecup puncak kepalanya berkali-kali. “Melahirkan, mengandung dan haid itu sakitnya bukan main kata Bunda. Dan dari sana Mas mulai pelan-pelan untuk nggak menyakiti hati perempuan—apalagi Bunda, Putri sama kamu.”

“Iya?”

Biru mengangguk mantap sambil terus mengelus punggung Jingga dan sesekali turin ke perut bagian belakang. “He'em, coba—apa pernah Mas nyakitin kamu, Ga?”

Jingga menggeleng samar, “enggak ....”

“Kalau untuk hari ini, maaf, ya? Tapi sebenernya Mas tadi nggak merasa lagi marah sama kamu. Mas cuma—”

“Mas cuma nggak mau Jingga nggak sopan sama orang lain, terlebih orang yang kita kenal, kan?” Jingga mengulum senyum lalu tangannya terangkat untuk mengelus pipi suaminya.

Pria berpiyama abu itu mengangguk, “Mas sayang banget sama Jingga soalnya.”

Pelan-pelan Jinga mulai menjauhkan tubuhnya, menatap netra kecokelatan itu dalam. “Mas, hukum poligami itu apa?”

“Kok nanyanya gitu?” Biru mengerinyitkan alisnya ke dalam. Tanannya terangkat untuk menyelipkan anak rambut ke daun telinga istrinya. “Islam itu nggak melarang poligami secara mutlak—haram. Nggak juga menghalalkan poligami secaa mutlak, Ga. Poligami itu .... boleh dilakukan kalau istri pertamanya ikhlas dan suaminya dapat berlaku adil—adil dalam hal apapun lh, ya. Emang kenapa, sih?”

Gadis itu menipiskn bibirnya lalu menggeleng kecil, “nggak, nggak apa-apa. Mas kenapa kita nggak— ke Turki aja?”

“Apa? Bulan madu?”

Jingga mengangguk ragu. Ia tidak mau menentang keinginan suaminya, tapi di sisi lain ada perasaan mengganjal di hatinya.

“Masih nggak mau ke Kairo, ya?”

“Bukan, bukan gitu ....”

“Terus?”

Jingga menggigit bibir dalamnya. Ingin jujur, tapi rasanya tidak mungkin. Lagi pula ia sudah memutusakan untuk mempercayai Biru sepenuhnya, kan?

“Nggak deh. Udah, yuk! Bobo aja.”

Biru mengangguk, “baca do'a dulu.”

“Nanti bangunin Jingga kalau Mas subuhan, ya. Mau siapin sarapan buat yang lain juga.” Lalu diakhiri kecupan manis di pipi kiri Biru setelahnya.