Memaklumi perubahan.

Jingga menurunkan tangannya lagi, mengurungkan niat untuk mengetuk pintu kamar Bunda karena dari dalam terdengar suara pertikaian kecil antara Bunda dan Putri. Wanita bergamis cokelat itu meremat tangannya sendiri ketika namanya kembali dibawa-bawa dalam pertikaian di dalam. Hati Jingga terasa sakit saat tahu kalau Putri bahkan memerangi Bunda sendiri hanya karenanya.

“Bun, Bunda sadar apa yang Bunda bilang saat Amel ada di sini tadi?” Putri terdengar sedikit meninggikan suara dari sebelumnya membuat Jingga kembali dihadiahi rasa bersalah. “Bunda tahu apa yang dirasain Mbak Jingga saat Bunda bilang betapa pantasnya Amel jadi istri Mas Biru?”

“Bunda tahu gimana Mbak Jingga meremas tangannya sendiri di bawah meja makan? Putri yang lihat aja sakit, Bun. Gimana kalau Mas Biru sampai tahu hal ini? Apa Bunda siap ditinggal Mas Biru lagi pergi ke Kairo bareng Mbak Jingga?” Di sini suara Putri mulai melemah diiringi getaran di setiap kalimat yang membuat Jingga meremat dadanya sendiri.

“Bunda .... apa Bunda ngerasain gimana sakitnya Mbak Jingga disaat Bunda buka aibnya di depan Amel dan Bundanya? Putri bener-bener nggak habis pikir sama Bunda. Putri kecewa sama Bunda.”

“Kenapa Bunda menyetujui Mas Biru menikah sama Mbak Jingga kalau pada akhirnya Bunda sendiri memerangi Mbak Jingga? Kenapa Bunda berubah jadi sosok yang kaya gini?”

“Karena Jingga cacat, Putri. Jingga nggak bisa memiliki keturunan dan Bunda tahu akan hal itu. Bunda nggak mau selamanya Biru hidup dalam kesepian. Walau ada Jingga di sisinya, setidaknya Biru harus memiliki keturunan—begitu pula sama kamu nantinya.” Bunda meninggikan suaranya di dalam sana sambil melempar amplop cokelat yang isinya adalah hasil dari cek minggu lalu.

Di dalam sana Putri membaca hasil yang dituliskan dengan jelas kalau Jingga memang selamanya tidak bisa memiliki keturunan. Tapi Dokter bukanlah Tuhan. Lagian ini belum ada satu tahun pernikahan Jingga dengan Biru. Kenapa Bunda buru-buru sekali, sih?

“Dokter itu bukan Allah, Bun. Kenapa Bunda harus percaya sama ciptaan Allah, sih? Putri yakin kalau Mbak Jingga bisa kasih Mas Biru keturunan—cepat atau lambat.” Putri bangkit dari duduk, hendak meninggalkan Bunda seorang diri di ruang persegi penuh sesak itu.

“Biru harus menikah sama Amel gimanapun caranya.” Kalimat Bunda membuat Putri menghentikan langkah, menatap wanita kesayangannya itu tidak percaya.

Memang satu minggu lalu Bunda mengajak Jingga ke rumah sakit untuk periksa, dan katanya Bunda akan mengambil hasilnya sendiri—padahal Dokter bisa saja menjelaskan hasilnya saat itu juga. Jingga tahu, karena Jingga sendiri adalah Dokter.

“Jadi .... hasilnya udah diambil Bunda?”

“Hasil apa, Ga?”

Jingga mengapus seluruh air matanya saat telinga mendengar suara Ayah yang mungkin sudsh berdiri beberapa meter di belakang. Ia memutar balik tubuh sambil tersenyum kecil ke arah Ayah mertuanya. “Nggak ada hasil apa-apa, Yah.”

“Kamu nangis?” Ayah berjalan mendekat, menarik tangan menantunya untuk duduk di ruang tengah. “Soal makan malam tadi, ya? Maafin Bunda ya, Ga. Ayah juga nggak tahu kenapa setelah kehadiran Amel di Jakarta bikin Bunda jadi kaya gini.”

Jingga menunduk dalam, memilih untuk mendengarkan kalimat yang keluar dari bibir Ayah.

“Dulu Bunda orang yang paling bahagia saat tahu kalau Amel dekat sama Biru.” Ayah tertawa kecil mengingat saat-saat bagaimana reaksi bahagia Bunda saat tahu kalau putranya sedang dekat dengan seorang gadis. “Tapi Bunda juga orang yang paling menentang pernikahan kamu dan Biru. Waktu itu Ayah bilang ke Bunda, Biru sudah besae dan perasaan anak itu bukan lagi tanggung jawab Ayah dan Bunda. Biru berhak menentukan siapa pilihannya. Dan kamu tau, Ga?”

Ayah menarik kurva seluas himalaya. “Seberapa keras manusia menentang tapi kalau Allah sudah berkehendak dan menentukan, manusia bisa apa?” Kuasa Ayah terangkat untuk mengelus puncak kepala Jingga lembut. “Percaya sama Ayah, nggak ada yang lebih pantas dari pada Jingga untuk mendampimgi putra Ayah.”

Jingga mengangguk kecil walau dalam hatinya ia benar-benar tersayat. Bukan Ayah, bukan Jingga orangnya. Jingga nggak bisa kasih keturunan untuk Mas Biru dan Bunda benar .... Mas Biru perlu keturunan untuk menghilangkan lelahnya di kemudian hari.

Perempuan itu berdiri dari sofa, menatap Ayah sambil tersenyum kecil. “Ayah, Jingga izin untuk pulang ke rumah Ibu. Insya Allah sebisa mungkin Jingga nggak cerita ke siapapun tentang kejadian hari ini. Ayah dan yang lain nggak usah takut kalau Ayah Jingga marah, ya?”

Ayah Danu ikut berdiri, mengulurkan tangan untuk disalimi oleh menantunya. “Ayah nggak pernah takut Ayah kamu marah. Tapi Ayah takut kalau kamu marah dan meninggalkan Biru, Ga.”

Ia menggeleng walau tidak yakin pada dirinya sendiri. “Insya Allah Jingga nggak akan meninggalkan Mas Biru kalau bukan Mas Biru sendiri yang minta Jingga untuk pergi, Yah.”

“Mau Ayah antar ke rumah Ibu?” Ayah Danu berjalan menggiring Jingga ke pintu utama dengan senyum khas yang menenangkan—persis seperti milik Biru.

Jingga menggeleng lagi, “Nggak usah, Yah. Jingga sendiri aja, nggak apa-apa. Salam untuk Bunda dan Putri, ya, Yah. Assalamualaikum.”

Setelah salamnya dijawab oleh Ayah Danu, Jingga buru-buru melesat pergi dari rumah mewah keluarga itu. Telapak tangan kanannya ia gunakan untuk menutup mulutnya guna meredam isak tangis agar tidak mencuri perhatian orang-orang yang berlalu-lalang. Sedang tangan satunya ia gunakan untuk merogoh saku gamis dan mengetik balasan pesan untuk Afnan—yang kebetulan menghubunginya duluan.

Butuh waktu lima belas menit untuk Jingga duduk di halte dan menunggu Afnan. Dan di sinilah ia sekarang, di dalam mobil Afnan tanpa suara karena tidak ada yang berani memulai. Jingga sibuk menangis sambil menatap ke luar jendela, sedang Afnan berusaha fokus pada strinya.

“Ga, kamu beneran nggak apa-apa?”

Jingga menoleh, “Nan, setiap orang itu bisa berubah, ya?”

“Ga, setiap orang emang bisa berubah. Tapi yang pantes dimaklumi itu berubah jadi lebih baik, bukan berubah jadi buruk.” Afnan mengalihkan seluruh pandangannya ke Jingga karena lamou alu lintas berubah menjadi merah. Diam-diam.ia mengangkat kurvanya, Jingga masih sama—tidak ada yang berubah. “Kamu beneran nggak apa-apa? Bisa cerita ke saya kalau mau.”

Dia menggeleng singkat. Untuk masalah ini Jingga tidak akan mengumbar-umbar, terlebih ini adalah salah satu aibnya. Perempuan itu berusaha sebisa mungkin untuk menjadi dirinya sendiri tapi tidak mengumbar aib juga.

“Mas Biru ada apa ke Surabaya, Ga?”

Perempuan itu membenarkan posisi duduknya. “Lagi mau buka cabang resto ke-empat di sana.”

“Wih, pusat restonya di mana, sih?”

“Kairo masih jadi pusat sih sejauh ini. Mas Biru sering bolak-balik ke sana, kalau ada kesempatan aku ikut.”

Afnan mengangguk mengerti, ia berusaha sebisa mungkin memahami perasaannya sekarang yang sudah mulai bisa ia kembalikan. “Besok saya berangkat ke turki, Ga.”

Ia menoleh, “Ngapain?”

“Ngambil program S2 di sana. Kalau kata Bunda sekalian cari yang nggak ada di Indonesia.” Lalu diselingi kekehan pada akhir kata yang membuat Jingga hanyut dalam tawa juga.

Obrolan-obrolan ringan mengiringi mereka sampai tidak terasa mobil Afnan sudah berhenti tepat di depan rumah Jingga. Perempuan berhijab itu sdsh menawarkan untuk mampir namun dengan halus Afnan menolaknya dengan dalih ingin membeli beberapa kebutuhan yang dipersiapkan.