Alhamdulillah Milik.
“Jingga.”
Gadis itu menyunggingkan senyum manis saat melihat pantulan wajahnya di cermin, dan sekarang ada Ayah di belakang—menggantikan posisi si penata rias. Kedua sudut bibir Ayah terangkat dan membuat Jingga berdiri dari kursinya.
“Nak, terima kasih udah mau jadi anak Ayah. Terima kasih udah nggak pernah marah sama Ayah walau lebih sering mendahulukan Renan. Terima kasih.” Seketika Ayah membawa Jingga ke dalam peluknya yang menghangatkan, membuat air mata turun begitu saja dari pelupuknya.
Hari ini, hari terakhir Jingga menjadi anak gadisnya. Hari ini, hari terakhir Ayah menjadi peran penting di hidup Jingga. Sebentar lagi semuanya akan berganti dan diambil alih oleh seseorang yang sepenuhnya sudah dipercaya oleh Ayah. Keduanya diam, membiarkan keheningan yang menyampaikan pesan masing-masing.
“Ayah, makasih juga udah mau ngerawat Jingga. Dari kecil—dari sebelum Jingga ngerti apa-apa. Tapi Ayah sama Ibu nggak pernah lelah untuk Jingga. Sampai sebesar ini, sampai Jingga jadi Dokterpun Ayah sama Ibu masiu memperlakukan Jingga spesial. Jingga ....” Gadis itu menenggelamkan dirinya di pelukan sang Ayah. “Jingga .... sayang Ayah.”
Diam-diam ia tergelak sendiri karena pada akhirnya kalimat yang sudah lama sekali tidak keluar dari bibirnya lolos begitu saja hari ini. Semua beban di pundak dan hati rasanya terangkat begitu saja membuat ia kembali memejamkan mata.
“Loh kok pada nangis? Ntar aja nangis-nangisannya, acara udah mau dimulai.” Ibu datang dengan satu nampan berisi dua gelas jus jeruk untuknya dan Jingga.
Pelan-pelan Ayah melepaskan pelukannya untuk putri yang akan selalu kecil di matanya itu. Jemari kekarnya menghapus jejak air mata Jingga dengan lembut. “Udah. Ayah mau ke depan dulu, ya. Biar Biru ijab dulu terus Ayah jemput kamu ke sini.”
Jingga mengangguk, lalu berjalan pelan ke arah Ibu setelah Ayah menutup pintu ruangan. Dipeluknya Ibu seperti anak kecil yang sedang mengadu kalau ia baru saja akan mengalami hal luar biasa yang tidak pernah terduga. Senyum cantik itu masih terlukis di antara keduanya. Namun hening, membiarkan udara di ruangan yang menyampaikan pesan dari hati masing-masing.
Ibu bukan orang seperti Ayah yang mampu mengutarakan isi hatinya dengan lantang. Namun Ibu adalah tipikal wanita yang lebih senang menunjukkan perasaan lewat sebuah perlakuan hangat. Itu sebabnya Ayah menyukai Ibu, dari dulu hingga menua.
“Ga, apapun yang Biru ucapkan, tolong dituruti semampu kamu, ya? Kamu itu istri. Tau tugasmu apa, kan?” Ibu mengelus punggung Jingga penuh kasih seolah ia akan kehilangan harta yang paling berharga dalam hidupnya.
Gadis itu mengangguk, kemudian melepaskan pelukan Ibu pelan-pelan. “Menuruti semua ucapan suami kan, Bu? Insya Allah Jingga turuti semua apa yang menjadi kemauan Mas Biru.”
“Apapun yang menjadi kemauan Biru, kecuali terluka, ya?”
Jingga menggeleng, “Mas Biru nggak akan melukai Jingga, Bu.”
Ibu mengangguk, percaya sepenuhnya pada sang putri. Keduanya larut dalam orbolan ringan yang menenangkan, bahkan sesekali tertawa ketika mengingat hal-hal sederhana yang sering dilakukan oleh putrinya itu di masa lalu. Sampai akhirnya Ayah datang untuk membawa Jingga karena Biru sudah selesai mengucapkan janji suci yang ia mulai dengan Basmalah.
Pelan-pelan Ayah menuntun Jingga untuk turun ke inti gedung. Matanya bertemu pada pria yang sudah berdiri di pintu utama gedung lengkap dengan pakaian putihnya. Dia—Biru Putra terlihat dua kali lebih tampan dari pada biasanya dengan balutan pakaian berwarna putih dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Untuk sesaat Jingga terpaku, jantungnya berdebar kecang seolah tidak ingin dihentikan. Dia sendiri masih tidak pernah menyangka kalau orang yang dulu hanya sekedar putra dari teman Ayah dan menjadi guru les kini berdiri di hadapannya, meminangnya di hari yang sudah mereka tentukan.
Perlahan Biru yang didampingi oleh Ayah juga Bundanya berjalan pelan menghampiri Ayah juga Jingga. Seluruh sudut bibir di ruangan itu terangkat penuh, bersumpah atas apapun kalau mereka adalah pasangan yang sangat cocok.
Selanjutnya, terdengar kalimat-kalimat instruksi dari pembawa acara yang menuntun hal-hal adat yang sudah ditentukan.
Hari ini, resmi keduanya menjadi pasangan yang sah di mata hukum dan agama. Tidak ada yang bisa memisahkan, kecuali sang kuasa.