Jatuh cinta itu apa, sih, Ka?

Baru saja Sagita memejamkan mata barang tiga menit, tapi suara pintu kamarnya yang dibuka dari luar itu membuatnya kembali menarik napas. Di hadapannya sekarang sudah berdiri Arkana yang masih menggunakan wardrobe dengan surai yang acak-acakan.

“Beneran mau tidur?”

Suara berat itu mengintrupsi Sagita untuk bangun dari posisinya, menatap Arkana dengan malas. “Kamu ngapain ke sini?”

“Nemenin kamu.”

Sagita mengerinyit, “aku bukan anak kecil.”

Mendengar helaan napas panjang dari mulut Sagita membuat pria berwardrobe itu berjalan lalu naik ke atas kasur—masuk ke dalam selimut yang sama dengan Sagita. “Come.”

Entah kenapa, Sagita langsung menuruti perintah pria itu dan menidurkan dirinya di atas lengan Arkana.

Hows your day, baby?” Jemari Arkana bergerak untuk merapikan rambut wanita di pelukannya. “Mau ada yang kamu ceritain? Tadi ngapain aja di Butik?”

Sagita menengadahkan wajahnya, “di Butik cobain gaun aja. Tapi tadi .... tentang anak kecil itu, Ka.”

“Kenapa anak kecil itu?”

Jemari lentiknya memainkan tali wardrobe yang digunakan oleh Arkana. Ia memejamkan matanya sebentar. “Jadi Kakak itu berat ya, Ka?”

”.... Tapi mereka yang punya adik mungkin nggak tau gimana rasanya jadi anak tunggal. Satu-satunya harapan keluarga dan bertanggung jawab atas kesuksesan.” Air mata itu berhasil tumpah dari pelupuknya, membasahi pipi bagian kanan Sagita.

Mungkin Sagita terlihat tidak peduli dengan apa yang terjadi pada sekitarnya, tapi kalau apa yang terjadi pada keluarga dan dirinya—ia akan menjadi wanita yang lemah.

“Begini,” Arkana sedikit menjauhkan tubuh Sagita darinya lalu menatap netra kecokelatan yang terlihat sangat cantik walau di bawah cahaya yang minim. “Mau kamu anak pertama, kedua, ketiga, bontot ataupun tunggal—semuanya pasti punya beban. Semuanya punya pikiran, semuanya pasti mikirin apa yang menjadi masa depannya, Git.”

“Tapi aku sendiri, Ka. Dari kecil sampai sebesar ini aku sendiri.” Sagita bangun dari tempat, lalu duduk membelakangi Arkana yang masih setia pada posisinya. “Kamu bahkan nggak tau kalau Mama ....”

”.... Mama?” Arkana ikut bangun dari posisi, lalu beranjak untuk duduk di samping Sagita.

Gadis itu menggigit bibir bawah, “Mama mengalami stress berat saat tau perselingkuhan Papa itu karena Papa nggak siap punya anak. Sekarang kamu tau kenapa Papa nggak mau punya anak setelah aku walau sama isterinya yang baru, kan?”

“Dan .... sekarang kamu tau kenapa aku nggak mau menikah walau umurku udah matang, kan?”

“Selain karena takut gagal .... Aku juga takut suamiku ninggalin aku, Ka. Aku takut sama segala kemungkinan yang Semesta kasih ke aku.” Sagita menipiskan bibirnya, menatap Arkana lalu terkekeh sumbang. “Berat, Ka ....”

“Git, gimana kamu bisa takut gagal di saat kamu mencobapun belum?”

Sagita tertawa, “di saat aku nyoba dan gagal—apa yang harus aku lakuin? Kehilangan lagi?”

Mata Arkana tidak sedikitpun lepas dari Sagita yang kini berjalan ke arah laci untuk mengambil sekotak nikotin dan pematik. Pria itu menipiskan bibir, lalu berjalan kecil mengikuti Sagita ke balkon.

“Kenapa harus nikotin?”

Sagita menoleh, membuang asap dari bibirnya ke sembarang arah. “Aku biasanya kalau lagi stress mabuk—tapi besok harus ada meeting sama client eropa, kan? Nggak mungkin aku ninggalin kantor lagi.”

“Harus banget nikotin?”

“Iya, Arka.”

Dengan perlahan Arkana mengambil benda panjang yang diapit di antara dua jari Sagita lalu mematikan dan membuangnya.

“Ka?!”

Tatapan protes Sagita membuat Arkana memajukan badannya—ingin mencium gadis itu. Tapi dengan cepat Sagita langsung memundurkan dan memalingkan wajah ke kiri.

“Git?”

“Jatuh cinta itu apa, sih, Ka?”

Arkana tersenyum, menyandarkan tubuhnya pada besi balkon dan membawa Sagita untuk berdiri hanya beberapa senti di hadapan. “Jatuh cinta itu, apa?”

“Bohong kalau cinta itu cuma tentang rasa nyaman, aman dan kasih sayang, Git.” Dia menarik sebelah sudut bibir lalu melayangkan telunjuknya di dada Sagita. “If you falling in love, you feel it. Semuanya cuma tentang rasa. Kamu ngerasa beda saat jatuh cinta, Git. Selain ngerasa nyaman atau aman, kamu juga ngerasa kalau orang yang bikin kamu jatuh cinta itu cerminan da—”

Arkana tidak dapat melanjutkan kalimatnya di saat Sagita dengan cepat meraup bibirnya. Di sela-sela ciuman itu Arkana tersenyum puas, lalu dengan cepat ia membawa tangan Sagita untuk melingkar di lehernya.

I'm in love with you ....” Sagita membuka matanya, menatap netra Arkana dalam. “Kamu cerminana aku, Ka. Tanpa sadar kalau selama ini aku bergantung sama kamu, aku butuh kamu ....”

“Aku di sini, Git. Nggak akan ke mana-mana. Aku di sini, sama kamu.” Arkana membawa tubuh bosnya itu ke dalam pelukan. Lalu setelah dua menit, ia kembali menjauhkan tubuhnya—menatap netra Sagita dalam. “Let's try it, Git. Nikah sama aku. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian. Cukup. Cukup keluarga kamu, Papa kamu yang jadi kesedihan pertama dan terakhir kamu. Aku janjiin bahagia buat kamu.”

Sagita menundukkan kepalanya. “Aku .... nggak bisa janjiin bahagia buat kamu, Ka. Aku nggak bisa janjiin bahagia di saat aku sendiri nggak tau apa itu ba—”

ssst” Arkana meletakkan telunjuknya di depan bibir merah muda Sagita. Ia menggeleng dan merendahkan suaranya, “mastiin kamu hidup dengan baik adalah bahagiaku, Git.”