Sepotong kisah Adigama.
Ini bukan cerita yang panjang, tapi hanya beberapa kalimat yang kalau disatukan menjadi sebuah paragraf menyakitkan. Tentang Adigama yang selalu merindukan gadis penyuka pantai.
Ini juga tentang Adigama yang telah lama menjerit untuk Semesta.
Mau dimulai?
Mari kita mulai,
“Adigama!”
Panggilan dari gadis berambut kecokelatan itu membuat langkah Adigama berhenti di ujung koridor yang sepi. Maklum saja, ini dekat perpustakaan fakultas kedokteran yang beberapa bulan ini menjadi jalan kesukaannya.
Ya, bagaimana bukan kesukaan kalau hanya untuk ke perpustakaan saja hanya jalan ini yang bisa dia pijak? Sebab jalan dari utara sedang ada pembangunan di lahan kosongnya, entah untuk apa.
“Ya. Kenapa?” Adigama membenarkan letak kacamatanya, lalu mengusahakan sebuah senyum tipis untuk teman satu angkatannya ini.
Adigama selalu ingat apa kata Lintang, “Ga, mau lagi seneng atau sedih sekalipun kamu harus tetep senyum, ya? Senyum kamu manis soalnya.“
Senjani tersenyum tipis. “Nanda bilang, lo juga diundang ke acaranya dia nanti malem, ya?”
Keningnya mengerinyit— kembali mengingat-ingat apa yang ia lupakan di hari ini. “Oh, ulang tahun, ya?”
Gadis itu mengangguk, lalu membenarkan letak totebag yang agak merosot di lengan kirinya. “Iya. Gue .... boleh nebeng, nggak?”
Alisnya naik sebelah untuk mempertimbangkan jawaban yang akan dia berikan kepada gadis di sampingnya ini.
“Kalo nggak boleh juga nggak apa-apa, serius. Nanti gue berangkat bareng Haidar aj—”
“Berangkat bareng gue. Jam empat gue jemput.” Potongnya cepat, lalu segera meningalkan Senjani yang masih mematung di tempat.
Adigama, seorang pria dingin yang ia idam-idamkan akhirnya mau memberikan tumpangan? Wow. Sebuah pencapaian luar biasa untuk Senjani.
Padahal, bisa saja Senjani berangkat sendiri menggunakan mobil yang dua bulan lalu baru saja dibelikan oleh Ayahnya. Tapi kesempatan untuk duduk di di mobil yang sama bersama Adigama kesempatan yang sama sekali tidak mau ia sia-siakan.
“Gama!”
Langkah Adigama kembali terhenti saat suara Senjani mengintrupsi. “Apa?”
“Kenapa jam empat? Kan acaranya jam delapan.” Gadis itu berjalan cepat untuk mengikuti Adigama yang sudah masuk ke dalam perpustakaan.
Adigama menoleh, “temenin gue ketemu orang dulu.”