Astaghfirullah, Bunda.

Kedua sudut bibir Jingga terangkat ketika telinganya mendapati suara mobil yang berhenti tepat di halaman rumahnya. Ia beranjak dari duduknya lalu menghampiri Ibu yang sedang membuat kopi untuk Ayah. “Bu, itu kayanya Mas Biru sama Bunda.”

Ibu menoleh dan mendapati putrinya dengan gamis berwarna cokelat muda dan hijab senada. “Yaudah, ayo dibukain pintunya.” Katanya lalu berlari ke arah kamar Renan. “Ren, Renan! Itu Mas Biru di depan kayanya bawa undangan. Tolong dibantuin dulu.”

“Iya, Bu!” Lalu disusul Renan yang keluar dari kamar dengan kaus hitam polosnya.

Sedangkan Ibu dan Jingga sudah lebih dulu berjalan ke luar, membuka pintu untuk Biru dan Bundanya. Disapanya wanita paruh baya itu dengan menyalimi tangan dengan sopan oleh Jingga si calon menantu. Lalu ia hanya melempar senyum tipis untuk Biru yang sudah menahan tawanya di belakang Bunda.

“Ayo, ayo masuk dulu.” Ibu mengambil alih satu kantung kecil yang tiga detik lalu diserahkan Bunda. “Jingga, ini diajak ngobrol dulu Bunda sama Birunya. Ibu mau nyiapin makan malam.”

Putri semata wayang Ayah dan Ibu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Ia beralih untuk duduk di samping Bunda yang malam ini terlihat sangat cantik dengan balutan gamis hitam dipadukan hijab berwarna emas.

“Bunda capek, ya? Maafin Jingga karena nggak bisa ikut ambil undangan. Soalnya Jingga fitting siang ini.” Katanya sambil memijat lembut tangan Bunda.

“Nggak apa-apa, cah ayu. Jingga fitting juga? Kok nggak bareng sama Biru?” Bunda melirik putra yang justru sedang senyum-senyum sendiri di tempatnya.

“MAS BIRU! INI RENAN DISURUH ANGKAT UNDANGAN SENDIRI?” Pria yang sudah tidak lagi kecil memunculkan kepalanya dari pintu masuk, menatap nanar ke arah Biru yang langsung berdiri dan tertawa kecil.

“Tadi Jingga nggak tahu kalau Mas Biru mau fitting juga. Soalnya Mas Biru bilangnya mau ambil undangan aja sama Bunda. Jadi Jingga ke butik sama Renan.” Jelas Jingga masih dengan memijit bahu Bunda dengan tulus.

Tiba-tiba Bunda menahan pergelangan tangan Jingga, memutar balik tubuhnya sendiri sehingga menatap manik kecokelatan milik gadis itu dalam. “Jingga ... makasih, ya? Makasih udah bertahan buat nunggu Biru. Makasih udah mau jadi menantunya Bunda dan Ayah. Nanti ... kalau di tengah jalan pernikahan kalian ada masalah, sebesar apapun masalahnya tolong dengarkan Biru ya, sayang? Bunda nggak mau rumah tangga anak Bunda hancur dan Bunda juga nggak mau Jingga disakiti sama Biru. Jadi sekecil apapun masalahnya, kalau memang perlu diceritakan, tolong diceritakan, ya?”

Entah kenapa air mata itu turun membasahi pipi kanan milik Jingga. Hatinya menghangat setelah mendengar kalimat tulus dari Bunda juga tatapan dalam penuh permintaan seolah Bunda memberi tanggung jawab untuk gadis itu. Kemudian ia mengangguk di sela tangisnya.

“Bunda ... makasih udah mau nerima Jingga yang mungkin enggak begitu pantas untuk Mas Biru—tapi Bunda jangan khawatir, ya? Jingga selalu berusaha untuk memantaskan diri buat Mas Biru. Soal perceraian ... Insya Allah, Jingga nggak akan mengucapkan kalimat itu sampai Allah meminta Jingga untuk kembali ke sisinya.” Kalimat terakhir ia ucapkan kala Bunda memeluk daksanya dalam, seolah sedang menyiapkan diri untuk melepas putranya karena satu kewajiban.

“Bunda jangan khawatir tentang apa-apa, ya? Jingga nggak akan ngelarang Mas Biru untuk sering-sering berkunjung ke rumah Bunda. Jingga juga bisa pastiin kalau cintanya Mas Biru nggak akan berkurang untuk Bunda maupun Putri.” Gadis itu tahu betul kekhawatiran yang ada di dalam hati wanita paruh baya itu. Menyerahkan putra satu-satunya kepada seorang gadis yang akan menjadi istrinya itu bukan hal yang mudah, tapi Bunda harus melakukannya.

Bunda menjauhkan daksa Jingga perlahan, tangannya terangkat untuk menghapus sisa air mata itu dengan lembut lalu berakhir merapikan hijab milik gadis di hadapannya. “Cah ayu, Bunda titip Biru sama kamu, ya? Biru itu anaknya manja dan kadang egois, tapi aslinya dia sayang banget sama orang-orang di sekitarnya.”

Jingga mengangkat kedua sudut bibirnya lalu mengangguk seolah siap dengan apa yang terjadi ke depan.

“Ada apa, nih?” Biru duduk di samping kiri Bunda, lalu menatap Jingga kebingungan. “Dek, kok nangis?”

Tawa Jingga membawa Biru kembali dipenuhi tanya. “Nggak apa-apa, Mas. Bunda cuma bilang kalau Mas Biru orangnya manja.”

“Astaghfirullah, Bunda ...”

Bunda ikut tertawa, wanita itu mengelus surai legam putranya dengan lembut. “Ya emang kamu manja, kan? Bunda bisa tebak, nanti kalau kalian sudah tinggal serumah pasti Biru yang sering ndusel dan nggak mau tidur kalau nggak ada Jingga.”

“Bunda ....” Biru mengerucutkan bibirnya lucu membuat Jingga tertawa kecil.