Assalamualaikum, Mas Biru.

Jingga mengangkat kedua sudut bibir sambil menyambut dan mengucapkan kalimat salam kepada Afnan yang baru saja datang menghampiri. Ia sendiri tidak pernah mengira kalau Semesta akan mempertemukan mereka lagi di sini, Jogjakarta, belahan bumi yang lain dari sebelumnya.

“Apa kabar, Ga?” Afnan menaikkan sudut bibirnya, berusaha mengatur detak yang berada di jantungnya.

Satu hari lalu Afnan sudah bicara pada Bundanya kalau ia akan segera meminta persetujuan kepada keluarga Jingga untuk memulai ta'aruf— yang tentu saja tanpa sepengetahuan gadis di hadapannya.

“Alhamdulillah, baik, Afnan. Kamu gimana?”

Dia mengangguk, menatap kepala gadis yang masih menundukkan pandangannya. “Alhamdulillah, baik juga. Gimana, Ga?”

Jingga menengadah, “apanya?”

“Ada hal sulit apa dalam mempelajari ilmu agama?” tanyanya.

Gadis itu terkekeh, lalu menyeruput teh hangat yang lima menit lalu baru saja dipesan olehnya kepada salah satu pemilik angkringan. “Banyak, Nan. Yang paling susah itu mengubah kebiasaan dalam berbicara dan bersikap. Kamu tau dulu aku kaya apa, kan?”

Afnan menganggukkan kepala, memutar memori waktu ia pertama kali bertemu dengan gadis di depannya ini. Dulu Afnan salah satu anggota osis dan Jingga adalah salah satu murid yang menjadi langganan kena hukuman. Dari sana, ceritanya dimulai.

“Saya bangga lihat kamu yang sekarang, Ga.” Katanya.

Jingga tersenyum, masih merasakan sedikit getaran berbeda setiap Afnan mengeluarkan kalimat untuknya— terlebih kalimat puji seperti barusan. “Belum, Nan. Aku masih proses.”

“Nggak apa-apa. Manusia emang gitu kan, Ga? Hidup untuk terus berproses.” Balasnya sambil menyeruput kopi hitam yang baru saja ditaruh sama bapak si pemilik angkringan.

Tidak terasa keduanya mengobrol sampai adzan Isya. Membicarakab masa kecil mereka, mengulang kembali memori ingatan tentang apa saja yang pernah dilakukan bersama. Tentang rasa satu sama lain yang sampai pada akhirnya hanya mampu saling mengutarakan,

bukan saling mewujudkan.

“Nanti saya tunggu di sini, ya?” Afnan tersenyum, meminta izin kepada Jingga untuk masuk ke tempat wudhu khusus pria.

Jingga tersenyum kecil, rasanya masih hampir sama. Jantungnya masih berdetak dua kali lebih cepat seperti dulu kala matanya mendapati Afnan yang sedang tersenyum manis. Hari ini Jingga kembali menyadari kalau Allah bisa memungkinkan segala hal— termasuk yang tidak mungkin.

Setelah beberapa menit menjalankan sholat isya, Jingga mengambil ponsel dari dalam tasnya— memberitau Afnan kalau ia akan mengaji dulu sebentar.

Nan, kalau mau pulang duluan, silahkan. Aku mau ngaji sebentar.

Diletakkannya kembali benda pipih itu di dalam tas, lalu beralih mengambil Al-Qur'an yang ukurannya tidak begitu besar— salah satu benda yang selalu ia bawa kemanapun selain ponsel tentu saja. Lalu perlahan Jingga mulai melantunkan kalimat Tuhannya dengan suara pelan sambil mengingat-ingat tajwid yang minggu lalu diberitau oleh Ummi Aisyah— guru mengajinya.

Tidak lama, Jingga hanya menghabiskan tigapuluh menit untuk membacanya. Lalu kembali mengambil ponsel karena bergetar dan menandakan ada pesan masuk. Bibirnya terangkat penuh, lalu kembali mengetikkan beberapa kalimat sebagai balasan untuk seseorang yang sangat ia rindukan,

Mas Biru.

Ia masih memegang ponselnya, berdiri di dekat pagar Masjid lalu mendapati pria berkemeja dan tas hitam yang membelakanginya. Jingga tau betul siapa dia, mulai dari bentuk tubuhnya, warna rambutnya juga suaranya yang sedang mengobrol tidak akan pernah berubah.

Tengok ke belakang, Mas.

Jingga segera memasukkan ponselnya ke dalam saku rok hitam yang ia kenakan. Bibirnya terangkat penuh kala pria berkemeja di depannya menghadap ke belakang. Keduanya dengan cepat menundukkan kepala masing-masing untuk menghindari pandangan satu sama lain.

“Assalamualaikum, Mas Biru.”

Di sana, Biru mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba tidak beraturan kala telinganya mendapai suara Jingga yang sedikit berubah menjadi lebih lembut. Walau sebenarnya tadi ia sudah mendengar ketika gadis itu melantunkan beberapa ayat Al-Qur'an di dalam sana, tapi rasanya beda ketika Jingga menyapanya.

“Waalaikumsalam, Jingga.”

Jingga berjalan mendekat, “apa kabar, Mas?”

“Seperti apa yang kamu lihat, saya baik, Jingga.” Balasnya.

“Mas Biru!” Dari dalam Masjid terlihat gadis yang kelihatannya lebih muda dari pada Jingga berjalan menghampiri Jingga dan keduanya.

Jingga menatap gadis itu sambil tersenyum manis. Seperti pernah melihat, tapi Jinggapun tidak tau siapa dia. Mungkin di masa lalu mereka pernah bertemu.

“Kamu lama banget, sih?” Biru mengelus puncak kepala gadis yang dilapisi hijab cokelat itu yang membuat Jingga merasa sedikit getaran yang aneh.

Gadis berhijab cokelat itu tersenyum lalu mengambil tangan Biru untuk disalimi. “Iya, tadi ada Ibu-ibu yang ajak bicara. Kita mau ke mana lagi, Mas?”

Jingga tau persis kalau Biru bukanlan pria yang mau disentuh selain dengan mahramnya. Banyak kemungkinan yang detik ini bergantungan di pikiran Jingga. Tapi yang pasti, gadis itu adalah mahram Biru.

Tapi siapa?

Biru hanya punya keponakan perempuan satu dan itu Kania, setau Jingga. Apa ini Kania? Jingga sendiri tidak yakin, Kania bertumbuh secepat ini?

Dan kemungkinan terburuknya,

gadis tadi adalah isterinya Biru.