Aku takut, Bumi.
Pelangi tidak bisa berhenti untuk menyunggingkan senyum manisnya. Dia hadir. Mahesa Bumi benar-benar hadir di hadapannya hari ini. Hari yang sepertinya akan ditulis dalam memori ingatannya untuk berpuluh-puluh tahun ke depan.
Dulu, tepatnya dua tahun lalu. Pelangi pernah bilang, “kalau Bumi kembali, aku akan memeluknya dan terus mencintainya.” Tapi kali ini tidak, kali ini justru pria itu yang menawarkan tangannya, memeluk si gadis kesukaannya dengan erat.
“Kamu masih suka Americano?” Mahesa terkekeh sambil menyisir rambut legamnya dengan jemari. Kaus hitam polos yang ia gunakan menambah kadar ketampanan yang sebenarnya tidak pernah berkurang.
Pelangi mengangguk, netranya tidak berhenti menatap ciptaan Tuhan di hadapannya. “Iya.”
“Jun,” Mahesa memutar balik tubuh guna melihat wajah si lawan bicara— barista yang sedang membuatkan minuman untuk gadis di hadapan. “Ini.. kalau dia nanti ke sini setiap hari, jangan boleh bayar. Pemilik soalnya.”
Pria yang dipanggil 'Jun' itu menoleh lalu mengangguk mantap. “Siap, bos!”
Pelangi terkekeh, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Karena demi apapun, Bumi bukan lagi ilusi yang menyamar menjadi sebuah kenyataan. “Apasih, Bu— sebentar, aku manggil kamu apa?”
“Biasanya apa?” Mahesa mengangkat sebelah alisnya.
“Bumi?”
Pria itu tertawa, tangannya terangkat untuk mengusak rambut sebahu milik si gadis. Hal yang dulu menjadi kesukaan Pelangi, kini ia lakukan lagi. Hal yang akhir-akhir ini selalu diharapkan oleh Pelangi, kini terwujud.
“Yaudah. Bumi aja. Nggak usah diganti.” Katanya.
Dia mengangguk paham, matanya berjalan ke sana-kemari untuk memperhatikan setiap sudut ruangan. Interior sederhana berwarna cokelat muda membuatnya merasa aman di sini.
“Kalau aku panggil kamu nggak pakai 'kak' lagi, nggak apa-apa, ya?”
Pelangi menoleh, menyunggingkan sebuah senyum tipis yang sampai detik ini selalu menjadi kesukaan Mahesa. Seketika ia menyeruput cokelat hangat yang beberapa detik lalu diantarkan oleh pria bernama 'Jun' tadi.
Gadis itu mengangguk, menuruti. Kali ini, apapun yang akan menjadi permintaan Mahesa akan selalu ia turuti— kecuali kepergian. Hanya untuk Buminya.
“Omong-omong, tadi kamu bilang ke 'Jun' kalau aku ini pemilik cafe, apa maksudnya?”
“Kamu belum sadar?” Dia tersenyum sampai matanya membentuk sabit yang sempurna.
Pelangi mengerinyit, bingung. Sebenarnya Mahesa ini orang yang berbelit, karena kadang ia sulit untuk mengungkapkan apa yang ingin ia ungkap. Sebab itu biasanya ia memilih untuk tertawa saja. Dia orang yang ramah, dan rasanya bohong kalau ada orang yang tidak menyukainya.
“Kalata itu apa?”
“Dua yang ditinggalkan, tapi selalu aku suka.”
Pelangi mendecak, “Bumi, jangan berbelit.”
“Kamu masih nggak suka menunggu ya, Kala?”
Sekarang Pelangi tertawa karena mendengar tanya dari lawan bicaranya. “Kamu masih ingat?”
“Apapun tentang kamu nggak pernah aku lupain.” Balasnya.
Mahesa berjalan ke arah counter yang sedang dijaga oleh seorang pria, lalu meminta selembar menu yang baru saja dibuat tiga hari lalu. Setelah memberikan kertas cokelat yang sudah dilaminating itu, pria yang berbincang dengan Mahesa menyunggingkan senyum tipis.
“Kalata. Sekala dan Jakarta.” Setelah itu, Bumi kembali duduk di hadapan Pelangi dengan kertas yang masih berada di tangannya. Di bagian bawah kertas itu, ada nama pemilik yang dia tulis sebagai,
Bumi dan Kala.
“Jadi, kamu ngapain ke Jakarta?” Pelangi mengambil kertas yang disodorkan oleh Mahesa, membaca nama-nama menu yang dibuat aneh namun sederhana. Dia terkekeh, “siapa yang kasih nama?”
“Aku,dong! Dibangu Arjun.”
Pelangi melihat ke arah Arjun yang masih sibuk dengan beberapa kertas, lalu kembali menatap Mahesa. “Bumi, aku nggak mau naik metro mini lagi!”
Lalu gadis itu menceritakan hal yang terjadi di hari sebelumnya dengan detail, tanpa ada yang tersisa. Dan hal itu tentu membuah Mahesa gemas karena gadis di hadapannya masih sama, Sekala yang ia kenal. Sekala yang suka bercerita dan Sekala yang selalu menjadi kesukaannya.
“Aku tau, Kala.”
Pelangi menerinyit, “kamu tau?”
“Pas aku bilang kalau aku ada di Jakarta sejak tiga minggu yang lalu, itu bener adanya.”
“Kamu nggak cari aku?”
Mahesa mulai membuka mulutnya, menceritakan apapun yang terjadi selama ia di Jakarta. Karena awalnya pekerjaanlah yang membawanya kemari— kota kelahirannya.
“Kamu nggak cari aku waktu kerjaanmu udah selesai?”
Dia menyunggingkan senyum tipis yang sumpah demi apapun akan selalu menenangkan. “Apapun aku lakuin buat ketemu sama kamu, Kala.”
“Kenapa baru mau muncul.di hadapanku?”
Dia menunduk, memainkan jemarinya pelan. “Kamu.. nyaman sama Kak Samudera, kan?”
Pelangi benar-benar menyukai suara Mahesa yang sekarang. Dalam dan menenangkan siapapun yang mendengar. Wajahnya kian lama terlihat makin dewasa. Rambutnya ia biarkan legam, berbeda dengan empat tahun lalu— cokelat tua.
Dulu katanya, “*Warna kesukaan Kak Sekala itu cokelat, jadi aku mau semua yang ada di hidupku juga disukai sama Kak Kala.”
“Aku pergi ke rumahmu waktu itu, bawa makanan kesukaanmu yang aku beli di depan sekolah kita dulu. Tapi katanya, kamu udah nggak tinggal di rumah. Aku bingung, Pelangi.. kamu hilang di saat aku mau kembali menemui.” Katanya.
Pelangi diam di tempatnya. Masih berusaha menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut pria itu.
“Setiap hari aku pergi ke tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi.” Mahesa menatap netra milik gadis di depannya dalam. Bibinya terangkat tipis, “tapi kamu udah menghilangkan tempat itu dari hidupmu.”
Lagi-lagi Pelangi diam, membenarkan seluruh kalimat Mahesa kalau ia memang sudah menghilangkan tempat-tempat yang sering mereka kunjungi dulu. Gadis itu terlalu takut kalau Mahesa tidak akan kembali lagi, dan ia hanya dihantui oleh bayang-bayangnya saja.
“Aku.. takut kalau kamu nggak akan kembali lagi, Bumi.”