Dunia yang sempit.
“Kok cuma ditaruh di depan rumah?”
Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah pria di sampingnya yang sedang menatap sekantung bakso di knop pintu rumah putih di hadapan. “Iya, memang biasanya aku taruh di depan rumah.”
“Kamu nggak mau masuk?” Tanya Samudera sambil mengerinyit kebingungan.
Pelangi menghela napas, tersenyum tanpa mengalihkan atensi. “Aku nggak tinggal di sana.”
“Kenapa?”
Gadis itu diam, tidak tau apa yang harus ia katakan. Memang benar Pelangi tidak tinggal di sana sejak beberapa tahun lalu dan harusnya ia biasa saja mengatakan hal itu kepada Samudra, tapi rasanya ini aneh. Pria itu terlalu banyak tau tentang Pelangi hari ini, tapi si gadis tidak tau siapa dia, dari mana dia, untuk apa dia di Stasiun Jakarta Kota dan mau apa dia ke Jakarta?
Terlalu banyak pertanyaan di otaknya, tapi Samudera sama sekali tidak memberi Pelangi kesempatan untuk bertanya kepadanya. Dia membuat gadis itu penasaran. Dan biasanyapun Pelangi akan masa bodo dengan kehidupan siapapun, kecuali Samudra.
“Kalau terlalu sensitif jangan dijawab.” Ucap Samudera sambil berjalan mengikuti gadis yang baru ia kenal beberapa jam lalu ke arah halte.
“Kamu nggak akan pulang, Samudera?” Pelangi melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.
Si Adam terkekeh, “ini juga mau pulang.”
Samudra nama panggilan-nya, yang diketahui lahir di bulan dua, bertepatan dengan hari mencintai. Tidak heran kenapa wajahnya sangat manis ketika tersenyum, karena mungkin sebelum melahirkan Ibunya sedang makan cokelat yang dibelikan oleh sang Ayah.
“Kenapa?” Samudera mengarahkan punggung tangan-nya ke arah kening Pelangi, lalu beralih menyentuh pipi si gadis. “Kamu sakit?”
Pelangi menggeleng walau ia merasa pening sejak masuk ke dalam metro mini. “Enggak, ini cuma pusing biasa kok.”
“Perlu saya antar sampai rumah?” Tanya pria itu. Ia membuka jaketnya lalu memakaikan pada si gadis.
Lagi lagi Pelangi menggeleng, “Enggak perlu, Samudera. Ini udah hampir gelap, nanti kamu kemaleman pulangnya.”
Ia diam, tidak menolak dan juga tidak menerima. Sedangkan Pelangi juga diam, menyandarkan kepala pada kaca metro mini dan perlahan memejamkan mata— berharap peningnya sedikit hilang. Tidak boleh sampai sakit, karena besok gadis itu harus mulai bekerja di tempat baru.
Tiba-tiba tangan dingin milik Samudera menyentuh kepala Pelangi untuk diletakkan pada bahunya. Pelangi menatap Samudera sebentar— hendak menolak karena tidak enak kalau terlalu merepotkan.
“Untuk hari ini biarin kamu jadi tanggung jawab saya, Pelangi.” Tangan kanannya ia selipkan di antara tubuh si gadis juga kursi metro mini. Setengah memeluk sambil mengusap kepalanya lembut.
Jangan tanya kenapa seberani itu untuk ukuran orang asing yang baru ia kenal hari ini, sebab Pelangi juga tidak tau jawabannya. Tapi bodohnya gadis itu percaya saja kalau Samudera memang orang baik dan tidak ada niat yang macam-macam. Ia meyakinkan diri untuk tidak boleh mudah percaya, pada siapapun— entah Samudera atau orang lain.
“Kamu tinggal di kostan milik Pak Sonny?” tanyanya saat si gadis membuka pintu kostan.
Tadi di jalan Pelangi menyetujui untuk Samudera yang akan mampir sebentar ke kost. Ia bilang tidak apa kalau harus pulang malam, hitung-hitung olahraga. Samudera juga membeli dua bungkus nasi goreng yang katanya akan dimakan di kost bersama si gadis.
“Iya, sudah hampir enam bulan aku tinggal di sini.” jawabnya lalu mempersilahkan Samudera memasuki halaman kost yang sengaja dibuat luas oleh pemilik karena sekaligus untuk parkiran.
“Pelangi sudah pulang?” Ibu Melati— istri sang pemilik kost datang menghampiri. Kemudian ia mengerinyit, “Loh? Sam?”
Samudera menyalimi tangan Ibu Melati, lalu wanita itu mengelus puncak kepala Samudera dua kali seperti sudah akrab.
“Pelangi, ini Samudera. Keponakan Ibu yang berkuliah di Bandung.” kata Ibu Melati menepuk pelan namun berkali-kali punggung Samudra.
Dunia sangat sempit. Sempit sekali. Sampai gadis itu bisa kenal dengan seseorang yang ternyata adalah keponakan dari pemilik kost. Sebelumnya Pelangi tidak pernah percaya pada takdir, tapi hari ini ia percaya ini adalah takdir bukan sebuah kebetulan yang menyamar.
“Kok kalian bisa ketemu?” Ibu Melati menjeda kalimatnya, “kalian.. pacaran?”
Samudera hanya diam dan tersenyum sedangkan Pelangi mati-matian harus meyakinkan Ibu Melati bahwa mereka baru aja bertemu hari ini di Stasiun Kota tapi justru wanita yang sudah seperti Ibunya sendiri itu tertawa tanpa henti— entah karena apa.
“Ibu..” katanya sambil memegang tangan Ibu Melati, kembali meyakinkan-nya. “Pelangi emang nggak ada apa-apa sama Samudera, beneran baru ketemu tadi di Stasiun.”
Lagi, Ibu Melati tertawa— kali ini diikuti oleh Samudera. “Lagian emang kenapa? Kalau pacaran juga tidak apa-apa.”
“Ibu, astaga. Berapa kali Pelangi harus——”
Drrrt Drrrt.
Ponsel Pelangi bergetar berkali-kali, menandakan ada panggilan masuk.
Pak Naka.
“Aku izin angkat telepon dulu. Sam, kamu langsung ke kamarku aja kalau mau makan— sendoknya ambil saja sendiri.”
Gadis itu menghela napas sesaat setelah menjauh dari Ibu Melati juga Samudera. Bersiap mengangkat panggilan dari Bos barunya.
“Halo, Pak Naka.” “Sekala Bening Pelangi?”
Ia mengangguk, “iya saya. Ada apa ya Pak?”
“Saya cuma mau mengingatkan besok pukul delapan harus sudah sampai di kantor. Langsung ke ruangan saya, soalnya pemilik perusahaan mau bertemu langsung sama kamu.” katanya.
“Iya, Pak. Besok saya langsung menemui Bapak.”
“Perlu saya jemput besok?” katanya sambil tertawa kecil. Pak Naka ini masih muda setau Pelangi, tapi dia sudah dipilih sebagai kepala pusat oleh pemilik perusahaan, tidak tau apa alasan-nya. Kalau diterka-terka pun umurnya tidak terlalu jauh dengan umur gadis itu.
“Eng.. nggak perlu, Pak. Besok...” si gadis terkejut saat seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba. Itu Samudera.
“Halo Pelangi? Besok kamu apa?”
Samudera terkekeh melihatnya, “besok saya bisa berangkat sendiri, Pak.”
Lagi, Samudera memegang tangan Pelangi dan ia menunjuk dirinya sendiri. Mulutnya bergerak tanpa suara, menganggu orang lagi telepon saja. Seperti anak kecil, gadis itu tidak yakin—tapi sepertinya Samudera mengucapkan— besok saya yang antar.
“Yasudah, Pelangi. Sampai ketemu besok.”
Setelah sambungan terputus Pelangi menepuk perut Samudera pakai ponsel. “Lain kali jangan ganggu orang kalau lagi telepon, nggak sopan.”
“Abisnya kamu lama banget, saya udah lapar.”
Ia terkekeh melihat ekspresi kekanakan yang dibuat oleh Pria itu. “Yaudah, yaudah. Ayo makan— eh, Ibu Melati mana?”
“Udah pulang barusan. Tante cuma mau cek keadaan kamar nomor dua, kerannya bocor.”
Si gadis mengangguk mengerti, “oh..”
Pria itu berjalan duluan ke arah kamar kost Pelangi yang mungkin sudah diberi tau oleh Ibu Melati. Mereka sama-sama berhenti di kamar nomor lima, lantai satu karena Pelangi takut ketinggian— juga kedalaman.
Drrt.
Bergetar hanya sekali, itu tandanya bukan panggilan. Mungkin saja pesan, atau mungkin juga notifikasi dari beberapa aplikasi.
Matanya membulat, langkahnya juga terhenti membuat Samudera mengerinyit kebingungan. “Pelangi?”
Si gadis masih menatap layar ponselnya, satu pesan singkat dari seseorang yang sudah lama sekali ingin ia temui. Mahesa Bumi.